Konten dari Pengguna

Janji, Air Mata, dan Angin Surga: Kisah Lama yang Menggema di Hari Guru

Mail Ismail
Guru SMAN 1 Sariwangi dan Magister Pendidikan Sosiologi UPI Bandung
30 November 2024 19:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mail Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
salsaling nmengnmengankat, sumber: www.pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
salsaling nmengnmengankat, sumber: www.pixabay.com
ADVERTISEMENT
Di Hari Guru, bangsa ini kembali dihidupkan oleh pidato penuh air mata. Presiden Prabowo Subianto, dengan suara bergetar, mengumumkan kenaikan gaji guru ASN sebesar satu kali gaji pokok dan tunjangan guru non-ASN menjadi Rp2 juta. Sebuah pemandangan mengharukan, mungkin menyentuh hati sebagian orang, namun bagi yang paham permainan, ini bukan sekadar pidato. Ini adalah simfoni klasik janji manis yang sudah kita dengar sejak era reformasi bergema.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti biasa, keindahan janji ini diselimuti kabut ambiguitas. Benarkah tunjangan itu benar-benar naik, atau hanya sekadar mengulang kebijakan lama dari era Presiden SBY? Jawabannya belum jelas, tetapi satu hal pasti: janji itu telah menyalakan api perdebatan. Media sosial mendadak gaduh, bukan soal janji yang diberikan, tapi soal iri hati. "Guru lagi, guru lagi," teriak beberapa warganet. Seolah-olah profesi ini adalah anak emas yang selalu dipuja, sementara kenyataan di lapangan jauh dari itu.
Angin Surga yang Membakar Iri Hati
Mari sejenak menelaah komentar pedas yang bertebaran di dunia maya:
komentar warganet, sumber: hasil tangkapan layar pribadi
Komentar-komentar ini bukan hanya mencerminkan ketidakpuasan, tetapi menguak wajah asli masyarakat kita: penuh iri hati, minim empati. Seolah-olah setiap rupiah yang dialokasikan untuk kesejahteraan guru adalah perampasan hak mereka. Betapa menyedihkan, di negeri ini, penghormatan kepada mereka yang mendidik generasi masa depan dianggap sebagai pemborosan, bukan investasi.
ADVERTISEMENT
Di Finlandia, Amerika, Kanada, Singapura, Malaysa pokonya hampir disetiap belahan dunia guru adalah profesi terhormat. Mereka dibayar dengan baik, dipandang dengan hormat, dan tidak pernah khawatir akan dipidana hanya karena berusaha mendisiplinkan murid. Di Indonesia? Guru honorer masih menerima gaji di bawah UMR, dan setiap hari mereka berdiri di ujung pisau antara mengajar dengan ketulusan atau takut dihukum. Dan ketika akhirnya ada janji kesejahteraan, masyarakat justru mencibir. Ironi yang memilukan, bukan?
Pidato yang Meneteskan Air Mata, Maaf Bukan Solusi
ilustrasi menangis, sumber: pixabay
Presiden kita meneteskan air mata di depan para guru. Tapi, maaf, air mata tidak membayar listrik, tidak membiayai pendidikan anak-anak mereka, dan tentu saja tidak bisa mengubah kenyataan bahwa tunjangan yang dijanjikan mungkin hanya ilusi. Air mata itu seolah menjadi penanda bahwa pidato ini bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan untuk menyedot perhatian. Sebuah drama politik di panggung besar bernama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apakah kita perlu berharap? Tentu saja. Tetapi mari kita realistis: janji tanpa regulasi adalah janji kosong. Tanpa peraturan tertulis, tanpa anggaran yang jelas, pidato itu hanyalah hiburan Hari Guru. Sebuah serenade melankolis untuk menenangkan hati yang lelah, tanpa benar-benar menyembuhkan luka.
Bangsa yang Lupa Bahwa Guru Adalah Tiang Peradaban
Seberapa sakit sebenarnya bangsa ini? Guru bukanlah profesi glamor. Mereka tidak mengenakan jas mahal atau duduk di kursi eksekutif. Mereka mendidik anak-anak kita, membangun fondasi bangsa. Jika mereka diberi kesejahteraan lebih baik, itu bukanlah keistimewaan, tetapi keadilan. Namun, komentar negatif di media sosial menunjukkan bahwa banyak yang lebih suka melihat guru tetap miskin, tetap berjuang, karena "sama rata dalam penderitaan" lebih nyaman daripada "sama rata dalam kemajuan."
ADVERTISEMENT
Mungkin inilah saatnya kita bertanya: apa yang salah dengan masyarakat kita? Mengapa iri hati terhadap mereka yang berjuang untuk anak-anak kita? Apakah ini tanda bahwa bangsa kita sedang sekarat secara moral?
Sudah Waktunya Guru Bergerak
buku manusia, sumber:pixabay
Jika pidato itu hanyalah janji kosong, maka sudah saatnya guru bergerak. Tidak lagi diam, tidak lagi menunggu. Guru harus menyuarakan keadilan mereka. Jangan puas dengan tepuk tangan di Hari Guru. Jangan puas dengan pidato yang penuh air mata. Waktunya bagi guru untuk mengawal janji ini dengan tuntutan yang nyata.
1. Tuntut Regulasi yang Jelas: Pastikan ada payung hukum atas janji tersebut.
2. Desak Transparansi Anggaran: Ke mana dana pendidikan itu sebenarnya mengalir?
3. Edukasi Publik: Berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa perhatian kepada guru adalah perhatian kepada masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Antara Janji dan Doa
Mari kita akui, pidato ini meninggalkan rasa pahit manis. Kita ingin percaya, tetapi skeptisisme adalah perlindungan diri. Jika janji itu nyata, maka sejarah akan mencatat ini sebagai langkah besar. Namun, jika janji itu palsu, maka ini hanya akan menjadi tambahan dalam daftar panjang angin surga yang tak pernah menjadi nyata.
Kepada guru-guru di seluruh Indonesia: tetaplah berharap, tetapi jangan pernah lelah memperjuangkan hak. Kepada bangsa ini: berhentilah iri pada mereka yang mendidik anak-anak kita. Dan kepada para pemimpin: jika janji itu hanya ilusi, maka ketahuilah, rakyat tidak akan diam. Karena sekali janji diberikan, angin surga yang menyesatkan akan segera berubah menjadi badai tuntutan. Selamat Menjadi Guru. Semoga kali ini, air mata membawa perubahan, bukan sekadar teater drama.
ADVERTISEMENT