Konten dari Pengguna

Perkembangan Industri Perminyakan dan Dinamika Geopolitik Timur Tengah

Al Bustomi
Mahasiswa di UPN "Veteran" Jawa Timur
22 Juni 2021 10:06 WIB
·
waktu baca 9 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu tambang minyak di Timur Tengah, Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu tambang minyak di Timur Tengah, Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dinamika Negara Produsen Minyak di Timur Tengah
Sepanjang abad ke-20, hubungan industri perminyakan internasional dan Timur Tengah selalu saling berkaitan antar negara maupun dengan aspek politik dan ekonomi. Kawasan Timur Tengah, sebagai penghasil dan pengekspor minyak masih memainkan peran utama dalam mempengaruhi perkembangan industri perminyakan dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Dengan dimulainya ekspor minyak, pendapatan dan operasi dari industri perminyakan memiliki dampak yang besar terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik di negara-negara Arab dan kawasan yang lebih luas (Choueiri, 2005).
Hingga dalam tiga dekade terakhir pasar minyak dunia telah mengalami perubahan yang signifikan. Dimulai dari negosiasi ulang “harga yang ditetapkan” sebagai sebuah harga referensi yang digunakan untuk menghitung royalti kepada negara tuan rumah pada tahun 1970. Sebelumnya, harga ini telah ditetapkan (di AS $ 1,80 per barel selama tahun 1960-an) oleh perusahaan minyak internasional besar yang menjalankan konsesi minyak di negara-negara Timur Tengah.
Peristiwa berikutnya yang berpuncak pada guncangan harga minyak tahun 1973 dan akhirnya pengalihan hak milik ke negara tuan rumah menandai dimulainya era baru dalam industri minyak (Okogu, 2003). Selain faktor-faktor tersebut, dinamika yang terjadi antar negara penghasil minyak di timur Tengah sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi politik domestik tiap negara dan pengaruh Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Kurangnya sikap kooperatif antar negara dan juga terlalu bergantung pada negara Amerika Serikat membuat ekonomi mandiri tiap negara mengalami stagnantasi. Meskipun banyak mendapat kritikan atas lambatnya regionalisasi Timur Tengah, para negara penghasil minyak telah bergabung kedalam Organisasi Internasional. Dengan bergabungnya negara-negara tersebut, diharapkan dapat memajukan sistem ekonomi dan politik terhadap produksi minyak Timur Tengah.
Negara-negara Timur Tengah melalui peran mereka dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berada di pusat transformasi pasar karena mereka memiliki sebagian besar cadangan minyak mentah dunia.
Selain mengubah masyarakat mereka melalui masuknya pendapatan minyak dalam jumlah besar, negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) menghadapi tantangan baru di bidang kebijakan dan manajemen ekonomi, termasuk bagaimana mengatasi dampak merugikan dari variabilitas harga minyak tumbuh (Okogu, 2003).
ADVERTISEMENT
Karena rumitnya situasi yang ditimbulkan, maka tidak mungkin memisahkan masalah politik dan ekonomi di Timur Tengah. Bahkan di berbagai wilayah Timur Tengah mengalami krisis ekonomi dan politik. Krisis yang ditimbulkan akibat industri perminyakan ini adalah pada aspek ekonomi dan politik antar negara dengan akar dari krisis ini terletak pada pola kerjasama ke dalam pasar dunia.
Artinya, terlepas dari berbagai krisis politik, semua negara di kawasan ini menghadapi masalah ekonomi kritis. Krisis ini berawal dari hubungan ekonomi regional dengan ekonomi global, hingga masalah pribadi untuk setiap negara bagian Timur Tengah.
Secara keseluruhan, topik kali ini adalah dampak minyak terhadap dinamika politik daerah, dan masalah-masalah ini berdampak besar pada pembangunan negara dan sosial (MacQueen, 2018).
ADVERTISEMENT
Analisis Kasus Melalui Sudut Pandang Ekonomi
Penemuan dan pemanfaatan minyak telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi di kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara yang kaya akan minyak.
Mengulas kembali sejarah singkat sebelum minyak ditemukan, Timur Tengah adalah wilayah yang miskin, berstatus “terlarang secara ekologis dan dirampas secara ekonomi” dengan ekonomi pertanian dan penggembalaan yang sangat terbatas dan perdagangan kecil. Kemudian pada tahun 1950-an, minyak menjadi faktor utama di sebagian besar perekonomian negara-negara Timur Tengah (Malachova, 2012).
