Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Colok-Colok Malem Songo : Tradisi Penghujung Bulan Ramadan di Bojonegoro
30 Maret 2025 8:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aldi Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di Baureno, Bojonegoro, pergi dan pulang–semua dirayakan. Pada pekan terakhir Ramadan 1446 H (tahun ini), menyambut anggota keluarga yang “berpulang” masih dilestarikan. Tradisi ini dinamakan Colok-Colok Malem Songo.
ADVERTISEMENT
Menurut Piotr Sztompka (2011:69-70), tradisi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan berupa gagasan, material, dan “benda” yang berasal dari masa terdahulu, dan terus dilestarikan hingga saat ini. Menyitir beberapa sumber, konon secara historis tradisi Colok-Colok Malem Songo merupakan peninggalan dari penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Hal ini memungkinkan karena strategi dakwah (Sunan Kalijaga) yang menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya lokal (Syaroh, 2024).
Tradisi Colok-Colok Malem Songo Memuat Aspek Spiritual, Sosial, dan Budaya
Dalam ranah spiritual, tradisi ini memuat pesan kebajikan perihal alam gaib setelah kematian. Dikisahkan oleh salah satu warga, bahwa anggota yang telah meninggal akan pulang kerumahnya untuk meminta doa pada anggota keluarga. Kemudian pada malam ke-29 Bulan Ramadan, mereka akan pulang/kembali ke alam kubur sehingga perlu dituntun oleh terang cahaya colok atau obor–istilah lokal juga menyebutnya oncor–tersebut.
ADVERTISEMENT
Terang yang dihasilkan ini juga diterjemahkan sebagai lambang cahaya Islam yang datang menerangi kegelapan, serta menjadi representasi dari cahaya hati bagi masyarakat yang mendekatkan diri kepada Allah (Syaroh, 2024). Pesan spiritual yang disampaikan melalui tradisi ini adalah untuk kembali mengingat akan kematian dan muhasabah diri masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadan yang hampir “meninggalkan” kita ini.
Prosesi penyalaan colok ini sekitar pukul 17.15 petang sepulang kegiatan ambengan. Ambengan sendiri merupakan tradisi kirim doa yang dilakukan secara bergilir di tiap rumah warga dalam 10 hari terakhir bulan Ramadan. Setelah ambengan dilaksanakan, kepala keluarga akan pulang dan memimpin prosesi Colok-Colok Malem Songo. Orang tua dan anak-anak menyalakan colok lalu menancapkannya di sudut-sudut rumah.
ADVERTISEMENT
Meski terkesan menyenangkan, tradisi ini dilaksanakan secara khidmat. Karena setelah colok dinyalakan, anggota keluarga akan srawung–bersosialisasi dengan tetangga–sejenak selayang pandang tentang masa yang telah dilalui dan persiapan menjelang hari raya Idul Fitri.
Cara Membuat Colok
Mastik (50) menuturkan, sejak dahulu kala tidak ada perubahan mengenai prosesi tradisi ini. Hanya saja, pada beberapa kasus bagi keluarga yang tidak memiliki bonggol jagung ujungnya bisa diganti dengan kain yang dililit.
Menurut kuantitasnya, sebenarnya tak ada jumlah spesifik yang mengikat pada tiap rumah untuk menyalakan colok ini. Namun, dianjurkan untuk berjumlah ganjil. Hal ini erat kaitannya dengan Allah yang menyukai witir atau perihal ganjil–lawan genap(Barokah, 2023).
Colok atau obor–istilah lokal juga menyebutnya oncor–memiliki dua bagian utama, yaitu bagian yang dibakar dan bagian yang ditancapkan. Bagian yang ditancapkan biasanya berupa potongan bambu kecil atau tusuk yang berukuran sekitar 15–25 centimeter. Kemudian bagian yang dibakar telah disiram bensin berupa bonggol jagung atau kain bekas yang dililit.
ADVERTISEMENT
Setelah dibakar, colok akan ditempatkan di jalan keluar-masuk rumah hingga area pelataran dan jalanan setapak arah menuju makam. Tak ada ketentuan jelas mengenai siapa yang berhak menancapkan. Melalui pengamatan, semua anggota keluarga bebas untuk menyalakan dan menancapkan colok.
Kemudian colok dibiarkan mati sendiri hingga menjelang adzan. Matinya colok menandakan bahwa roh nenek moyang telah diantarkan “kembali” dan bagi anggota yang masih hidup waktunya menggapai malam Lailatul Qadar.
Daftar pustaka :
Syaroh, W. N. M. (2024). Tradisi Colokan: Representasi Datangnya Malam Lailatul Qadar. Konferensi Nasional Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, 1, 439-447.
Barokah, U. F., Hasanah, U., & Zulfikar, E. (2023). Hadis Sifat Allah: Keunikan Ganjil, Makna dan Tafsir Komprehensif. Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences, 4(2), 431-446.
ADVERTISEMENT
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial.(Jakarta:Prenada Media Group, 2011.