Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Sepak Bola dan Pancasila
22 November 2022 13:23 WIB
Tulisan dari Muhammad Alghiffari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![foto diambil sendiri oleh penulis](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gjee6wm8c4zsb2hayhzc2j0f.jpg)
ADVERTISEMENT
TIMNAS Indonesia kalah agregat 2-7 dari Thailand. Indonesia pun gagal menjadi juara Piala AFF 2020. Gagal pula mimpi-mimpi menjadi kampiun Asia Tenggara setelah empat kali menembus final pada 2004, 2010, 2016 dan 2020
ADVERTISEMENT
Tetapi, kesedihan harus cepat berakhir. Semangat harus kembali bangkit. Berhasil menembus final saja sudah hebat. Maklum, persepakbolaan Indonesia baru saja dibekukan FIFA. Persiapan empat tahun masih terlalu pendek untuk menaklukkan Thailand, sang raksasa ASEAN.
Jangankan bersedih, justru kita wajib bersyukur. Timnas berhasil menghentak kesadaran kita sebagai bangsa tentang pentingnya bersatu dan menyatu, persatuan dan kesatuan.
Mengutamakan Kebhinekaan
Berhasilnya Timnas masuk final Piala AFF 2020 memberikan contoh konkret tentang persatuan-kesatuan Indonesia dan praktik nyata kebhinekaan. Banyak sekali pemain dari berbagai latarbelakang suku dan agama. Pertimbangannya tentu karena kita adalah negara yang sangat kaya akan suku, agama dan budayanya. Tak ada protes. Suku dan agama tidak dipersoalkan demi tercapainya tujuan bersama.
Gol-gol pun tak usah dipermasalahkan apa suku dan agama para pencetaknya. Karena semua gol dibutuhkan untuk meraih kemenangan. Yang penting, gol itu sah dan dihasilkan lewat cara-cara yang dibenarkan menurut peraturan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Sepak bola menjadi ruang yang luas sebagai tempat Bangsa Indonesia menyalurkan rindu dan hasratnya tentang kebersamaan. Ia menjadi wahana meluapkan kegembiraan dan harapan. Siapa pun boleh masuk karena sama-sama beridentitas Indonesia.
Sepak bola terbukti netral. Perbedaan suku, agama, bentuk rambut, warna kulit, dan status sosial ditanggalkan. Semua bersatu dan menyatu. Tidak ada aku-kamu-mereka, yang ada kita yang satu.
Sepak Bola Pancasila
Hebatnya lagi, kenetralan tidak hanya berlaku di kalangan pemain, namun juga penonton. Memang belum pernah dihitung secara pasti jumlah penduduk yang menonton permainan timnas di televisi. Namun, jumlahnya pasti jutaan. Artinya, sepak bola mampu menjadi wadah utuk meningkatkan persatuan dan kesatuan secara massif dan bersamaan.
Terbukti, sepak bola mampu menambah ikatan pemersatu bagi bangsa Indonesia. Ketika benih-benih keindonesiaan ditebarkan para pendiri Boedi Oetomo pada 1908, ikatan itu berupa perasaan senasib sebagai bangsa terjajah. Pada 1928 saat SoempahPemoeda, ikatan itu berwujud satunya tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan. Maka, hampir 90 tahun kemudian, semakin jelas bahwa ikatan kebangsaan perlu ditambah, yakni sepak bola.
ADVERTISEMENT
Pada 17 April 2015, Menpora membekukan PSSI karena berbagai permasalahan dalam mengelola sepak bola di Tanah Air. Sepak bola Indonesia mengalami ‘salah urus’ sehingga negeri berpenduduk sekitar 250 juta orang ini gagal membentuk kesebelasan. Prestasi terus menerus merosot, bahkan di tingkat Asia Tenggara. Sepak bola telah dijadikan ajang mencari penghasilan sejumlah oknum. Dibekukannya PSSI oleh Menpora menyebabkan PSSI pun dijatuhi sanksi oleh FIFA, Mei 2015.
Akhirnya, pada 14 Mei 2016, Presiden FIFA Gianni Infantino mengumumkan bahwa sanksi kepada PSSI dan Indonesia akan dicabut. Dengan syarat, pemerintah tidak boleh ikut campur urusan federasi sepak bola. Pengelolaan sepakbola memang menjadi ranah konflik antara pemerintah dan federasi (PSSI). Namun, jika timnas sepak bola mampu berprestasi, bisa saja konflik tersebut akan terhenti. Karena sepak bola telah mendarah-daging sebagai olahraga rakyat yang sungguh-sungguh merakyat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita perlu membangun ‘Sepak Bola Pancasila’. Maksudnya adalah sepak bola tidak sekadar olahraga permainan, tetapi juga olahraga kebangsaan dan kebanggaan. Silasila yang terjandung dalam Pancasila diintegrasikan dalam sepak bola. Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan dalam pengelolaan kompetisi maupun pembentukan tim nasional.
Ketua umum PSSI Mochammad Iriawan mengajak kita berhenti menangisi kekalahan dalam Piala AFF 2020. Harapan baru telah dipancangkan, yakni lolos kualifikasi Piala Asia 2023. Semoga saat itulah ‘Sepak Bola Pancasila’ sudah terbentuk. Sepak bola yang menyatukan sekaligus memberi pengharapan.