Konten dari Pengguna

Marriage is Scary: Saat Ketakutan Menjadi Sumber Kekuatan yang Salah

Mail Ismail
Guru SMAN 1 Sariwangi dan Magister Pendidikan Sosiologi UPI Bandung
24 Agustus 2024 21:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mail Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan anak. Foto: Suchat Nuchpleng/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan anak. Foto: Suchat Nuchpleng/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika kita menelusuri viralnya frasa "Marriage is Scary", ada sebuah gambaran yang jelas: ketakutan terhadap pernikahan telah bertransformasi menjadi sebuah dogma baru di kalangan generasi muda. Bukan sekadar rasa takut yang sederhana, tetapi sebuah ketakutan kolektif yang merangkum kegagalan struktural dan pribadi dalam masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Tetapi, apakah ketakutan ini sepenuhnya beralasan, ataukah ini hanyalah cerminan dari kegagalan kita memahami esensi pernikahan?

Kegagalan Pria atau Kegagalan Sistem?

Mari kita mulai dengan pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa pernikahan dianggap menakutkan? Apakah ini semata-mata disebabkan oleh peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ini merupakan kegagalan yang lebih besar, kegagalan pria sebagai kepala keluarga? Di dalam struktur masyarakat patriarkal, pria sering kali diharapkan untuk menjadi pelindung, pemimpin, dan pencari nafkah. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa banyak pria yang gagal memenuhi peran ini.
Ilustrasi KDRT. Foto: Shutterstock
Kegagalan dalam memenuhi ekspektasi tersebut bukan hanya berujung pada KDRT, tetapi juga pada ketidakmampuan pria untuk menciptakan rumah tangga yang aman dan penuh kasih. Ketika pria gagal dalam tugas ini, yang terlahir bukanlah rumah tangga yang harmonis, melainkan rasa takut yang mendarah daging di dalam jiwa wanita.
ADVERTISEMENT
Ketakutan ini, yang kemudian menjadi bahan bakar bagi "Marriage is Scary", menunjukkan bahwa banyak pria yang gagal memahami dan menjalankan tanggung jawabnya dalam pernikahan. Tapi, apakah kegagalan ini hanya terjadi pada individu, ataukah ini cerminan dari kegagalan sistemik dalam masyarakat kita yang memelihara budaya patriarki yang toksik?

Pernikahan: Ibadah yang Dirusak Ketakutan

Dari perspektif agama, pernikahan adalah lebih dari sekadar kontrak sosial; ia adalah ibadah, jalan menuju surga, dan cara untuk menjaga kesucian diri. Namun, ketika "Marriage is Scary" menjadi tren, kita melihat bagaimana ketakutan dapat merusak nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi. Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah amanah besar, dan sebagai ibadah, ia seharusnya membawa kebaikan dan kedamaian, bukan ketakutan.
ADVERTISEMENT
Namun, jika kita terus membiarkan narasi ketakutan ini berkembang, apakah kita tidak sedang menggiring generasi muda kita ke arah yang berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh agama? Kita mungkin secara tidak langsung membangun pemikiran bahwa pernikahan adalah sesuatu yang harus dihindari, alih-alih dipeluk sebagai jalan ibadah dan kebaikan. Ini bukan hanya sekadar salah paham, tetapi sebuah distorsi fatal yang bisa merusak fondasi moral generasi kita.
Ilustrasi prostitusi Foto: Shutter Stock

Dampak Jangka Panjang: Lonjakan Perzinaan dan Kehancuran Moral

Sekarang, mari kita lihat konsekuensi jangka panjang dari fenomena ini. Jika ketakutan terhadap pernikahan terus berlanjut, kita mungkin akan melihat penurunan angka pernikahan, tetapi bukan berarti masyarakat kita akan bebas dari masalah. Justru sebaliknya, kita mungkin akan menyaksikan lonjakan dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang kita pegang teguh.
ADVERTISEMENT
Perzinaan, sebagai contoh, bisa menjadi lebih umum. Ketika pernikahan tidak lagi dipandang sebagai jalan yang aman dan suci, orang mungkin mencari kepuasan di luar ikatan yang sah. Kita telah melihat bagaimana hilangnya nilai-nilai pernikahan dapat menyebabkan kebebasan seksual yang tak terkendali, yang berujung pada hilangnya keperawanan di usia yang semakin muda. Apa yang dulu dianggap tabu, kini menjadi norma baru. Dan di sinilah letak bahaya terbesar dari narasi "Marriage is Scared": ia bukan hanya menakuti orang dari pernikahan, tetapi juga mendorong mereka menuju perilaku yang merusak diri mereka sendiri dan masyarakat secara keseluruhan.

Membangun Narasi Baru: Menyusun Ulang Realitas

Kita tidak bisa membiarkan ketakutan mengendalikan narasi tentang pernikahan. Sebagai masyarakat, kita perlu menyusun ulang realitas yang kita ciptakan. Pernikahan harus kembali dilihat sebagai sesuatu yang sakral, penuh dengan tantangan, tetapi juga dengan kebahagiaan dan berkah yang tak ternilai. Kita perlu menekankan bahwa masalah dalam pernikahan tidaklah berarti pernikahan itu sendiri salah, tetapi bagaimana kita, sebagai individu dan sebagai masyarakat, memandang dan mengelola pernikahan itu yang perlu diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Kita juga harus mengakui bahwa tidak semua ketakutan itu salah; ada nilai dalam mengakui risiko, tetapi kita tidak boleh membiarkan rasa takut mendikte keputusan kita. Sebaliknya, kita harus mengubah rasa takut itu menjadi kekuatan untuk membangun pernikahan yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih bermakna.
Ilustrasi KDRT. Foto: fizkes/Shutterstock

Kesimpulan: Ketika Ketakutan Menjadi Kekuatan Positif

"Marriage is Scary" mungkin awalnya berasal dari pengalaman negatif yang valid, tetapi kita harus memastikan bahwa pengalaman ini tidak mengarah pada kehancuran nilai-nilai yang kita junjung tinggi. Ketakutan dapat menjadi kekuatan jika kita mengelolanya dengan bijak, bukan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab, tetapi sebagai motivasi untuk menciptakan perubahan positif.
Pernikahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi dihargai sebagai bagian dari perjalanan hidup yang, meskipun penuh dengan rintangan, pada akhirnya membawa kita menuju tujuan yang lebih tinggi. Ini adalah panggilan bagi kita semua, sebagai individu dan sebagai masyarakat, untuk merenung dan bertindak. Jika kita benar-benar peduli dengan masa depan, kita harus mengubah ketakutan ini menjadi kekuatan untuk membangun pernikahan yang lebih baik—bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi yang akan datang.
ADVERTISEMENT