Ancaman Radikalisme dan Terorisme Digital Jelang Pemilu 2024

Al Farisi Thalib
Pemerhati Sosial, Demokrasi dan Politik/ Mahasiswa S3 PTIK
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2022 21:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Farisi Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pic. design pribadi. Sebagai ilustrasi dunia digital.
zoom-in-whitePerbesar
Pic. design pribadi. Sebagai ilustrasi dunia digital.
ADVERTISEMENT
Aksi perempuan muda (24) yang mengacungkan senjaga api jenis FN dan hendak menyerang anggota Paspampres yang berjaga di depan Istana Negara Jakarta pada Selasa (25/10/2022) lalu memicu kekhawatiran masyarakat Indonesia tentang ancaman dan gangguan keamanan jelang pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang. Karena aksi yang dilakukan perempuan berinisial SE tersebut, walaupun tidak ada korban jiwa dalam tindakannya, sebagian pihak dikaitkan dengan jaringan terorisme dan sedang didalami oleh Densus 88 (Kumparan.com 25/10/2022). Namun apa yang dilakukan oleh SE tersebut merupakan aksi yang bersifat konvensional, cara lama dan terkesan tidak terencana dengan matang.
ADVERTISEMENT
Belakangan, aksi-aksi yang bahkan jauh lebih berbahaya dari yang dilakukan oleh Amrozi di Bali tahun 2002, yaitu aksi radikalisme dan terorisme melalui digital. Fenomena ini, menurut mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyebutkan bahwa sejak tahun 2010 aksi terorisme di dunia sudah bermigrasi ke berbagai platform media sebagai alat propaganda dan perekrutan anggota, menyebarluaskan paham radikalisme dan terorisme, penyebaran hoax, penipuan, pornografi, bullying, prostitusi, SARA, ujaran kebencian, dan narkoba (kominfo.go.id 8/05/2019).
Fenomena ini, Barry Collin (1997), peneliti Institut Keamanan dan Intelijen, California, Amerika Serikat, menyebutnya sebagai cyber terrorism. Collin mengartikan cyber terrorism sebatas sebagai konvergensi cybernetics. Namun dalam perkembangannya, aksi kelompok ini tidak hanya pada cyber, tetapi juga memanfaatkan banyak fitur dan aplikasi yang disediakan internet, seperti media sosial (telegram, facebook, whatsapp, youtube, dan twitter), media online, game, dan koding (software). Dari semakin melebarnya cakupan penggunaan instrumen internet oleh kelompok radikal dan teroris, penulis menyebutnya dengan istilah digital terrorism (terorisme digital).
ADVERTISEMENT
Saat ini, dunia digital bukan sekedar sebuah platform internet, melainkan sebuah 'meta realitas', yaitu realitas baru dimana setiap orang menggantungkan seluruh aktivitasnya kedalam jaringan internet dan digital. Dalam dunia meta realitas tersebutlah, kelompok radikal dan teroris menyebarkan manifesto, pesan ‘dakwah’ dan propaganda, agitasi, penyebaran fitnah dan hoax, ujaran kebencian dan permusuhan, promosi tindakan kekerasan, penggalangan dukungan dan penguatan jaringan, melakukan interaksi antar jaringan di antar wilayah seluruh dunia, rekrutmen anggota baru, menyusun rencana aksi, penggalangan dana, serta serangan terhadap server pemerintah. Dengan kondisi ini, Gary R. Bunt mengatakan bahwa globalisasi turut membidani lahirnya terorisme.
