Konten dari Pengguna

Analisis Hukum Islam terhadap Perayaan Tahun Baru Masehi

Aldi Ardiansyah
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21 Desember 2024 0:38 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/dresden-pasar-natal-kota-lampu-5893714/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/dresden-pasar-natal-kota-lampu-5893714/
ADVERTISEMENT
Tahun Baru Masehi merupakan momentum yang dirayakan oleh berbagai kalangan di seluruh dunia setiap tanggal 1 Januari. Perayaan ini kerap menjadi ajang refleksi diri, evaluasi atas pencapaian di tahun sebelumnya, dan harapan untuk menjadi lebih baik di tahun yang akan datang. Namun, di kalangan umat Islam, perayaan Tahun Baru Masehi sering kali menimbulkan perdebatan terkait hukum dan kebolehannya dalam pandangan syariat Islam. Sebagian kalangan memandangnya sebagai tradisi budaya yang boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sementara yang lain menilainya sebagai bentuk tasyabbuh (menyerupai) budaya non-Islam.
ADVERTISEMENT
Tahun baru 2025 akan tiba dalam beberapa hari. Seluruh masyarakat dunia tentu mengetahui bahwa tahun baru Masehi diperingati setiap tanggal 1 Januari. Namun belum banyak orang yang mengetahui sejarah perayaan tahun baru Masehi. Secara historis, perayaan tahun baru telah ada jauh sebelum munculnya tahun Masehi. Perayaan tersebut diperkirakan telah ada sejak sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi (SM) dan dipelopori oleh bangsa Babilonia.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Penanggalan Masehi memang banyak digunakan oleh masyarakat dunia. Namun tidak semua orang mengetahui sejarah tahun baru Masehi. Faktanya, sejarah tahun baru Masehi memiliki kaitan erat dengan tradisi perayaan tahun baru bangsa Babilonia. Sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi (SM), bangsa Babilonia mengadakan perayaan tahun baru pertama untuk menghormati datangnya tahun baru. Tradisi tersebut dilakukan dengan mengikuti penanggalan bulan pertama equinox musim semi.
ADVERTISEMENT
Vernal equinox itu sendiri merupakan tanda dimulainya musim semi secara astronomis. Pada saat itu, perayaan tahun baru berlangsung pada bulan Maret karena bertepatan dengan pergantian musim. Seiring perkembangan zaman, sistem penanggalan pun ikut berkembang dengan munculnya kalender Masehi. Dikutip dari buku Islam Faktual karya Mubarak (2019: 65–66), penanggalan Masehi sangat dipengaruhi oleh tradisi astrologi.
Tradisi astrologi tersebut mencakup Mesir Kuno, Mesopotamia, Babel, Yunani, dan Romawi Kuno. Semula, kalender Masehi hanya terdiri dari 10 bulan dan 304 hari. Kemudian, dua bulan ditambahkan pada abad ke-8, yaitu bulan Januarius dan Februarius. Setelah itu, Julius Caesar melakukan konsultasi dengan ahli astronomi serta matematika guna menyempurnakan penanggalan Masehi. Akhirnya, penetapan 1 Januari sebagai tahun baru dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Antara Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi
Tahun baru Masehi adalah perayaan tahun baru yang digunakan oleh seluruh umat manusia di penjuru dunia. Tahun baru ini berdasarkan sistem penanggalan dalam kalender Masehi dan ditetapkan pada tanggal 1 Januari, yang berkaitan dengan pengembangan penanggalan bangsa Romawi kuno. Sedangkan tahun baru Hijriah adalah perayaan tahun baru yang digunakan oleh umat Muslim. Tahun baru Hijriah dimulai setiap tanggal 1 Muharram, yang juga digunakan untuk menentukan tanggal-tanggal penting dalam agama Islam, seperti bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Berikut ada beberapa poin untuk mengetahui perbedaan di antara tahun tersebut:
1. Perhitungan tanggal
Kalender Hijriah menggunakan sistem perhitungan bulan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Setiap bulan Hijriah dimulai ketika terlihat hilal (bulan sabit baru) setelah hilangnya bulan sabit sebelumnya. Sementara itu, kalender Masehi mengadopsi sistem perhitungan bulan berdasarkan pergerakan matahari terhadap bumi.
ADVERTISEMENT
2. Jumlah hari
Kalender Hijriah memiliki jumlah hari dalam satu bulan yang berkisar antara 29 hingga 30 hari. Berbeda dengan kalender Masehi yang memiliki bulan dengan jumlah hari yang bervariasi, mencapai maksimal 31 hari. Selain itu, kalender Hijriah memiliki tahun yang terdiri dari sekitar 354-355 hari, sedangkan kalender Masehi memiliki tahun yang terdiri dari sekitar 365-366 hari.
