Jika Saya Menjadi Presiden Republik Indonesia, Maka?

Al Mukhollis Siagian
Reviewer of The International Journal of Interdisciplinary Social Sciences.
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2022 8:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Mukhollis Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mobil Presiden Jokowi. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mobil Presiden Jokowi. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Semua yang digariskan oleh Konstitusi adalah kewajiban nan tak perlu diobralkan dalam arena perpolitikan – melainkan gagasan besar dan tindakan kekar mewujudkan kemajuan negara, kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia merupakan pemimpin yang dibutuhkan”
ADVERTISEMENT
- Al Mukhollis Siagian -
Generasi ke-5 Ibu Pertiwi
Sejak Partai Politik Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden Republik Indonesia pada tahun 2024 di awal bulan Oktober 2022 – seketika nuansa politik pecah seantero bumi pertiwi. Narasi-narasi politis kemudian bermunculan, pro dan kontra terkait Anies mencalon Presiden begitu riuh bergemuruh dalam heningnya penghayatan kehidupan publik yang kian rumit.
Meskipun sebelum Partai Nasdem deklarasi mencalonkan Anies, sudah didahului Partai Gerindra mendeklarasikan Prabowo Subianto dan menyusul Nasdem ada deklarasi PSI dengan mencalonkan Ganjar Pranowo. Namun deklarasi kedua tokoh (sebelum dan sesudah) deklarasi Anies tidak begitu menarik perhatian publik untuk diperbincangkan.
Mungkin nama Anies lebih harum (apapun faktornya) diantara kedua tokoh tersebut, akan tetapi bukan itu poin pembahasannya. Benar bahwa akhir-akhir ini sampai 2024 kita akan menyaksikan dan/atau menghadapi pertarungan politik besar-besaran. Sejumlah nama tokoh selain tiga yang telah dituliskan di atas pun sudah bermunculan; Airlangga Hartanto, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Andika Perkasa dan A Muhaimin Iskandar. Delapan putra/i terbaik saat ini untuk Republik dalam pertarungan pilpres 2024 akan memeriahkan gairah dan girah politik oligarki, percikannya mungkin melibatkan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hingga sejauh ini, penulis mengamati perkataan, sikap dan perbuatan para politisi di atas belum menunjukkan hal fundamental dan substansial dari i’tikad untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai; secara nasional dan Internasional. Delapan nama, popularitasnya tinggi dikalangan masyarakat, nampaknya masih relatif sama dan sedikit lebih pahit harus dikatakan belum menunjukkan bahwa kualitas Republik akan menjadi luar biasa (bukan di atas kertas saja) jika seandainya salah satu dari mereka benar-benar dikehendaki oleh rakyat menjadi Presiden.
Tindakan dari para tokoh di atas dalam menindaklanjuti i’tikadnya adalah blusukan kampanye sebelum kampanye berdasarkan aturan main pemilu, sedangkan tindakan mereka disaat berstatus pejabat publik – hanya melakukan keharusan konstitusional. Melainkan kewajiban konstitusionalnya masih belum terwujudkan secara keseluruhan. Katakanlah keharusan konstitusional seperti mendengar aspirasi rakyat dan kewajiban konstitusional adalah mencerdaskan, mensejahterakan serta menjaga keamanan masyarakat dan Negara.
ADVERTISEMENT
Pada bagian perkataannya, sebagian membawa narasi nasionalisme, di sisi lain menawarkan narasi religionisme dan adapula narasi patriotisme. Tiga haluan naratif politisi di atas merupakan narasi populis-positivistik yang seyogyanya berulang sejak Orde Lama. Bahkan sejumlah akademisi, pengamat dan aktivis malah terjebak pada dua sisi – bahwa calon yang mereka restui adalah antitesa dari Presiden Joko Widodo. Lainnya menginginkan bahwa calon terbaik adalah penerus Presiden Joko Widodo. Sungguh konyol, sebab, apa yang seharusnya dilanjutkan dari Presiden sebelumnya haruslah dilanjutkan dan apa yang tidak boleh dilanjutkan (seperti ingkar janji) dari sebelumnya tidaklah boleh dilanjutkan.
Atas dasar potret menohok dari kecenderungan perpolitikan dalam bangsa kita yang sedemikian bobroknya membuat penulis menawarkan diskursus “Jika Saya Presiden Republik Indonesia, Maka?” Sebelum lebih lanjut memaparkan implikasi dari diskursus penulis, maka ada dua poin kritik fundamental untuk para politisi di atas - selain daripada stagnansi yang dipertontonkan, namun penulis juga menilai bahwa nama-nama tokoh di atas sama halnya akan berujung pada ketidaksenonohan.
ADVERTISEMENT
Pertama, penulis sudah eneg (dan penulis pikir publik juga sudah eneg namun belum sedia mengungkapkannya) dengan politisi yang hanya mampu mengandalkan APBN (spesifiknya adalah pemasukan dari utang luar negeri dan pajak rakyat) untuk melakukan pembangunan di Indonesia. Bahkan, untuk menyalurkan APBN sebagaimana mestinya (seperti untuk anak terlantar dan miskin) saja para pemimpin eksekutif kita tidak mampu melakukannya. Penggerogotan APBN yang malah begitu marak (bukalah data korupsi). Kita butuh Presiden yang mampu meningkatkan pendapatan Negara di luar dari yang telah terbentuk otomatis oleh masyarakat (pajak dan utang luar negeri).
Kedua, rendahnya kualitas para politisi yang muncul di hadapan publik. Anda sudah pasti mendengarkan para politisi yang berjanji bahwa mereka akan “mengentaskan kemiskinan, memberantas korupsi, mengusut tuntas kasus HAM, meningkatkan kualitas SDM, dan memberantas mafia agraria”. Narasi-narasi politisi demikian merupakan bukti bahwa kualitas mereka begitu rendah, karena sejatinya itu semua adalah kewajiban moral – konstitusional: kemiskinan harus dituntaskan, tidak boleh korupsi, tidak boleh melanggar HAM, SDM ditingkatkan dan tidak boleh terjadi konflik agraria.
ADVERTISEMENT
Penting pembaca ketahui bahwa semua yang telah digariskan oleh Konstitusi adalah kewajiban nan tak perlu diobralkan dalam arena perpolitikan – melainkan gagasan besar dan tindakan kekar untuk perwujudan kemajuan negara, kedaulatan serta kesejahteraan rakyat Indonesia merupakan sosok pemimpin yang dibutuhkan. Sehingga dapat kita simpulkan, jika masih ada politisi menawarkan apa yang telah digariskan konstitusi sebagai bahan kampanye adalah prediktor bahwa mereka tidak memiliki gagasan dan narasinya sudah pasti omong kosong.

