Konten dari Pengguna

OPINI : Tantangan Hidup Berdampingan Dengan Keberagaman Di Pesantren

Isykarima Al Qibthia
Saya sebagai mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta
16 September 2024 17:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isykarima Al Qibthia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui tantangan hidup berdampingan dengan keberagaman di pesantren. Pada dasarnya, di kehidupan pesantren memiliki latar belakang perbedaan budaya yang cukup bervariasi. Maka dari itu, penulisan ini diharapkan menjadi gambaran dalam menghadapi keberagaman yang berada di pesantren. Sebelum kita membahas lebih jauh, pertama kita akan membahas apa sih pesantren itu? Mungkin bagi orang awam (biasa) nama pesantren itu identik dengan tempat buangan anak nakal. Pendapat itu tidak dibenarkan. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dengan kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatannya, dan pengajaran Islam dibawah bimbingan kyai atau guru yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. Pesantren identic dengan keberagaman dalam aspek suku, ras, dan budaya. Pesantren ini diharapkan mampu untuk menjaga kerukunan dan keberagaman masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman saya, saya pertama kali merasakan kehidupan di pesantren sejak Tsanawiyah setara (SMP). Pada jenjang Tsanawiyah, saya mondok di salah satu pesantren di Bantul Yogyakarta. Dan melanjutkan Aliyah setara (SMA )di salah satu pondok pesantren di Gunungkidul Yogyakarta. Kehidupan di pesantren sangat asing dan keras bagi saya yang masih awam pada waktu itu. Apalagi dengan usia saya saat umur 13 tahun sudah dituntut untuk mandiri. Mulai dari mencuci baju, membersihkan kamar, interaksi sosial, dan mengatur keuangan yang diberi orang tua. Kegiatan pesantren pun sangat padat mulai dari bangun tidur hingga malam hari. Ditambah saya perlu penyesuaian diri terhadap lingkungan pesantren, harus menghadapi perbedaan dengan latar belakang teman yang berbeda-beda, dan pikiran tentang apa yang akan saya lakukan ketika di pesantren.
ADVERTISEMENT
Nah, dari pengalaman tersebut, tentu akan muncul perbedaan-perbedaan budaya atau culture yang tidak sama dengan kehidupan yang dijalani sebelumnya. Perbedaan yang saya pernah alami dari mulai hal-hal remeh hingga hal besar. Hal-hal remeh itu misalnya perbedaan jam tidur, jam makan, dan jam belajar. Saya tipikal santri yang tidur tidak larut malam, jika kegiatan saya sudah selesai dan waktunya memang untuk istirahat. Namun ada beberapa santri yang masih begadang atau sekedar kumpul bercengkrama biasa. Terkadang membuat suasana menjadi berisik. Akibatnya, mengganggu jam istirahat santri lain. Soal makan pun demikian, kalau di asrama saya itu tipe makannya bukan prasmanan melainkan kita membawa nampan atau wadah lalu ada tim yang membagi nasi dan lauk. Ada beberapa santri yang tidak suka dengan makanan yang sudah disediakan. Akibatnya, makanan yang diambil pun jadi mubadzir. Saya tidak mungkin menyikapinya dengan rasa marah ataupun membenci orang tersebut. Saya akan berusaha mencari solusi agar suasana menjadi nyaman serta seimbang baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Pada kondisi inilah, saya dituntut untuk belajar menerima perbedaan dan beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Semakin lama mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren, maka semakin pula perbedaan muncul secara komplek. Bertemu teman-teman dari berbagai daerah maupun luar pulau. Saya pun menjadi lebih mengenal perbedaan budaya dan bahasa secara langsung. Menurut saya, hidup di pesantren memang seharusnya mampu menjadikan kita terbiasa dengan perbedaan. Sehingga kita tidak perlu mempermasalahkan adanya perbedaan agama,suku, ras, dan budaya yang ada di negara kita. Munculnya kasus konflik antar suku kulit hitam dan kulit putih adalah salah bentuk bahwa dirinya tidak dapat menerima adanya perbedaan. Sehingga pesantren adalah tempat untuk melatih diri agar bisa berdamai dengan perbedaan keberagaman. Dengan catatan, latihan tersebut harus disertai dengan usaha mencintai perbedaan dan keberagaman. Kenyataannya, berbeda dalam beberapa ritual ibadah, berbeda dalam pemikiran serta sudut pandang dalam beberapa aspek keislaman itu tidak terlalu buruk. Karena pada prinsipnya, di pesantren sebagai ajang mencari teman sebanyak-banyaknya, bukan mencari musuh. Ketika ada santri yang tidak setuju dengan kegiatan tahlil, hadrohan, shalat tanpa qunut saya tidak harus memandang sinis kepadanya. Karena setiap santri mempunyai kebebasan untuk memilih dan meyakini ajaran-ajarannya.
ADVERTISEMENT
Saya berharap, dari pesantren-pesantren di penjuru nusantara dan dunia akan lahir santri-santri yang mempunyai pandangan dan cara berpikir yang luas terhadap keragaman. Sehingga pesantren tidak menjadi tempat yang justru melahirkan teroris (pelaku teror) namun memberikan rasa aman dan damai bagi dunia. Ingin menegaskan bahwa perbedaan bukan sesuatu yang salah. Saya setuju dengan salah satu tokoh santri freelancer yang mengatakan bahwa “pesantren adalah ruang yang memberikan kita kesempatan untuk merasakan dan mengalami secara langsung perbedaan”. Santri belajar memahami sesuatu yang bukan dirinya, mengatur strategi untuk hidup dengan kawan-kawan yang berbeda karakter dan mengadopsi hal-hal baik untuk mengembankan diri dan lingkungan. Menjadi santri harus menjadi agen perdamaian bagi negeri. Menjadi santri harus memahami perbedaan sebagai nikmat bukan sebagai laknat (bencana). Menjadi santri harus menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai hak hidup, hak mengembangkan potensi dirinya, hak berpendapat, hak menjadi pemimpin dan hak merdeka sebagai warga negara. Santri terbiasa hidup dengan kesederhanaan (sepiring untuk bersama) dan saling berdampingan. Santri juga terbiasa hidup saling gotong royong, saling menolong, merasakan sedih dan susah hidup di pesantren, terbiasa survive dengan berpuasa karena kiriman bulanan telat dan terbiasa dengan perbedaan. Dengan demikian santri diharapkan mampu membawa spirit kesederhanaan hidup dan saling welas asih (menyayangi) ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Universitas Cordova 2022 (ISLAM KEPESANTRENAN)
Zakiya Ar Rahma 2021 (RUANG KEBERAGAMAN ITU BERNAMA PESANTREN)