Konten dari Pengguna

Urgensi Penerbitan Perda Penyandang Disabilitas

Alboin Cristoveri Samosir
Saat ini sedang berusaha menikmati hidup.
25 Juli 2023 11:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alboin Cristoveri Samosir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis ketika memberikan pandangan terkait Pembaharuan Perda Provinsi Jawa Barat Tentang Penyanbdang Disabilitas. Foto: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penulis ketika memberikan pandangan terkait Pembaharuan Perda Provinsi Jawa Barat Tentang Penyanbdang Disabilitas. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Percepatan Pembangunan Nasional (Bappenas) sampai Desember 2021, Peraturan Daerah (Perda) tentang penyandang disabilitas sudah dibentuk di 109 dari 548 (19,8 persen) daerah di Indonesia. Dari 109 daerah tersebut, 21 di antaranya di provinsi (61,7 persen), 25 kota (26,8 persen), dan 63 kabupaten (15,1 persen).
ADVERTISEMENT
Dari data tersebut juga diketahui bahwa masih ada 13 provinsi yang kabupaten/kota di wilayahnya belum memiliki Perda tentang Penyandang Disabilitas. Sejauh ini hanya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang kabupaten/kotanya sudah 100 persen memiliki Perda Disabilitas, sedangkan yang capaiannya lebih dari 50 persen baru kabupaten/kota di Provinsi Bali dan Jawa Tengah.
Minimnya partisipasi daerah melahirkan Perda tentang Penyandang Disabilitas menjadi penanda bahwa sejauh ini isu mengenai pemenuhan hak Penyandang Disabilitas belum menjadi prioritas utama yang mendesak untuk segera direalisasikan. Realita ini menjadi anomali di tengah segudang permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di berbagai daerah.
Seiring dengan perkembangan otonomi, daerah diharapkan mampu mengambil peran strategis terutama dalam mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan terhadap penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak terlepas dari amanat Pasal 17 Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan terhadap penyandang disabilitas merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana ditegaskan dalam UU 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Selain sebagai amanat perundang-undangan terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Pertama, Penyandang Disabilitas menjadi korban ableisme berupa stereotipe, prasangka, dan diskriminasi masih marak terjadi di berbagai daerah.
Berdasarkan temuan Komisi Nasional Disabilitas (KND) terdapat tindakan-tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, salah satunya terjadi di Kota Semarang. Salah seorang anak disabilitas rungu ditolak bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan alasan belum ada kurikulum yang mengatur mengenai pendidikan inklusi.
ADVERTISEMENT
Kedua, berdasarkan data Survei Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020, lebih dari 50 persen penyandang disabilitas tinggal di pedesaan. Hal ini berimplikasi pada akses dan rendahnya tingkatnya pendidikan penyandang disabilitas.
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Susenas) 2020, partisipasi sekolah atau tingkat pendidikan penyandang disabilitas di wilayah perdesaan masih relatif rendah dibandingkan dengan penyandang disabilitas di wilayah urban. Partisipasi penyandang disabilitas dalam pendidikan menengah dan tinggi menurun drastis dibandingkan dengan penyandang disabilitas yang tinggal di wilayah kota/urban.
Ilustrasi anak disabilitas. Foto: Manop Boonpeng/Shutterstock
Rendahnya partisipasi pendidikan berpengaruh terhadap penyerapan kerja Penyandang Disabilitas, padahal pendidikan merupakan faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap daya tawar seseorang dalam peluang kerja (Boman, 2015).
ketiga, sejalan dengan rendahnya tingkat pendidikan , angkatan kerja disabilitas pada tahun 2020 didominisasi 67,8 persen angkatan kerja disabilitas tidak sekolah/tidak tamat SD dan sebanyak 79 persen penyandang disabilitas bekerja di sektor informal yang didominiasi bekerja di usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan (Sakernas, 2020).
ADVERTISEMENT
Pendidikan dan pekerjaan tentu saja berpengaruh terhadap aspek kesejahteraan (well-being). Sebesar 11,42 persen kelompok penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan sementara Non-penyandang disabilitas sebesar 9,63 persen. Sementara itu tingkat kemiskinan pada penyandang disabilitas ganda atau multi (lebih dari satu) lebih tinggi lagi yakni sebesar 13,38 persen.
Keempat, skema jaminan kesehatan terhadap penyandang disabilitas masih minim dilakukan di berbagai daerah. Tercatat hanya beberapa daerah yang sudah melakukannya, seperti DI Yogyakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 50 tahun 2017 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Khusus yang digunakan untuk meng-cover kebutuhan kesehatan dan alat bantu yang tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan.
Di Sukoharjo, praktik ini dipayungi oleh Peraturan Bupati (PERBUP no.3 tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 18 tahun 2017 tentang Penyandang Disabilitas.
Ilustrasi anak memakai kursi roda. Foto: Bangkok Click Studio/Shutterstock
Kebijakan daerah ini memungkinkan Pemerintah Kabupaten untuk mendukung jaminan kesehatan melalui pembiayaan bantuan iuran yang bersumber dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
ADVERTISEMENT
Kelima, aksesibilitas di ruang publik dan transportasi masih minim, terutama di daerah yang belum memiliki Perda tentang Penyandang Disabilitas, salah satu contohnya adalah beberapa kabupaten kota di Gorontalo.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Sosial Gorontalo ada 5.816 penyandang disabilitas yang tersebar di lima kabupaten dan satu kota. Jumlah itu terdiri dari 647 orang di Kota Gorontalo, 2.003 orang di Kabupaten Gorontalo, 639 di Gorontalo Utara, serta Pohuwato, Bone Bolango dan Boalemo masing masing 1.150, 981, dan 396 orang.
Kondisi ini berimplikasi pada terhambatnya mobilitas penyandang disabilitas di ruang-ruang publik, sebab tidak semua tempat dapat diakses. Hal ini tentu saja bertentangan dengan spirit Pasal 18 Undang-Undang 8 tahun 2016 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang pada pokoknya pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan khusus.
ADVERTISEMENT
Keenam, Undang-Undang 8 tahun 2016 masih bersikap general dan belum memperhatikan secara komprehensif terkait kebutuhan, tantangan, dan hambatan penyandang disabilitas di berbagai daerah. Dalam kondisi inilah diharapkan kehadiran Perda Penyandang Disabilitas mampu mengisi kekosongan tersebut. Perda diharapkan mampu menginterivensi lebih jauh untuk memenuhi hak penyandang disabilitas.
Ilustrasi Penyandang Disabilitas Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hambatan dan tantangan ini dapat dilihat dari letak geografis, demografis, topografis, dan berbagai unsur lainnya, seperti kebutuhan penyandang disabilitas di daerah kepulauan tentu saja berbeda dengan daerah padat penduduk, daerah industri dengan daerah pertanian, padat penduduk, dan sejumlah perbedaan lainnya baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Berdasarkan sejumlah pekerjaan rumah tersebut kiranya pemerintah daerah dapat memandang upaya pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas merupakan hal yang krusial untuk dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Melalui penerbitan Perda Penyandang Disabilitas ini setidaknya daerah sudah memberikan pijakan yuridis dan kepastian hukum dalam upaya memberikan penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas dan cita-cita mewujudkan Indonesia inklusi tidak hanya pepesan kosong belaka.