Jika Saya Presiden Republik Indonesia, Maka:

Republik ini adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya dan kekuatan cadangan ekonomisnya begitu luar biasa – sayangnya kita telah dikangkangi oleh para skandal nan bertengger di tampuk-tampuk kekuasaan berpuluh tahun lamanya. Publik dipertontonkan bahwa para politisi yang duduk di kursi kekuasaan adalah politik kekerabatan (dinasti politik) dan/atau politisi yang terdependensi (tergantung) kepada para oligarki. Jika pun ada, hanya satu dua politisi yang tidak berasal dari dua prasyarat tidak senonoh tersebut. Konsekuensinya adalah masyarakat diposisikan sebatas objek dari birahi mereka: wujudnya dapat anda lihat bahwa para politisi tersebut lembek di papan percaturan internasional dan menunduk di bawah oligarki (pemilik modal finansial dan pimpinan partai politik pengusung).
ADVERTISEMENT
Lantas, jika saya presiden, maka hal yang akan terjadi adalah nuansa dan suasana Ibu Pertiwi bersahaja yang selama ini Founding Father dan kita citakan. Tahun pertama; sistem pendidikan Indonesia terbaik di dunia dan menjadi rujukan. Tahun kedua, sistem ekonomi mikro dan makro Indonesia diperbaharui nan harmonis untuk seluruh kalangan. Tahun ketiga, perwujudan neo-konsepsi praktik tria politika di Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya – cukup tiga partai politik dan masing-masing partai politik hanya bertarung untuk satu lembaga tinggi Negara (misalnya Partai A hanya bertarung untuk legislatif, Partai B untuk eksekutif dan Partai C untuk Yudikatif; maka pertarungan adalah antar anggota Partai Politik yang dipilih oleh rakyat – check and balance total dari masing-masing lembaga terwujud dan masyarakat tidak terpolarisasi destruktif).
ADVERTISEMENT
Tahun keempat; industri, teknologi serta sistem keamanan dan pertahanan Indonesia menguasai produk dan sistem dari seluruh Negara maju di dunia. Tahun kelima; Indonesia berada pada satu titik sempurna, di mana jika memang dollar akan tetap digunakan sebagai tolak ukur di dunia – maka Rp 1 sama dengan $ 1 (Amerika Serikat/World Bank). Begitu selesai masa jabatan lima tahun; saya bisa menenangkan diri dan melanjutkan hobbi untuk menulis dan berdiskusi dengan para generasi muda Ibu Pertiwi. So, dapatkah anda melihat konsepsi gagasan tersebut dari delapan tokoh politisi di atas?