3. Sejarah penanggalan
Tanggal 1 Januari dalam kalender Masehi merujuk pada kelahiran Nabi Isa AS (Yesus). Sedangkan, penanggalan dalam kalender Hijriah didasarkan pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Oleh karena itu, tahun pertama dalam kalender Hijriah dimulai pada tahun hijrah tersebut.
4. Bentuk angka Tunggal
ADVERTISEMENT
Kalender Hijriah menggunakan angka atau ejaan Arab dalam penanggalannya, karena erat kaitannya dengan umat Muslim dan bahasa Arab sebagai bahasa utama dalam Islam. Di sisi lain, kalender Masehi menggunakan sistem angka alfabet seperti yang umum digunakan dalam berbagai bahasa.
5. Penentuan awal hari
Kalender Masehi menentukan awal hari pada pukul 00.00 dini hari berdasarkan waktu setempat. Sedangkan, kalender Hijriah menentukan awal hari berdasarkan terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Momen terbenamnya matahari menjadi penanda akhir hari dan dimulainya hari baru dalam kalender Hijriah.
Selintas tentang Kalender Masehi
Kalender Masehi merupakan sistem penanggalan yang digunakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Kalender tersebut memiliki dasar perhitungan dari peredaran bumi mengelilingi matahari. Secara umum, kalender Masehi memiliki jumlah hari sebanyak 365. Namun, pada tahun-tahun tertentu, jumlah hari dalam kalender Masehi bisa mencapai 366 hari.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Seri Cerdas Tangkas IPA Kelas 6 – Semester 2, X – Kanopi (2011: 75), satu hari ditambahkan dalam tahun Masehi setiap empat tahun sekali, yaitu pada bulan Februari. Tahun tersebut disebut tahun kabisat, seperti tahun 2024. Tahun baru dalam sistem penanggalan Masehi terjadi setiap tanggal 1 Januari. Oleh karena itu, banyak masyarakat dunia merayakan malam tahun baru pada tanggal 31 Desember tahun berjalan hingga 1 Januari tahun berikutnya.
Dengan demikian, sejarah tahun baru Masehi memiliki kisah yang panjang. Kisah tersebut meliputi tradisi perayaan tahun baru bangsa Babilonia serta rangkaian upaya pembuatan penanggalan Masehi. (AA).
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dan Hijriah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum merayakan tahun baru adalah haram. Ketetapan ini berlaku untuk perayaan tahun baru Masehi yang dirayakan setiap tanggal 1 Januari. Umat Muslim sebaiknya menghindari perayaan yang identik dengan perbuatan maksiat, seperti berkhalwat, foya-foya, menghamburkan uang, mabuk-mabukan, dan zina. Sebab, tindakan tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
ADVERTISEMENT
Meski kegiatannya dikemas secara Islami, para ulama tetap tidak membolehkannya. Sebab, hakikat pelarangannya tidak hanya terletak pada kegiatannya, tapi juga pada niat dan esensinya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, momentum tahun baru Masehi merupakan perayaan yang sangat spesial bagi orang-orang kafir. Umat Nasrani bahkan menjadikannya sebagai hari untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus. Oleh karena itu, umat Muslim sebaiknya tidak mengikuti budaya orang-orang kafir tersebut. Mengutip buku The Tausiyah karya David Alfitri (2017), meski dirayakan dengan kegiatan yang positif, hukumnya tetap haram dan bid'ah.
Berbeda dengan perayaan tersebut, Islam lebih mengenal tahun baru hijriyah yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram. Perayaan ini merupakan momentum yang sebaiknya disambut dengan suka cita. Peringatan tahun baru Islam ditandai dengan datangnya bulan Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam kalender hijriyah. Bulan Muharram memiliki keutamaan tersendiri bagi umat Muslim. Apa hukum merayakan tahun baru Islam?
ADVERTISEMENT
Hukum merayakan tahun baru Islam adalah mubah. Momen ini boleh disambut dengan suka cita dan diisi dengan berbagai amalan baik. Di Indonesia, tahun baru Islam biasanya dirayakan dengan mengadakan pawai obor dan berkeliling kampung. Beberapa orang juga sering memberikan ucapan selamat tahun baru Islam kepada sesama Muslim.