Ancaman Terhadap Pemilu 2024
Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar, sudah mengingatkan bahwa foreign terrorist fighters (FTF) masih jadi ancaman terhadap keamanan kawasan Asia Tenggara, khususnya di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Meningkat seiring dengan adanya pelonggaran perjalanan antar wilayah dan intensitas politik jelang pemilu tahun 2024 mendatang (Viva.co.id 13/10/2022). Pernyataan Kepala BNPT dan peristiwa di Istana Negara, memperoleh legitimasi kuantitatif tatkala Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) pimpinan Boni Hargens dalam surveinya mengungkapkan bahwa radikalisasi dan politik identitas akan terus menguat dan ancam pemilu 2024. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko, bahwa radikalisme dan politik identitas potensial terjadi dan jadi ancaman selama pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Kepala BNPT, KSP dan Boni cukup beralasan melihat kenekatan dan transfomasi aksi kelompok radikal dan terorisme. Hal ini semakin diperparah oleh situasi politik yang tidak sehat Sebagaimana yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, menjadi permulaan terjadinya pembelahan politik di masyarakat yang disebabkan karena menguatnya politik identitas. Politisasi identitas seperti ini terus berlanjut, puncaknya pada pemilu 2019, yang menyebabkan terbentuknya dua segregasi politik yaitu antara pendukung Joko Widodo dengan pendukung Prabowo Subianto.
Pembelahan politik dan politik identitas tidak hanya terjadi di masyarakat, yang lebih parah justru terjadi di media sosial. Dua kelompok saling menyerang secara ferbal, mengumpat, penyebaran berita hoax, ujaran kebencian, penyebaran ancaman dan permusuhan, hingga berujung pada penyerangan fisik.
ADVERTISEMENT
Mengamati dinamika politik jelang pemilu 2024, dihubungkan dengan nama-nama yang selalu teratas dalam berbagai survei sebagai calon presiden yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, maka banyak pihak menilai pembelahan politik dan politik identitas akan terbawa dan kembali terjadi. Dengan demikian “tawuran media sosial” seperti yang terjadi pada Pilkada DKI dan Pilpres 2019 akan terulang.
Dalam kondisi “kekacauan informasi” tersebut, dapat menjadi kesempatan dan momentum bagi kelompok radikal dan teroris untuk melancarkan agitasi dan propaganda, menyebarluaskan ajaran dan doktrin intoleransi, perekrutan angota dan melancarkan serangan cyber seperti yang dilakukan hacker Bjorka, meretas situs-situs resmi pemerintah seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
ADVERTISEMENT
Aksi teror digital tersebut dilakukan dalam berbagai tujuan, yaitu ekonomi, ideologis, dan politik. Secara politik, kejahatan digital ini dilakukan dalam rangka untuk mendelegitimasi terhadap kelompok politik tertentu, mendelegitimasi konstitusi dan aparat penegak hukum, serta mendelegitimasi pemerintah dan hasil demokrasi yang konstitusional.
Proses delegitimasi merupakan upaya mendistorsi negara, pemerintahan, hukum dan demokrasi konstitutif, agar masyarakat kelas bawah “percaya” bahwa proses hukum, pemerintahan dan demokrasi yang dijalankan saat ini penuh dengan ‘kebohongan’, ‘manipulasi’, dan ‘ketidakadilan’. Padahal, semua itu merupakan sebuah propaganda politis yang sengaja dilempar untuk mengacaukan stabilitas politik. Hal ini dilakukan terutama melalui media sosial seperti telegram, facebook, whatsapp, youtube, dan twitter. Dengan demikian, untuk mengantisipasi semakin meluas dan masifnya gerakan kelompok ini, diperlukan deteksi dini dan konvergensi antar semua komponen untuk melakukan pencegahan.
ADVERTISEMENT
Langkah Kemenkominfo pada tanggal 20 Oktober 2022 yang melakukan take down terhadap 11 televisi streaming dan sebanyak 83 URL yang bernuansa dan mempunyai konten radikalisme dan terorisme di Indonesia, merupakan sebuah kebijakan yang sangat bagus. Dalam rangka mengantisipasi ancaman tersebut jelang pemilu 2024 pula sehingga KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, Polri, BSSN, Kemenpan RB, TNI, dan BIN akan membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus), sebuah tim yang mengawasi pelanggaran di ruang digital, dan mencegah terjadinya gesekan dan perpecahan akibat konten-konten yang berkaitan dengan isu SARA, yang tone dan tendensinya negatif, mengakibatkan pembelahan masyarakat selama pemilu 2024. Semoga tidak terjadi.