Media Sosial Si Paling Toxic

Alden Donato Sapin
Saya seorang Siswa SMA Citra Berkat
Konten dari Pengguna
15 Februari 2023 15:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alden Donato Sapin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Foto: Pexels/Magnus Mueller
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Foto: Pexels/Magnus Mueller
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mungkin banyak dari kalian yang pernah merasa media sosial itu toxic. Seperti contohnya, kalian sudah pernah mengunduh Instagram ataupun Tiktok tapi kemudian dihapus kembali karena merasa kehadiran aplikasi tersebut kurang menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi memang benar adanya. Saya setuju bahwa media sosial memang toxic. Media sosial ibarat tempat bagi orang untuk posting segala hal termasuk hal-hal kurang masuk akal hingga ajang pamer atau flexing. Bahkan terkadang dengan melihat postingan tersebut, kita merasa “kok hidup gue kayak gini ya?” lalu kita merasa down.
ADVERTISEMENT
Melalui postingan di Twitter, Handoko Tjung pernah berkata:
Dan nggak cuma itu, bahkan sekarang pun sahabatan saja dinilai dari media sosial. Ada lho yang bilang "Kitakan sahabatan, kenapa sih nggak pernah publish di instastory?”
Mungkin beberapa dari kalian juga merasakan adanya keraguan saat ingin mengunggah di media sosial, seperti kekhawatiran takut dihujat atau terlihat kurang di hadapan media sosial. Dan ternyata yang tidak diduga media sosial ini ada hubungannya dengan otak kita. Menurut News Ekonomis (Paul Zak), interaksi yang kita bangun di sosmed itu bikin otak kita memproduksi hormon oksitosin. Tetapi, sebenarnya hormon okstiosinnya akan keluar ketika kita berinteraksi dengan orang lain seperti mengalami jatuh cinta dan disayang sama orang.
ADVERTISEMENT
Hormon oksitosin yang dikeluarkan ketika kita berinteraksi dengan orang lain sebanyak 13,2 persen dan ini cukup terbilang tinggi. Nah sehingga, ketika kita sedang menonton video lucu ataupun chatting dengan teman, otak kita menganggap itu adalah interaksi yang dilakukan secara nyata. Lalu, ketika hormon ini meningkat banyak perasaan positif yang akan kita rasakan seperti, empati, love, ataupun trust, tetapi di satu sisi interaksi yang dibangun membuat kadar stress kita menurun. Sehingga dapat disimpulkan kalau sosmed ini sangat melekat pada kehidupan kita sehari-hari.
Tidak sampai di situ, sosmed juga sangat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Seolah-olah jika tidak bermain medsos maka kita akan kesulitan dapat kerja dan kesulitan berinteraksi dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Untuk menutupi kondisi mental yang kurang baik, akhirnya kita memutuskan untuk menampilkan yang terbaik, seperti mengikuti trend. Tetapi, di balik dampak negatif media sosial, juga terdapat beberapa dampak positif, seperti mudahnya mencari konten ataupun akses informasi. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa media sosial itu seperti pedang bermata dua, bisa membawa dampak negatif maupun positif.
Pada akhrirnya itu semua tergantung pada diri kita sendiri. Apabila kita memanfaatkan media sosial untuk membandingkan diri dengan orang lain, maka kita akan mendapat dampak negatif, seperti kerusakan mental. Namun sebaliknya, jika kita memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi dan mencari ide konten, maka kita akan mendapat dampak positif yang berkelimpahan, seperti penghasilan.