Keracunan Abu Poststrukturalis dan Pengkhianatan Intelektual

Al Mukhollis Siagian
Reviewer of The International Journal of Interdisciplinary Social Sciences.
Konten dari Pengguna
8 April 2023 14:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Mukhollis Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini, masalah demi masalah muncul ke permukaan bumi pertiwi dan hiruk-pikuknya memenuhi pewartaan publik. Satu per satu tersingkap, seakan republik tengah melakukan upaya bersih-bersih.
ADVERTISEMENT
Mulai dari arogansi keluarga pejabat, putusan pengadilan negeri terkait penundaan pemilu, “pengesahan kembali” UU Ciptaker, korupsi, pencucian uang, batalnya Indonesia tuan rumah Piala Dunia U-20, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, riuh-keruh persoalan tersebut berada pada tahun politik, olehnya nyaris tidak ada satu pun masalah yang tidak dipandang dengan kacamata politik praktis. Pandangan seragam hampir merata, dari politikus hingga pada masyarakat biasa.
Jika kita serius menganggapnya suatu masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan politikus dari para politikus pun tidak layak menggunakan kacamata politik praktis dalam melihatnya. Penggunaan kacamata politik praktis dalam menilai suatu masalah akan memunculkan implikasi destruktif. Mengingat perjalanan politik praktis politikus republik kita cenderung bobrok, khususnya pasca reformasi.
ADVERTISEMENT
Pertama, sesama politikus tentu akan menggunakan politik balas dendam. Lalu mendapati masyarakat menjadi korban serta agama, bangsa dan negara adalah jualannya. Kedua, masyarakat melakukan pembiaran dan permasalahan demi permasalahan menjadi ternormalisasi, kemudian kita menyaksikan tiada penghormatan politikus terhadap pemangku kedaulatan tertinggi dan KKN merajalela.
Alhasil, jika seandainya setiap masalah terselesaikan sebagaimana mestinya, maka ia akan berulang dan bermetamorfosis dengan wajah baru. Upaya-upaya penyelesaian masalah di atas nampak begitu jelas tidak disertai penghayatan serius.
Sehingga masuklah kita pada satu pertanyaan bahwa apabila suatu permasalahan tidak disertai penghayatan serius: seberapa besar birahi kita tetap berupaya mengedepankan alibi untuk mengeluarkan omong kosong bahwa keseriusan bersama masih begitu besar dalam membenahi negeri ini?
ADVERTISEMENT
Menyikapi kondisi dan situasi bangsa memilukan dan memalukan demikian, penulis berupaya menggali akar permasalahannya. Di mana persoalan ketidakseriusan menghayati dan kecenderungan menggunakan kacamata politik praktis menilai masalah dalam hemat penulis disebabkan oleh dua faktor fundamental: masyarakat keracunan abu poststrukturalis dan terjadinya pengkhianatan intelektual.