Efek dari pemanafaatan minyak ini menjadikan perekonomian negara penghasil minyak berubah dari pertanian menjadi ekonomi rentier. Lebih tepatnya, negara-negara “penyewa” memperoleh sebagian besar atau sebagian besar pendapatan mereka dari dunia luar dan fungsi sistem politik (serta ekonomi) mereka sangat bergantung pada perolehan pendapatan eksternal yang dapat diklasifikasikan sebagai barang “sewa”.
ADVERTISEMENT
Negara bagian “penyewa” mengandalkan alokasi dan redistribusi (status alokasi) dan karenanya menunjukkan dinamika politik yang luar biasa berbeda dari negara bagian lain (status produksi). “Sewa” telah didefinisikan sebagai 'pendapatan yang diperoleh dari pemberian alam' dan biasanya dipahami sebagai pendapatan yang diperoleh dari ekspor sumber daya alam, terutama minyak dan gas (Malachova, 2012).
Karena sistem ekonomi, dan ekspor minyak tersebut, negara-negara Timur Tengah sudah merasakan dampaknya. Kemudian setelah berjalan beberapa tahun saja, pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah menjadi semakin cepat.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut, diikuti dengan peningkatan dramatis pada sejumlah indikator sosial. Dengan ekspansi besar-besaran dalam pekerjaan sektor publik dan peluang migrasi ke luar negeri, pengangguran semakin rendah dan sifatnya hampir tidak berbeda dari apa yang diamati di negara-negara industri maju.
ADVERTISEMENT
Namun, modernisasi ekonomi di Timur Tengah ini, bersifat jangka pendek dan tidak menjamin keberhasilan dan stabilnya pembangunan ekonomi negara-negara yang kaya minyak dan kawasan secara keseluruhan dalam jangka panjang.
Timur Tengah, meskipun memiliki cadangan minyak yang besar, masih dianggap sebagai kawasan Dunia Ketiga karena ketergantungan yang tinggi pada pendapatan minyak dan sektor produksi perekonomian yang agak lemah, serta karena beberapa faktor politik seperti kurangnya demokrasi, korupsi, keengganan terhadap reformasi dan isu-isu lainnya. Sifat ketergantungan pada satu komoditas, dapat menjadi penghalang bagi keberhasilan pembangunan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang (Malachova, 2012).
Hal tersebut terjadi karena ketergantungan yang berlebihan pada pendapatan minyak dan nilai dolar mengubah ekonomi Arab menjadi ekonomi 'rentier' dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. Mengekstraksi dan menjual minyak bukanlah indikasi yang cukup untuk ekonomi yang produktif.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pembangunan ekonomi tidak stabil dan 'berfluktuasi' yang menyiratkan bahwa negara yang sangat bergantung pada pendapatan minyak tidak dapat memastikan keberhasilan pembangunan ekonominya dalam jangka panjang karena tidak dapat dipastikan tentang jumlah sebenarnya dari pendapatan minyak yang akan diterima di masa depan.
Analisis Kasus Melalui Sudut Pandang Politik
Sedangkan dari sisi politik, perubahan politik berjalan lambat di wilayah Arab, dan ketika terjadi perubahan, sebagian besar merupakan hasil dari tekanan yang tidak terkendali dan berasal dari apa yang dikatakan oleh para penguasa itu sendiri.
Sementara itu sistem monarki minyak melakukan upaya untuk mengatasi kekurangan administratif dan politik di negara-negara Timur Tengah sebagai tanggapan atas kombinasi tekanan yang terjadi, namun perubahan tersebut tidak berarti bahwa perubahan total sedang dilakukan pada masyarakat oleh kekuatan luar (Faktor Eksternal) (Ehteshami, 2003).
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya adalah karena susunan sosial negara-negara bagian Arab, perdebatan tentang demokratisasi, atau kontekskali ini adalah pluralisme politik, sampai saat ini telah berlangsung. Sampai saat ini, dan sebelum kritik setelah 11 September tentang pengungkapan peran yang dimainkan oleh militan Islamis dari beberapa monarki minyak, salah satu argumennya adalah bahwa karena masyarakat tradisional Arab cenderung berjalan ke jam politik yang berbeda, tetapi sama efektifnya, menuntut kesesuaian mereka dengan demokrasi gaya Barat tidak hanya kontraproduktif tetapi juga tidak menguntungkan untuk tujuan analitis (Ehteshami, 2003).
Kemudian dalam hubungan sipil-negara (rakyat-pemimpin), masyarakat diatur dengan baik oleh mode interaksi tradisional antara penguasa dan penguasa. Mereka memutuskan bahwa pengenalan politik kompetitif gaya Barat atau penambahan sistem pengambilan suara berbasis parlemen biasa, bisa tidak berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas partisipasi dan akses politik di negara-negara Arab.
