Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bisakah Kritik Bekerja dalam Demokrasi Jokowi?
6 April 2022 13:00 WIB
Tulisan dari Al Mukhollis Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semua rezim pemerintahan Negara bangsa sering memposisikan kritik sebagai musuh. Justifikasi terakurat atas pemposisian itu adalah cara kinerja kritik yang gesit menyalip pembodohan dan mengejek irasional, sebagai tindakan emansipasi juga salah satu tindakan paling berbahaya. Kritik, satire dan sarkas selalu ditakuti para pemangku rezim yang ingin hasrat kuasanya berjalan mulus ke mana saja.
ADVERTISEMENT
Kritik, di belahan bumi manapun telah menjadi alat paling efektif untuk mendobrak tabu, menyingkap tabir dan meluruskan pe nye. Kritik memainkan peran penting untuk membuka percakapan yang tampaknya samar-samar dari penglihatan publik menjadi lebih jelas. Poin penting ini telah melewati kepala kaum liberal dan kaum kiri regresif yang intensif menepis kritik ofensif.
Dialog kritis mengenai tindakan buruk yang diproduksi rezim kerap didesak untuk segera diakhiri, atau standar baru untuk membenarkan pembungkaman terhadap suara-suara yang berbeda pendapat akan bermunculan. Seperti 'kritik' harus dilakukan dengan sopan dan santun. Rezim telah terlibat dalam komunitarianisme dan menjadi tawanan kebenaran politik seraya abai terhadap penepisan apa pun akan selalu memperkuat kejahatan.
Sejak tahun 2020, Freedom House merilis laporan kebebasan suara masyarakat di berbagai Negara. Indonesia memiliki skor global freedom sebesar 59 yang terdiri dari 30 poin political right dan 29 poin civil liberties. Selanjutnya Indonesia memiliki skor kebebasan di internet sebesar 48. Artinya Indonesia berstatus partly free kualitas demokrasinya. Laporan selanjutnya juga dirilis oleh The Economist Intelligence Unit, ranking demokrasi kita termutakhir merosot ke posisi 64 dengan skor 6,39. Berdasarkan kategorisasi The Economist Intelligence Unit, demokrasi Indonesia berstatus flawed democracies (Negara cacat demokrasi).
ADVERTISEMENT
Dua laporan di atas sejalan dengan temuan versi nasional, studi yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada tahun 2020 memaparkan terjadinya peningkatan ancaman terhadap kebebasan sipil.
Temuan-temuan di atas menunjukkan masyarakat Indonesia sedang mengalami ketakutan dan/atau traumatic menyuarakan pendapat merupakan bukti nyata melandai tingginya pembungkaman terhadap kritik di negara bangsa ini. Salah satu dari perwujudan otoritas rezim berbentuk regulasi dalam membungkam kritik adalah UU ITE.
Pada tahun 2019, seorang jurnalis terkemuka sekaligus pendiri rumah produksi Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono dijemput oleh aparat Polda Metro Jaya. Dia menyandang status tersangka dan dijerat tuduhan melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Tuduhan atasnya sebagai tersangka dinilai dari unggahan di media sosial mengenai Papua dengan dugaan mengandung ujaran kebencian.
ADVERTISEMENT
Juga untuk tujuan mulia advokat sekaligus aktivis HAM Veronica Koman dibungkam dengan UU ITE terkait point of view-nya tentang Papua. Koman ditetapkan Polda Jatim dengan pasal berlapis dari KUHP, UU Penghapusan Rasis dan Etnis, serta UU ITE pada 4 September 2019. Berbeda dengan Dandhy, Veronica lolos dari pengamanan polisi karena berada di Australia.
Jeratan UU ITE terhadap pengkritik pemerintah juga sempat menyasar peneliti kebijakan publik Ravio Patra dengan tuduhan mengajak orang melakukan penjarahan nasional pada 30 April yang bertepatan dengan rencana buruh dan mahasiswa berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Pada akhir tahun 2020 juga menyasar Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Sejumlah petinggi aliansi itu ditangkap oleh polisi dengan dugaan menyebar pesan provokatif terkait demonstrasi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dan terakhir, Agustus 2021 terdapat 15 kasus dan 18 korban UU ITE berdasarkan rilis yang diungkapkan oleh Amnesty Internasional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kesalahan rezim telah membuat generasi mendatang tertawa dan ketika rezim berbicara tentangnya sering dianggap sebagai bentuk tanggung jawab atas kejahatan yang mereka derita dan kemarahan yang mereka timbulkan. Rezim melakukan salah satu pelanggaran terbesar terhadap kebebasan dengan mencoba menghapus kritik plural dan mengakhiri perdebatan. Tepat seperti makna dibalik kalimat Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Kamis (24/10/2019) yang berbunyi “kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kaya di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong”.
Bertentangan dengan apa yang mereka pikirkan, bertentangan dengan apa yang secara lugas Jokowi sampaikan, kritik terbuka dalam alam demokrasi. Secara tegas, Jokowi pada saat pidatonya dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Parlemen, Senin (16/08/2021) mengatakan bahwa “kritik yang membangun memang sangat dibutuhkan dan itu selalu kami jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat”.
ADVERTISEMENT
Semua aktivis, jurnalis, tokoh agamis, pemikir bebas, dan penulis di atas adalah bukti bahwa kritik terhadap rezim menuai jalan terjal dan penuh onak duri di alam demokrasi Jokowi. Kita belum memasukkan sejumlah kebijakan yang menuai penolakan dari masyarakat namun diabaikan, sebut saja pelbagai RUU kontroversial tahun 2019, UU Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2020, dan UU IKN tahun 2022. Dengan semua ini mereka telah membuktikan kritik tidak bisa bekerja dalam demokrasi Jokowi, bagi generasi pewaris semangat nusantara, ini adalah warisan buruk.
Walau demikian, dilain sisi, rezim Jokowi juga telah membuktikan bahwa hak tanpa syarat atas kebebasan berekspresi adalah dasar dari semua kebebasan dan jaminan keamanan bagi masyarakat Indonesia yang plural dan berpikiran berbeda. Terkait nuansa penuh kabung ini, telah terbentuk komunitas bernama Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE). Mereka adalah penyintas, pelontar kritik yang terbungkam dalam demokrasi Jokowi.
ADVERTISEMENT