Keracunan Abu Poststrukturalis

Poststrukturalis merupakan salah satu kajian sosial termutakhir yang diformulasikan atas dasar perkembangan realitas sosial itu sendiri. Poststrukturalis menekankan perhatian pada pluralitas, relasi kekuasaan dan subjektivitas dalam menentang narasi tunggal dan monopoli makna kebenaran.
Sederhananya, kebenaran realitas sosial di Papua tidaklah sama dengan kebenaran realitas sosial di Jakarta, maka mengumandangkan kebenaran realitas sosial bersifat tunggal (sama) untuk kedua daerah tersebut adalah keliru; pertentangan makna seperti inilah yang dibawa oleh poststrukturalis.
Foto: dok. pribadi
Bukan berarti poststrukturalis hadir untuk membeda-bedakan maupun senantiasa mencari perbedaan. Melainkan hadir dalam menerjemahkan keadaan sosial yang lebih telanjang dan mengakui secara jujur hukum alami dari suatu entitas sosial.
ADVERTISEMENT
Sehingga apabila dicermati lebih mendalam, sejatinya poststrukturalis sangat bagus, sejalan dengan demokrasi dan mikrobiologis masyarakat Indonesia yang beragam. Namun sangat disayangkan, kita secara dominan tengah keracunan abu poststrukturalis—menjadi musibah besar bagi publik. Ibarat seseorang baru belajar filsafat theologies, yang termakan baru abunya tapi sudah mempraktikkan—alhasil menjadi atheis.
Dalam kehidupan aktual, sebagai contoh wujud poststrukturalis secara sederhana dapat dilihat dari kehidupan generasi muda yang secara serentak-dominan menebarkan narasi “be your self”. Jadilah dirimu sendiri, merupakan salah satu wujud dari cara kinerja poststruktralis agar seseorang mencari dan menemukan makna utuh terkait dirinya sendiri.
Namun fakta sosial yang terjadi di Indonesia, kita menemukan bahwa di balik “jadilah dirimu sendiri” adalah hasil dari keracunan poststrukturalis. Misalnya, seorang pelacur, masih dapat menghasilkan uang dari banyak hal selain daripada menjadikan alat kelaminnya sebagai komoditas jual, lalu kemudian ia dengan bangga mengatakan “jadilah dirimu sendiri”.
ADVERTISEMENT
Atau seorang koruptor mengemukakan bahwa ia terpaksa korupsi karena ia mengeluarkan ongkos politik saat akan menjabat, lalu kemudian mengatakan peduli apa dengan kata orang lain jika dirinya korupsi. Padahal ia tahu sebelum mencalonkan diri akan mengeluarkan sejumlah uang dan ia memiliki pilihan lain; tetap mencalon dengan tidak korup ketika menjabat atau tidak mencalon sama sekali.
Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa mereka (subjek) dengan sadar mengingkari hukum alami entitas sosial sebagaimana nilai dan spirit dari poststrukturalis itu sendiri. Poststrukturalis menolak kepalsuan dan sebagian besar dari kita menggunakan poststrukturalis sebagai tameng kepalsuan diri.
Tidak hanya terpaku pada dua contoh tersebut, seluruh elemen kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tengah terjangkit. Akibatnya adalah realitas sosio-kebangsaan republik dengan subjeknya yang bertindak sesuka hati, apatis over dosis, skeptis tak berdasar dan membabi rata, polarisasi masif, dan plin-plan.
ADVERTISEMENT

Pengkhianatan Intelektual

Secara filosofis, kaum intelektual lahir sebagai kelompok sosial nan agung lagi mulia, kaum yang memberikan pencerahan atas gelap-mandeknya kehidupan. Sehingga tidak berlebihan rasanya mengatakan bahwa fenomena keracunan abu poststrukturalis nan melanda pada dasarnya hanya dapat diobati oleh kaum intelektual. Atau setidaknya harapan tersebut secara pertama kali layak ditujukan kepada mereka.
Tetapi nahasnya, kaum intelektual malah melakukan pengkhianatan besar-besaran. Sebagian kecil dari mereka adalah pelaku dari keracunan dengan menjadi hamba sahaya kekuasaan. Pada posisi kelas menengah, menjadi korban dari keracunan abu poststurkturalis. Sebagian besarnya lagi sibuk mempertuan agung mata rantai keuangan dan tidak peduli dengan apa yang tengah terjadi.
Kaum intelektual-lah yang kita temui di sekolah-sekolah dan kampus-kampus dengan ajaran-ajarannya pada setiap peserta didik agar tidak boleh khianat. Tetapi kaum intelektual pula yang menunjukkan cara berkhianat kepada para politikus tata cara korup. Baik itu dalam bentuk finansial, kebijakan-kebijakan tidak pro rakyat dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Merujuk salah satu pemikir yang mengupas pengkhianatan intelektual secara serius, Julien Benda dalam bukunya berjudul La Trahison des Clercs (1927), kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Winarsih P. Arifin berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan.
Bahkan Benda meletakkan standar yang lebih tinggi dari kriteria pengkhianatan intelektual yang penulis kemukakan di atas. Benda mengemukakan:
Senada dengan itu, kaum intelektual melakukan peng-amin-an keadaan buruk dengan cara diam, penulis juga mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer sebagai penutup. Di mana Pram mengkritik para kaum intelektual pada masa Orde Baru dengan mengemukakan: