Konten dari Pengguna

Korupsi di Indonesia: Rutinitas Buruk dan Hukuman yang Mengkhianati Keadilan

Mail Ismail
Guru SMAN 1 Sariwangi dan Magister Pendidikan Sosiologi UPI Bandung
25 Desember 2024 9:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mail Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
AWKWK, sumber:https://pixabay.com/images/search/corup/
zoom-in-whitePerbesar
AWKWK, sumber:https://pixabay.com/images/search/corup/
ADVERTISEMENT
Korupsi di Indonesia bukan sekadar isu, melainkan fenomena akut yang telah mengakar hingga ke dalam struktur sosial dan politik bangsa ini. Dari ruang rapat mewah hingga meja persidangan, skandal demi skandal terus mencuat, menggoyahkan kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan. Kasus terbaru yang mencuri perhatian adalah hukuman ringan yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis. Sebuah tamparan keras bagi masyarakat yang berharap keadilan. Bagi para sosiolog, kasus ini lebih dari sekadar pelanggaran hukum ini adalah cerminan kegagalan sistem yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Harvey Moeis: Simbol Dekadensi Sistem Hukum
Ketika Harvey Moeis dihukum ringan meski jelas-jelas merugikan negara miliaran rupiah, kita menyaksikan ironi besar dalam sistem hukum. Hukuman yang seolah-olah "main-main" ini mencerminkan bagaimana kejahatan finansial kelas kakap sering kali diperlakukan dengan tangan yang terlalu lembut. Padahal, dampaknya jauh lebih besar dibandingkan pencurian kecil-kecilan yang sering kali dihukum tanpa ampun.
Dari perspektif sosiologi kriminal, ini adalah contoh nyata dari teori labeling Howard Becker: bagaimana hukum cenderung lebih keras terhadap pelanggar dari kelas bawah, tetapi "ramah" terhadap pelaku dari kelas atas. Harvey Moeis tidak hanya mencuri uang negara ia mencuri kepercayaan publik terhadap keadilan. Dan ini bukan kasus pertama, melainkan bagian dari pola sistemik yang terus berulang.
Uang tangan dan borgol, sumber:https://pixabay.com/images/search/courpted
Norma yang Dikaburkan: Korupsi Jadi Pilihan yang "Rasional"
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, korupsi sering kali bukan hanya tindakan menyimpang, tetapi juga strategi bertahan hidup dalam sistem yang korup. Ringannya hukuman bagi pelaku seperti Harvey Moeis memberi pesan yang berbahaya: bahwa korupsi adalah tindakan yang bisa diterima selama pelaku punya uang dan koneksi. Fenomena ini memperkuat anomi dalam masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Emile Durkheim ketika norma menjadi kabur, individu kehilangan panduan moral dan merasa bebas untuk melanggar aturan.
Sistem Hukum yang Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah
Mengapa koruptor seperti Harvey Moeis sering mendapat hukuman ringan? Penyebabnya dapat ditelusuri pada beberapa akar masalah:
1. Pengaruh Politik dan Ekonomi: Sistem hukum Indonesia terlalu sering tunduk pada tekanan elit politik dan uang. Dalam kasus seperti ini, keadilan menjadi barang mewah yang hanya dapat dibeli oleh mereka yang kaya.
ADVERTISEMENT
2. Kurangnya Transparansi: Proses hukum sering kali tidak jelas bagi publik. Ketika putusan dibuat di balik pintu tertutup, ruang untuk manipulasi semakin besar.
3. Ketiadaan Standar Penegakan yang Tegas: Tidak ada konsistensi dalam pemberian hukuman. Beberapa pelaku dihukum berat, sementara lainnya "dimanja" oleh sistem.
4. Korupsi dalam Sistem Itu Sendiri: Ironi besar, pemberantasan korupsi sering kali terhambat oleh korupsi di dalam sistem penegak hukumnya.
Akibat dari kelemahan ini begitu nyata. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, melihat korupsi sebagai sesuatu yang tak terelakkan, bahkan menganggapnya sebagai "aturan main" yang harus diikuti jika ingin bertahan hidup.
Korupsi Sebagai Cerminan Budaya dan Struktur Sosial
Tidak adil menyalahkan individu semata dalam fenomena korupsi. Budaya politik patronase di Indonesia, di mana kesetiaan kepada patron sering kali lebih penting daripada kepatuhan pada hukum, adalah salah satu penyebab utamanya. Ditambah lagi, ketimpangan sosial yang tajam menciptakan lingkungan di mana korupsi dianggap sebagai cara paling logis untuk "naik kelas."
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, norma sosial yang toleran terhadap korupsi memperburuk keadaan. Ketika masyarakat mengidolakan pejabat yang kaya raya tanpa peduli asal kekayaannya, korupsi justru menjadi simbol kesuksesan, bukan kejahatan.
Efek Domino: Korupsi yang Menginspirasi
Hukuman ringan seperti yang diterima Harvey Moeis bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga memiliki dampak sosial yang jauh lebih dalam:
1. Erosi Kepercayaan Publik: Ketika keadilan tidak ditegakkan, masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan institusi hukum.
2. Normalisasi Kejahatan: Ringannya hukuman menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan yang "worth it," terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan.
3. Kerusakan Moral Generasi Muda: Anak muda tumbuh dalam lingkungan di mana integritas terlihat tidak relevan. Mereka belajar bahwa kejujuran bukanlah jalan menuju sukses.
ADVERTISEMENT
Reformasi Radikal: Jalan Keluar dari Lingkaran Setan
tutup matamu dan lakukan dengan adil, sumber:https://pixabay.com/images/search/corup/
Mengatasi korupsi membutuhkan pendekatan yang jauh lebih radikal daripada yang selama ini diterapkan. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Hukuman yang Memberikan Efek Jera: Hukuman ringan harus menjadi sejarah. Koruptor yang merugikan negara harus dihukum berat, dengan penyitaan aset sebagai langkah wajib.
2. Transparansi dalam Sistem Hukum: Proses hukum harus dibuka untuk pengawasan publik. Hakim dan jaksa yang menangani kasus korupsi perlu diawasi secara ketat untuk memastikan integritas mereka.
3. Reformasi Lembaga Penegak Hukum: Baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, semua membutuhkan reformasi menyeluruh untuk menghilangkan potensi korupsi di dalamnya.
4. Pendidikan Anti-Korupsi: Perubahan harus dimulai sejak dini. Generasi muda perlu dididik untuk memahami betapa besar dampak buruk korupsi terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
5. Penguatan Partisipasi Publik: Masyarakat harus diberdayakan untuk melaporkan dan mengawasi praktik korupsi. Teknologi digital bisa menjadi alat penting untuk ini.
6. Budaya Transparansi: Setiap pejabat publik harus melaporkan aset secara terbuka, dan pengelolaan anggaran negara harus dapat diakses oleh masyarakat luas.
7. ITU SEMUA GAK BERLAKU JIKA HUKUMAN KORUPTOR TERBARU MASIH SEPERTI ITU, AYO BERIKAN HUKUMAN YANG BERAT DAN SETIMPAL!
Penutup: Menegakkan Keadilan, Membangun Kepercayaan
Kasus Harvey Moeis hanyalah puncak gunung es dari masalah yang jauh lebih besar. Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran setan korupsi, maka pendekatan yang lebih tegas, transparan, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat adalah keharusan. Korupsi bukan hanya tentang uang yang hilang ini adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Dan tugas kita, sebagai masyarakat, adalah memastikan bahwa pengkhianatan semacam itu tidak pernah lagi diberi tempat di negeri ini.
ADVERTISEMENT