Dijelaskan dalam buku Yang Perlu Dilakukan Muslimah Sepanjang Tahun karya Khayeera Indana Hulwah dkk., tidak ada ajaran Islam yang mengkhususkan ritual tertentu untuk menyambut tahun baru ini. Namun, umat Muslim dapat mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Momen ini bisa dimanfaatkan untuk bermuhasabah, memohon ampun kepada Allah, dan menyesali semua kesalahan yang telah diperbuat di masa lalu. Umat Muslim juga dapat memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT selama ini.
ADVERTISEMENT
Doa Awal Tahun Masehi
Mengutip buku Koreksi Doa dan Zikir: Antara yang Sunnah dan Bid’ah karya Bakr bin Abdullah Abu Zaid, sebenarnya tidak ada satu pun dalil yang menetapkan adanya dzikir atau doa awal tahun, baik tahun Masehi maupun Hijriah. Meski demikian, tidak ada pula dalil dalam syariat yang melarang umat Muslim untuk mengamalkannya. Karena itu, membaca doa awal tahun Masehi tidak dipermasalahkan selama niatnya hanya karena Allah SWT.
Dikutip dari buku Doa Harian: Pengetuk Pintu Langit karya H. Hamdan Hamedan, MA, berikut bacaan doa awal tahun Masehi yang bisa dipanjatkan umat Muslim untuk menyambut tahun baru:
اللهم أَدْخِلْهُ عَلينا بِالأمْنِ وَالإيمان وَالسَّلامَةِ وَالإسْلام وَرِضْوَانٍ مِّنَ الرَّحْمن وِجوارٍ مِّنَ الشَّيْطان
ADVERTISEMENT
Allahumma adkhilhu 'alainaa bil amni wal iimaan, wassalaamati, wal islaam, wa ridhwaanin, minarrahmaani, wajawaazin minas-syaithaan.
Artinya: “Ya Allah, masukkan kami ke dalamnya dengan aman, iman, selamat, dan Islam. Dan anugerahkan kami rida dari Ar-Rahman (Allah), serta jauhkanlah kami dari setan.”
Ulama besar hadits Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani mencantumkan doa tersebut dalam Al-Isabah fi Asma’ As-Sahabah di bawah catatan biografi Abdullah Ibnu Hisham.
Selain itu, doa berikut ini juga bisa dibaca umat Muslim saat memasuki tahun baru nanti:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ العَظِيمِ وَكَرِيمِ جُودِكَ المُعَوَّلُ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيدٌ قَدْ أَقْبَلَ، أَسْأَلُكَ العِصْمَةَ فِيهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ، وَالعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ
ADVERTISEMENT
Allahumma antal abadiyyul qadimul awwal. Wa ‘ala fadhlikal ‘azhimi wa karimi judikal mu'awwal. Hadza 'amun jadidun qad aqbal. As’alukal ‘ishmata fihi minas syaithani wa auliya’ih, wal ‘auna ‘ala hadzihin nafsil ammarati bissu’I, wal isytighala bima yuqarribuni ilaika zulfa, ya dzal jalaali wal ikraam.
Artinya: “Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan.”
Dengan demikian, hukum merayakan tahun baru Masehi dan Hijriyah memiliki perbedaan dalam pandangan Islam. Jumhur ulama sepakat bahwa hukum merayakan tahun baru Masehi adalah haram karena identik dengan perbuatan maksiat seperti foya-foya, mabuk-mabukan, dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, perayaan ini menyerupai budaya non-Muslim, khususnya umat Nasrani yang mengaitkannya dengan perayaan kelahiran Yesus Kristus. Meskipun perayaan ini dikemas dengan kegiatan positif atau bernuansa Islami, niat dan esensinya tetap tidak diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hukum merayakan tahun baru Hijriyah adalah mubah, atau diperbolehkan. Umat Muslim dianjurkan menyambutnya dengan suka cita dan mengisinya dengan kegiatan positif seperti muhasabah, memohon ampun, bersyukur, dan memperbaiki diri. Dengan demikian, perbuatan yang mubah ini bisa menjadi pahala. Sebagaimana perkataan Sayyidina Umar bin Khattab:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ
Artinya: “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.”
Tidak ada ritual khusus yang ditetapkan dalam Islam untuk menyambut tahun baru Hijriyah, namun momen ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan memperbaiki kualitas ibadah. Dengan demikian, umat Muslim sebaiknya menjauhi perayaan tahun baru Masehi dan lebih memanfaatkan tahun baru Hijriyah sebagai momentum untuk refleksi dan perbaikan diri.
ADVERTISEMENT
Aldi Ardiansyah Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta