Konten dari Pengguna

Menguak Dampak Post-Truth dan Obsesi Kosmetik Dokter Terkenal

Mail Ismail
Guru SMAN 1 Sariwangi dan Magister Pendidikan Sosiologi UPI Bandung
25 November 2024 15:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mail Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi wajah berkosmetik. sumber: https://pixabay.com/photos/woman-cream-beauty-skincare-skin-4630131/
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi wajah berkosmetik. sumber: https://pixabay.com/photos/woman-cream-beauty-skincare-skin-4630131/
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, publik Indonesia dikejutkan oleh banyaknya kasus kosmetik yang dijual oleh dokter terkenal dengan klaim yang mengejutkan. Kasus terbaru melibatkan dr. Richard Lee, seorang figur publik dengan reputasi kontroversial, yang kini ramai diperbincangkan karena komposisi produk kosmetik “White Tomato” dan “DNA Salmon”-nya. Merek tersebut menjadi sorotan lantaran mengandung klaim kesehatan berlebihan, komposisi yang diduga palsu, bahkan praktik mengganti label produk impor lalu dijual dengan harga yang sangat mahal. Fenomena ini menguak bagaimana media sosial dan budaya “post-truth” berdampak pada pola konsumsi masyarakat kita yang lebih percaya pada popularitas daripada fakta ilmiah.
ADVERTISEMENT
Fenomena FOMO: Mengapa Masyarakat Terlalu Mudah Percaya?
Kasus kosmetik “White Tomato” dan “DNA Salmon” mencerminkan fenomena FOMO (fear of missing out) yang kuat di masyarakat kita. Konsumen merasa perlu mengikuti tren yang populer, terutama jika produk tersebut berasal dari dokter terkenal dengan basis pengikut besar di media sosial. Mereka tergiur dengan klaim “memutihkan kulit secara alami” atau “meremajakan kulit dari dalam,” tanpa benar-benar memahami komposisi atau keamanan dari produk tersebut.
Fenomena ini diperparah dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahan aktif dalam produk kosmetik. Banyak dari kita yang masih menganggap bahwa semua produk yang diiklankan oleh figur dengan gelar profesional, seperti dokter, pasti aman dan efektif. Masyarakat tak hanya terpengaruh oleh status “dokter” atau “PhD” di belakang nama seseorang, tetapi juga menganggap bahwa popularitas di media sosial adalah penjamin kualitas produk.
ADVERTISEMENT
Ketika Post-Truth Berperan: Media Sosial dan Manipulasi Informasi
kosmetik. sumber: https://pixabay.com/photos
Kasus ini juga menyoroti era post-truth, di mana kebenaran menjadi kabur karena informasi sering dimanipulasi demi keuntungan pribadi. Pada era ini, opini dan klaim menjadi lebih kuat daripada fakta. Klaim kosmetik yang berlebihan tanpa dasar ilmiah atau bukti medis yang jelas sangat mudah menyebar di media sosial, dan masyarakat, dalam kondisi rentan FOMO, lebih cenderung percaya. Dr. Richard Lee sendiri memiliki jutaan pengikut di media sosial yang menganggapnya sebagai figur otoritas dalam bidang kosmetik, meskipun gelar PhD yang dimiliki dilaporkan berasal dari universitas yang diragukan legalitasnya. Namun, bagi sebagian orang, validasi sosial di media jauh lebih bernilai dibandingkan riset faktual.
Kasus “DNA Salmon” adalah bukti nyata dari manipulasi informasi ini. Penggunaan label baru pada produk impor dan klaim DNA Salmon yang ajaib adalah bentuk pembohongan yang sangat jelas, namun efektif di kalangan masyarakat yang belum memiliki literasi kosmetik yang baik. Hal ini diperparah dengan minimnya pengawasan serta regulasi ketat terhadap klaim produk yang dipasarkan oleh figur publik di media sosial. Publik mudah terjebak pada narasi bahwa semua klaim yang disampaikan adalah benar, dan bahwa harga tinggi berarti kualitas premium.
ADVERTISEMENT
Kritikan Tajam pada Budaya Konsumsi Instan dan Kepercayaan Buta Terhadap Popularitas
Mengapa masyarakat begitu mudah tertipu oleh produk seperti ini? Sebagian besar jawaban terletak pada budaya konsumsi instan dan obsesi terhadap standar kecantikan yang dipopulerkan oleh media sosial. Dalam budaya seperti ini, informasi dan opini sering kali lebih dipercaya daripada fakta. Post-truth tidak hanya memengaruhi persepsi politik, namun kini turut memengaruhi konsumsi kosmetik.
Konsumen seharusnya mulai berpikir kritis sebelum membeli produk kosmetik yang hanya didorong oleh iklan yang viral di media sosial. Gelar “dokter” atau “PhD” bukanlah jaminan bahwa produk tersebut telah terbukti secara klinis. Sayangnya, masyarakat kita cenderung terjebak pada tampilan luar atau opini figur publik, tanpa mendalami latar belakang dan legalitas produk yang dijual.
ADVERTISEMENT
Dampak Jangka Panjang: Kesehatan Kulit dan Kepercayaan Publik yang Rusak
macam-macam makeup. sumber: https://pixabay.com/photos/
Kasus seperti ini tidak hanya berdampak pada kerugian materi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis dan industri kosmetik secara keseluruhan. Konsumen yang terjebak dalam klaim palsu sering kali mengalami kerusakan kulit yang serius dan harus mengeluarkan biaya lebih untuk memperbaiki dampak buruk dari produk tersebut. Dampak jangka panjang dari penggunaan produk dengan klaim palsu seperti ini pun dapat menurunkan kredibilitas dokter dan profesional di bidang kecantikan yang sebenarnya berdedikasi dan berkompeten.
Di sisi lain, publikasi produk oleh dokter yang menggunakan gelar tanpa legalitas yang jelas justru merusak kepercayaan terhadap institusi pendidikan. Dalam kasus ini, gelar PhD yang dianggap berasal dari kampus ilegal membawa pesan negatif kepada publik tentang makna sebenarnya dari pendidikan tinggi dan otoritas profesional.
ADVERTISEMENT
Langkah Ke Depan: Pentingnya Literasi Kosmetik dan Pengawasan yang Lebih Ketat
Di era media sosial yang serba cepat ini, penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi kosmetik dan kesehatan kulit yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh klaim produk tanpa dasar ilmiah. Pemerintah, dalam hal ini BPOM dan Kementerian Kesehatan, perlu meningkatkan pengawasan terhadap pemasaran produk kosmetik yang diklaim oleh figur publik. Edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai pentingnya memeriksa keamanan dan legalitas produk kosmetik adalah hal yang tak boleh ditunda lagi.
Masyarakat juga perlu lebih waspada terhadap produk yang terlalu mahal atau diklaim memiliki manfaat “ajaib”. Peran media juga penting untuk melakukan investigasi independen yang mendalam terhadap brand atau produk yang populer di media sosial, serta mempublikasikan hasilnya agar masyarakat mendapatkan informasi yang lebih objektif dan berbasis data.
ADVERTISEMENT
Refleksi Akhir: Mengapa Gelar Akademis dan Status Dokter Harus Dibuktikan dengan Integritas
Di balik setiap gelar akademis atau profesi, ada tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan publik. Publik figur yang menjual produk kosmetik dengan klaim yang meragukan harus sadar bahwa mereka merusak kepercayaan masyarakat terhadap otoritas medis. Fenomena ini mengajak kita semua untuk lebih kritis dan tidak mudah percaya dengan produk yang dipromosikan oleh figur dengan gelar tinggi.
Pada akhirnya, konsumen harus kembali memegang kendali dan mengutamakan logika serta pengetahuan ilmiah dalam memilih produk. Era post-truth telah menunjukkan betapa bahayanya ketika fakta dikesampingkan, terutama dalam industri yang berpengaruh langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.