ADVERTISEMENT
Lebih dari dua puluh tahun setelah dimulainya pengelolaan minyak, seorang pejabat senior Teluk Arab dapat masih mengklaim bahwa 'demokrasi parlementer dan monarki konstitusional adalah gagasan Barat yang tidak serta merta berlaku untuk dunia Arab pada umumnya, atau pada masyarakat suku Teluk Arab pada khususnya' (Ehteshami, 2003).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnnya, salah satu faktor pendorong utama untuk memperluas proses reformasi di Timur Tengah adalah apa yang disebut 'krisis fiskal negara'. Salah satu argumennya adalah bahwa dengan berkurangnya mekanisme alokasi negara-negara penyewa GCC (Gulf Cooperation Council), maka mereka memperkenalkan reformasi ekonomi, yang juga semakin terlihat memiliki dimensi politik (Ehteshami, 2003).
Pertanyaannya kemudian adalah, dapatkah penyewa, dan dalam kasus Arab Saudi, struktur korporatis rente direformasi secukupnya untuk memungkinkan perkembangan ekonomi serta terbukanya sistem politik.
ADVERTISEMENT
Banyak masalah yang masih berlangsung, kritik terhadap monarki minyak menunjuk pada masalah pemerintahan yang lebih luas untuk membuat argumen bahwa untuk semua langkah reformasi yang diadopsi atau diusulkan, kekuasaan terus berada di tangan kelompok keluarga yang tertanam dalam struktur negara.
Dengan tidak adanya badan pengambil keputusan di luar lingkaran penguasa, partai politik, pemerintah dan elit penguasa yang akuntabel dan responsif, transparansi dalam cara kerja pemerintah dan badan-badannya, dewan Syura yang lebih kuat, kerangka hukum yang efektif untuk hak, pers yang bebas, dan kondisi yang sesuai untuk aliran ide yang bebas, masyarakat akan tetap jauh dari jalur demokrasi atau pluralistik (Ehteshami, 2003).
Kesimpulan dan Opini Penulis
Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) dianugrahi oleh sumber daya alam yang sangat berharga. Sumber daya alam berupa minyak tersebut saat ini masih menjadi komoditas utama dalam memenuhi kebutuhan primer negara untuk pembangunan, bahan bakar (masyarakat umum, militer, dan transportasi), dan juga penggerak ekonomi negara (eksporter dan importer).
ADVERTISEMENT
Namun karena sistem politik yang lemah mengakibatkan kurang maksimalnya hasil ekspor minyak bagi ekonomi negara produsen. Permasalahan seperti korupsi, pemertintahan otoriter juga sistem politik yang lemah, konflik bersenjata, dan kemudian yang sampai saat ini memiliki imbas yang signifikan adalah munculnya gelombang Arab Spring yang semakin membuat suasana regional semakin kacau. Permasalahan tersebut sampai saat ini masih berlangsung, dan respon tiap negara juga berbeda beda.
Untuk beberapa negara yang telah bergabung dengan Organisasi Internasional terkait perminyakan memang memiliki kondisi yang lebih baik, namun dalam Organisasi Internasional tersebut masih didominasi hegemoni Amerika.
Untuk penyelesaian konflik di Timur Tengah seperti gelombang Arab Spring, konflik bersenjata, dan juga permaslahan antar wilayah dibutuhkan pihak ketiga yang mampu memberikan solusi dan juga meredam konflik yang ada. Selama permasalahan individu tiap negara belum terselesaikan, maka untuk menuju regionalisme yang kondusif dan produktif akan sangat susah bagi wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).
ADVERTISEMENT
Referensi
Ehteshami, A. (2003). The politics of participation in the oil monarchies. In T. P. Hetherington, Good Governance in the Middle East Oil Monarchies (pp. 60-84). London: RoutledgeCurzon.
MacQueen, B. (2018). Oil, Economy and Development in the Middle East. In An Introduction to Middle East Politics (pp. 169-198). London: SAGE Publications Ltd.
Malachova, A. (2012). The Middle East and Oil: Economic Modernisation and Political Stagnation. E-International Relations, 1-6. doi:ISSN 2053-8626
Okogu, B. E. (2003). The Middle East and North Africa in a Changing Oil Market. International Monetary Fund Publications, 1-22.
Stevens, P. (2005). Oil and Development. In Y. M. Choueiri, A COMPANION TO THE HISTORY OF THE MIDDLE EAST (pp. 407-424). Victoria: Blackwell Publishing Ltd.
ADVERTISEMENT