Konten dari Pengguna

Bagaimana Rasanya Jadi Hewan Ternistakan Seperti Ular?

Aldehead Marinda Merfonsina Uparatu
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
27 Desember 2023 8:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldehead Marinda Merfonsina Uparatu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ular sanca kembang. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ular sanca kembang. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya hidup dengan stigma buruk? Begitulah kurang lebih kondisi yang dialami oleh salah satu hewan melata di muka bumi yakni ular. Bagaimana rasanya hidup sebagai hewan ternistakan seperti ular?
ADVERTISEMENT
Salah satu pengalaman horor dalam hidup penulis adalah momen ketika bapak saya loncat dengan wajah pucat ketika dihampiri sosok tak diundang ke teras rumah. Sosok tak diundang yang saya maksud bukan ilmu hitam, hantu atau sejenisnya, melainkan hewan pendiam yakni ular. Bapak yang terlihat panik membuat saya ikut merasakan betapa gentingnya situasi saat itu. Penulis menyadari betul, saat kejadian berlangsung, tato dan otot yang melekat di tubuh bapak benar-benar tidak berguna. Mereka semua layaknya barang nonfungsional yang hanya bisa dinikmati keindahannya. Nada suara bapak yang biasanya tegas seperti komandan di film-film laga mendadak turun beberapa oktaf.
Saya tidak tahu pasti ular yang mampir kala itu adalah jenis ular apa. Dengan begitu saya tidak tahu apakah dia berbisa atau tidak. Secara visual, adegan ular gelap mampir ke teras rumah saya di siang hari ini sangat estetik dan ciamik jika diabadikan oleh fotografer andal bernyali besar.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak? Corak kulit ular yang agak gelap bercampur hitam tersebut menyatu dengan baik dengan tehel merah di teras saya (tipe rumah tua dengan tehel merah marun). Belum lagi siluet cahaya matahari yang menyinari scene ini. Tapi sayang, nyali saya tidak sebesar Peter Parker untuk memotret adegan mahal tersebut.
Adegan selanjutnya adalah puncak dari cerita ini. Berbekal sapu dan jiwa heroiknya, ibu saya dari dalam dapur yang justru keluar untuk mengusir pergi ular dari teras. Tak berhenti saya ucapkan terima kasih kepada beliau setelahnya. Entah dari mana keberanian ibu itu berasal. Saya menduga sedikit banyak karena beliau orang Batak. Penulis terlalu takut untuk melanjutkan potongan adegan selanjutnya dan memutuskan kembali ke dalam kamar sembari terus mendengar percakapan genting yang terjadi di luar.
ADVERTISEMENT
Dari dalam bilik kamar, penulis mendengar bahwa ibu berhasil menjalankan misi mulia. Mengusir si ular dari TKP dan menenangkan bapak yang sudah diambang rasa takut. Berdasarkan penuturan ibu, dia mengusir pergi ular dengan sapu panjangnya sembari mengeluarkan bunyi seperti mengusir kucing “wush ... wush” kurang lebih demikian. Takjub sekaligus terpukau, menyadari bahwa hewan sekelas ular saja tahu, siapa jenderal sesungguhnya di rumah kami.
Sesaat kemudian ibu kembali ke TKP untuk menaburkan garam, baik di teras maupun lokasi lain di sekitar rumah. Belakangan baru saya tahu bahwa aksi ibu ini nyatanya tidak berguna untuk mengusir ular. Saya paham betul, meskipun semua anggota di rumah kami beragama, tetapi bapak adalah keturunan Jawa. Jadi, kejadian yang menimpa kami ini kurang lebih dimaknai sebagai pertanda kurang baik. Kami sekeluarga hanya bisa berdoa dan berharap bahwa itu hanya sekadar pengingat supaya kami lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Saya bersyukur bapak dan ibu hanya melihat peringatan-peringatan semacam itu sebagai reminder, kemudian lebih banyak menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai tindak lanjut kejadian yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut membuat saya sadar, sebagai anak, ada banyak hal tentang bapak atau ibu yang belum saya ketahui. Khususnya tentang ketakutan bapak terhadap ular yang ternyata sebesar itu. Masalahnya, bapak, saya dan adik menonton film Anacondas seri pertama dan kedua bersama. Bukan itu saja, sepengetahuan saya, bapak juga salah satu penggemar film laga kolosal China yang di dalamnya terdapat tokoh siluman naga. Bagaimana bisa ibu yang menonton tayangan infotainment justru jauh lebih cakap menangani perkara semacam ini.
Kejadian ini menyadarkan penulis bahwa pengetahuan tentang sosok ular bahkan masih terjadi di antara perbedaan generasi. Sepertinya kita terlalu nyaman menikmati cerita buhun tentang garam dapur untuk mengusir ular.
Kejadian tersebut setidaknya menyadarkan penulis akan pentingnya edukasi tentang makhluk lain yang berpotensi hadir di sekitar kita. Minimalnya, jika saat itu saya tahu bahwa nyatanya ular tidak takut dengan garam, penulis dapat mencegah ibu membuang stok garam dapur yang sekiranya cukup untuk satu bulan ke depan.
ADVERTISEMENT
Poin tentang sangat minimnya edukasi masyarakat tentang ular juga dibahas dalam diskusi penulis bersama Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia, One. Menurutnya perkara edukasi di masyarakat ini menjadi poin serius yang juga ditangani oleh yayasan tersebut.
Contoh kasus berulang, ular masuk ke rumah atau pemukiman manusia menjadi bukti tingginya potensi konflik ular dan manusia. Hal ini tidak hanya berlaku di wilayah dekat hutan saja, melainkan perkotaan sekelas Jakarta juga tidak luput dari konflik ular dan manusia.
Contoh kasus tingkat lanjut adalah persoalan manusia yang menjadi korban gigitan ular. Selain problem minimnya anti venom ular di dalam negeri (hanya tiga jenis anti venom), masalah akses yang tidak mudah (hanya ada di rumah sakit kota besar) juga kian menambah rumit perkara ini.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang paling signifikan dampaknya adalah persoalan mitos dan karya kreatif dengan ular sebagai ‘menu’ utamanya. Jika bicara soal stigma buruk tentang ular kita bisa bercerita panjang mulai dari mitos Kejawen, film dalam dan luar negeri dengan tokoh ular hingga cerita rakyat sekelas Si Kancil yang turut berkontribusi membangun khasanah keilmuan masyarakat. Sosok ular yang kita kenal dari ragam sumber tadi biasanya selalu diasosiasikan dengan kesan jahat, pertanda buruk, ilmu hitam, hingga sosok licik dan rakus.
Bagaimana dengan job desc mereka sebagai penyeimbang rantai makanan dan pertanian? Perkara ular sebagai makhluk yang juga memerlukan treatment konservasi hanya akan menjadi santapan para aktivitas lingkungan dan peneliti.
Selebihnya, masyarakat akan berpikir sederhana tentang siapa yang akan membunuh dan dibunuh jika diperhadapkan dengan ular (try to kill activity). Bagaimana jika mitos ular yang berkembang hanya tentang ular sebagai jelmaan Dewi Sri (Dewi Kesuburan)?
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika Nagini di film Harry Potter karya J. K. Rowling digambarkan sebagai tokoh penyayang dan pelindung masyarakat? Bagaimana jika dalam dongeng Si Kancil, tokoh ular diubah menjadi sahabat si kancil yang mampu membunuh tikus dan menyuburkan hasil panen di desa? Apakah stigma tentang ular dan cara kita merespons kehadirannya akan berbeda?