Wacana Tunda Pemilu vs Metastrukturalisme

Al Mukhollis Siagian
Reviewer of The International Journal of Interdisciplinary Social Sciences.
Konten dari Pengguna
5 April 2022 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Mukhollis Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Metastrukturalisme (Sumber: Design by Al Mukhollis Siagian)
zoom-in-whitePerbesar
Metastrukturalisme (Sumber: Design by Al Mukhollis Siagian)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana tunda pemilu menjadi salah satu persoalan paling kontroversial ditriwulan pertama tahun 2022. Hemat saya disebabkan oleh dua hal: pertama, menunda pemilu berarti keharusannya adalah melakukan amandemen konstitusi dan revisi sejumlah peraturan perundang-undangan terkait. Tentu prosesnya tidak mudah dan menghabiskan anggaran negara tidak sedikit pula. Bertolak belakang dengan salah satu alasan pengusung wacana tunda pemilu untuk menghemat anggaran.
ADVERTISEMENT
Kedua, aktor yang mengemukakan wacana tersebut berasal dari lingkar istana. Sehingga para kritikus, politisi oposisi, akademisi, aktivis, mahasiswa dan kalangan lainnya memberikan tanggapan bernuansa intelektual dari berbagai sudut pandang (politik, kelembagaan, konstitusi, finansial dan cara kinerja big data) dengan hasil dominan berisi kecaman terhadap penggunaan relativisme moral dan irasional oleh pejabat publik dalam menginterpretasikan kondisi bangsa yang kompleks.
Sejak mencuatnya narasi tunda pemilu, perdebatan tentangnya terbagi menjadi dua garis besar tanggapan publik, katakanlah satu pihak dari simpatisan dan loyalis Presiden Jokowi, dilain sisi dari pihak oposisi. Pertarungan keduanya menginterpretasikan demokrasi dalam naungan konstitusi, berdiri atas nama aspirasi rakyat, dan kontekstualisasi terhadap pandemi Covid-19. Perdebatan yang kaku, alur pembahasannya tertebak, dan tidak membawa gagasan pembaharuan.
ADVERTISEMENT
Meskipun sangat sulit, secara tertatih-tatih saya keluar dari dua garis perdebatan kurang dewasa itu. Meletakkan pandangan bahwa wacana tunda pemilu merupakan fenomena jiwa jaman kekuasaan yang menjadi gapura masuknya meta-strukturalisme di Indonesia. Meta-strukturalisme merupakan label yang menggabungkan semua gerakan terutama kurun waktu dua tahun terakhir dalam upaya merespon post-strukturalisme.
Kajian tentang meta-strukturalisme sangat minim. Namun pembicaraan tentang meta-strukturalisme bukanlah sesuatu yang sulit, ia hadir seiring dengan munculnya meta-modernisme, sebagaimana post-struktutalisme bagian dari varian post-modernisme. Oleh karena itu, untuk memahami lebih jelas tentang meta-strukturalisme, perlu diulas tentang cara berpikir post-strukturalisme dan meta-modernisme.
Pertama, post-strukturalisme merupakan kritikan terhadap kinerja strukturalisme yang meletakkan titik perhatian pada keragaman, pluralitas dan relasi kekuasaan dalam membuka ruang dan menyediakan kerangka kerja untuk memposisikan subjek. Kehadiran post-strukturalisme berusaha mendekonstruksi, menganalisis operasi perbedaan dan cara di mana makna dibuat untuk bekerja. Selanjutnya menawarkan kemungkinan untuk produksi wacana tandingan (atau wacana terbalik) yang menantang makna dan kekuasaan. Sebagaimana salah satu tokoh populer post-strukturalisme Michel Foucalt mengemukakan bahwa kekuasaan melahirkan anti kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Post-strukturalisme secara umum didefinisikan sebagai varian dari post-modernisme. Perbedaan posisi dan penggunaan keduanya sangat jelas, post-modernisme diasosiasikan dengan seni, arsitektur dan budaya, sedangkan post-strukturalisme dengan teori sastra, filsafat dan sejarah. Tetapi sudut pandang yang sama dari keduanya adalah penolakan terhadap metanarasi yang terkait dengan gagasan spesifik tentang diri, subjek, dan pengetahuan.
Kedua, meta-modernisme merupakan aliran yang mucul bersamaan dengan alter-modernisme dan digi-modernisme setelah post-modernisme mengalami kematian paradigma. Namun diantara tiga aliran tersebut, meta-modernisme yang paling banyak diikuti oleh para filsuf. Pada tanggal 25 September 2014, Museum Stedelijk di Amsterdam menyelenggarakan simposium tentang meta-modernisme, dengan penulis kontroversial Francis Fukuyama membuka diskusi dan aktor terkenal Shia LaBeouf menjalankan maraton simbolis di sekitar gedung Stedelijk. Selanjutnya, cendekiawan Robin Van den Akker dan Timotheus Vermeulen menerbitkan penelitian berjudul “Metamodernism: Historicity, Affect, and Depth after Postmodernism” pada tahun 2017. Dan yang terakhir pada Juli 2019, sebuah konferensi tentang meta-modernisme diselenggarakan oleh jaringan Metamodernism AHRC di Universitas Radboud, Belanda.
ADVERTISEMENT
Cara berpikir dan kinerja meta-modernisme diterjemahkan sebagai upaya pencarian akar disaat tercerabut. Ini adalah pencarian sudut pandang yang darinya kompleksitas dan kesederhanaan dapat masuk akal, hidup berdampingan, dan saling melengkapi. Upaya radikal mengembalikan subjek untuk membentuk realitas dan makna.
Atas dasar kemesraan historis antara post-modernisme dan post-strukturalisme yang ketika post-modernisme digantikan oleh meta-modernisme menjadi landasan bagi saya untuk menggunakan istilah meta-strukturalisme. Purnalah kehadiran meta-modernisme dilengkapi dengan meta-strukturalisme, sebagaimana modernism didampingi strukturalisme dan post-modernisme bersama post-strukturalisme.
Meta-strukturalisme mempengaruhi pendekatan meta-modernisme terhadap makna, waktu dan linearitas, memperdebatkan bahasa, kekuasaan, nilai, dan makna yang mengarah pada dominasi. Setiap objek dan slot waktu menjadi integral satu sama lain dan didefinisikan sebagai unit independen yang memiliki konsistensi dan garis demarkasinya sendiri, linieritas hilang, dan makna mengambil bentuk banyak konsep.
ADVERTISEMENT
Jika strukturalisme dikonstruksi oleh kekuasaan untuk menata realitas seragam akan nilai dan makna, maka post-strukturalisme hadir membantah universalisasi pemahaman tersebut dengan menekankan bahwa nilai dan makna yang plural harus diakui keberadaannya dan tidak bisa menggunakan pendekatan universalitas. Semenjak post-modernisme dianggap mengalami kematian paradigmanya, variannya bernama post-strukturalisme tentu juga ikut. Meta-strukturalisme secara langsung menggantikan post-strukturalisme dengan kerangka berpikir pembalikan standar ulang oleh kekuasaan atas nilai, makna, dan kekuasaan secara universal dengan mendalihkan pluralitas sebagai fondasi.
Dalam catatan saya, gejala munculnya meta-strukturalisme di Indonesia telah gencar dilakukan sejak dua tahun belakangan. Pertama, dengan dibentuknya UU Omnibus Law yang keputusan MK pada tahun 2021 mengemukakan bahwa UU tersebut inkonstitusional namun tetap bisa berlaku meskipun tidak dapat diundangkan selama berstatus ditangguhkan. Artinya, realitas dan makna yang tidak diatur dalam sumber hukum kita telah menjadi batu loncatan dalam pemaknaan dan realitas yang kuat dan berskala besar dalam relasi kekuasaan mendatang.
ADVERTISEMENT
Kedua, keberhasilan kekuasaan pusat mengambil alih 271 daerah yang kepala daerahnya selesai masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023. Ditandai dengan penetapan bahwa Pilkada dilakukan secara serentak pada November 2024. Tahun 2022, ada 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota. Sedangkan tahun 2023 ada 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota selesai bertugas. Mereka diganti penjabat gubernur yang diangkat Presiden dan penjabat bupati/wali kota yang diangkat Mendagri. 24 provinsi di Indonesia, kepala daerahnya akan diangkat oleh Presiden; 191 Kabupaten dan 56 Kota, kepala daerahnya akan diangkat oleh Kemendagri. Lebih dari 2/3 daerah Indonesia yang daulatnya ditangan rakyat harus diambil alih oleh pusat dalam alam demokrasi pasca reformasi berdarah kita.
ADVERTISEMENT
Konstruksi wacana itu telah menyambut kehadiran meta-strukturalisme menyajikan tingkat destabilisasi bangsa. Keadaan ini mengobrak-abrik nalar publik pasca mengalami destabilisasi tak tertahankan akibat pandemi covid-19 sehingga menimbulkan kebutuhan akan reaksi, seperti seruan untuk reformasi sistem ekonomi dan restrukturisasi wacana politik.
Tak hanya itu, mulusnya cara masuk meta-strukturalisme secara paralel diiringi dengan memudarnya logika kepakaran vs munculnya logika ketenaran dan logika kekuasaan. Meta-strukturalisme diasosiasikan melalui media dan dominasi makna serta realitas dari kekuasaan rezim. Sebuah siasat berpikir dengan kinerja meta-dekonstruktif sistem diantara sistem sebagai landasan logis untuk melakukan penundaan pemilu.