Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Asas-Asas Hukum Kewarissan
21 Oktober 2024 11:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Alban Tany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Landasan hukum waris Islam yang dapat disalurkan dan Al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, di antaranya adalah (1) wajib, (2) bilateral, (3) perseorangan, (4) keadilan berimbang, dan (5) akibat kematian.
ADVERTISEMENT
Asas (1) ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari = compulsory) dalam hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi: ahli war harus (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari beberapa segi lama yaitu (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia, (b) dari jumlah harta yang sudah ditemukan untuk masing-masing ahli waris, dan (c) dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan, yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris.
Asas (2) adalah asas bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan pe rempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat-an-Nisa ayat 7,11, 12 dan 176 . Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan dalam kewarisan bilateral. Secara terinci asas itu disebutkan juga dalam ayat-ayat lain di atas.
ADVERTISEMENT
Asas (3) adalah asas individual. Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan. Bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tertentu, karena itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab, dalam pelaksanaan sistem kewarisan kolektif itu, mungkin terdapat harta anak yatim yang dikhawatirkan akan termakan, sedang memakan harta anak yatim merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Asas (4) adalah asas keadilan yang berimbang. Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi pe- nanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup atok dan istrinya (Q.s. 2:233) menurut kemampuannya (Q.s 65:7). Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang laki-laki hanyalah tambahan saja, melaksanakannya. yang diperoleh dan kewajiban yang keseimbangan antara hak apa yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka rasakan.
Asas (5) adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta kewarisan, selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Ini berarti bahwa kewarisan Islan adalah akibat kematian seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata barat kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada waktu ia masih hidup yang disebut dalam hukum perdata barat dengan istilah kewarisan secara testamen. Asas ini mempunyai kaitan dengan asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang tidak berkaitan dengannya saja menentukan penggunaan hartanya setelah mati kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam, dalam batas-batas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat memupunyai ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam.’
ADVERTISEMENT