Menanti Keadilan Substantif Dari MK

Al Farisi Thalib
Pemerhati Sosial, Demokrasi dan Politik/ Mahasiswa S3 PTIK
Konten dari Pengguna
21 April 2024 16:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Farisi Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: design pribadi. ilustrasi dewi keadilan.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: design pribadi. ilustrasi dewi keadilan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini, jelang dua hari pembacaan putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) tahun 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), untuk gugatan sengketa pemilihan presiden (pilpres) yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (01) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md (02), pada hari Senin, 22 April 2024 di Jakarta. Tercatat lebih dari 300 orang yang terdiri dari akademisi, lembaga, dan masyarakat sipil mengajukan amicus criae. Secara harfiah istilah ini dimaknai sebagai ‘friends of the court’ (sahabat pengadilan), sebuah praktik hukum yang memungkinkan pihak lain di luar pihak berperkara terlibat dalam peradilan.
ADVERTISEMENT
Amicus Curiae Untuk Mendorong Keadilan Substantif
Antusiasme masyarakat, terutama akademisi dan kelompok civil society yang mengajukan diri secara suka rela menjadi ‘sahabat pengadilan’ dapat dinilai karena beberapa hal. Pertama, besarnya perhatian masyarakat terhadap jalannya proses persidangan penyelesaian perkara. Menariknya persidangan kali ini karena menyeret nama presiden Jokowi beserta jajaran kabinet, bahkan empat menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko PMK Muhadjir Effendy, dan dan Mensos Tri Rismaharini dihadirkan sebagai saksi terkait dugaan penyalahgunaan program bantuan sosial (bansos) selama masa kampanye oleh pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran (02).
Kedua, adanya dugaan kecurangan proses pemilu melalui ‘cawe-cawe’ presiden Jokowi, keterlibatan para menteri kabinet, pengerahan aparat dan apartur sipil negara (ASN), serta penyalahgunaan program bansos untuk memenangkan paslo 02. Selain itu, juga terjadinya rentetan proses yang diduga melanggar banyak ketentuan hukum dan etika. Pelanggaran etika berat misalnya diterima oleh Ketua MK sekaligus merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden 02, yang diberikan oleh Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) melalui Putusan Nomor 02/MKMK/L/11/2023. MKMK menilai Anwar Usman beserta enam hakim lainnya terbukti melakukan pelanggaran etika berat. Karena dalam memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya yang mengatur batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, memiliki konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Selain MK, pelanggaran etika berat dan saksi peringatan keras terakhir juga diberikan kepada ketua KPU Hasyim Asy’ary serta enam komisioner lain oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), karena melanggar ketentuan di dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Di samping itu, penilain Tim Hukum 01 dan 03, KPU juga telah dengan sengaja melakukan pelanggaran konstitusi karena meloloskan berkas pencalonan Gibran sebagai wakil presiden dengan tanpa terlebih menerbitkan PKPU yang baru sebagai tindak lanjut dari Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.
Ketiga, masyarakat ingin mendorong MK untuk tidak sekedar melaksanakan judicial formil, dengan hanya menghitung-hitung jumlah pelanggaran, berfokus pada diksi serta alat bukti dalam berkas perkara, mengkalkulasi efektifitas kecurangan dapat mempengaruhi jumlah perolehan suara semata. Atau dengan kata lain, akademisi, civil society dan masyarakat pada umumnya menghendaki MK tidak sekedar menjadi ‘mahkamah kalkulator’ melainkan dapat menciptakan momentum untuk mengaktifkan fungsi ‘judicial activism’. Inilah yang disebut keadilan substantif.
ADVERTISEMENT
Mengaktifkan Fungsi Judicial Activism MK
Judicial activism oleh Aharon Barak dalam bukunya “Judge in Democracy” (2006) dimaknai sebagai sebuah “judicial discretion” yang muncul akibat adanya kompleksitas persoalan yang menjadi kewenangan wajib bagi pengadilan untuk menyelesaikannya tanpa adanya hukum yang memadai secara formal. Memperhatikan secara kontektual dalam PHPU 2024 saat ini, memang sangat komplek. Mencermati petitum 01 maupun 03, keduanya sama sekali tidak mempermasalahkan selisih hasil peroleh suara pasangan calon, sebagaimana yang lazim digugat oleh para penggugat di MK, melainkan mempersoalkan proses pemilu baik jelang penetapan resmi nomor urut pasangan calon, proses kampanye maupun saat pelaksanaan pemungutan suara berlangsung.
Selama tahapan-tahapan tersebut, penuh dengan pelanggaran demi pelanggaran, baik pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil, juga terjadi pelanggaran konstitusi. Sehingga atas pelanggaran itu, dan kondisi perkara yang kompleks, MK dapat mengaktifkan fungsi judicial activism. Dikonsepkan sebagai penyesuaian hukum terhadap perkembangan sosial di masyarakat melalui kaidah pengembangan asas di dalam konstitusi maupun putusan yang telah ada sebelumnya guna menerapkan nilai-nilai konstitusional secara progresif. Judicial activism mengendaki setiap pengadilan dapat memberikan keadilan yang sesungguhnya kepada warga negara. Pandangan tersebut menegasikan pendapat bahwa kekuasaan kehakiman hanya berfungsi sebatas melakukan penafsiran hukum yang seringkali tidak dapat menemukan solusi atas persoalan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat dan sejarah bangsa ini mengharapkan dan sedang berupaya mendorong para hakim MK untuk dapat memahami fungsi tersebut serta berani menerapakannya dalam memutuskan PHPU 2024 nanti. Sesunggunya ketentuan judicial activism oleh hakim selain didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai hakim mempunyai tanggung jawab yang melekat dalam tugasnya untuk berperan aktif dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat, juga didorong oleh moral hakim untuk membaca keadaan yang berkembang dan terjadi di masyarakat secara objektif dan jernih. Dengan kejernihan membaca keadaan akan membuka nurani dan intuisi hakim, dan dengan kapasitas nurani dan instuisi seperti itu mengasah sensifitas dan keberanian jiwa memutuskan perkara ini secara jujur dan benar.
ADVERTISEMENT