Aku, Sebuah Cerita, dan Skizofrenia

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2022 21:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah sekumpulan masyarakat pada umumnya, yang terlihat normal dan membosankan, mungkin ada seseorang yang harus mati-matian untuk memilih tetap hidup. Ia dihajar oleh delusinya yang sangat nyata, selalu menyesal karena dilahirkan, dan benar-benar tidak percaya ada bahagia dalam kehidupan. Ternyata, fisik yang normal bukan jaminan bahwa aku sehat, karena istilah dan makna “cacat” juga bisa menyerang mental.
ADVERTISEMENT
Mungkin kamu yang peduli kepada para penyintas skizofrenia namun belum diberi waktu untuk merasakannya akan bertanya-tanya, “apa sebenarnya yang dirasakan para pengidap skizofrenia?”
Skizofrenia atau orang-orang juga biasa menyebutnya “kanker mental” adalah sebuah gangguan mental berkepanjangan dan mempengaruhi proses berpikir, persepsi, emosi, bahasa, dan perilaku. Meski pengidap skizofrenia ini berbeda dengan Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ), namun masih banyak orang yang menilai bahwa pengidap skizofrenia adalah orang gila.
Jahat sekali memang orang-orang itu, karena ketika predikat “gila” sudah menempel pada pengidap skizofrenia sepertiku, berati aku adalah sebab ketakutan masyarakat, harus dijauhi, dan tidak layak mendapat simpati sosial.
Tidak sampai di situ, skizofrenia tidak hanya akan membuatmu terusir dari orang-orang disekitarmu. Perlahan tapi pasti ia membunuhmu atau setidaknya kamu akan dibuat untuk memilih benar-benar terbunuh dalam makna yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi aku ingatkan, skizofrenia benar-benar merenggut segalanya. Seperti membunuh lewat ketakutan dan membuat kamu tersiksa sesakit-sakitnya. Kamu akan memiliki realitas sendiri, realitas yang sebenarnya palsu dan berbeda dari orang normal di sekitarmu.
Meski orang sehat di sekitar sudah memberi bukti bahwa hal yang kamu yakini itu salah, kamu tidak akan percaya. Artinya, kamu sudah tidak bisa membedakan delusi dan realita. Ya, kamu kehilangan kehidupan realitamu.
Kemudian kamu akan melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang sebenarnya itu tidak ada. Terus-terusan merasa diikuti, diperhatikan, dan kadang ia menampakan wujudnya dalam bentuk yang menyeramkan, dan saat itu terjadi hanya akan ada dua pilihan yang bisa dilakukan, memilih untuk menangis dan tersiksa oleh ketakutanmu atau berteriak histeris sekencang-kencangnya. Bahkan, ada satu opsi tambahan sebenarnya, yaitu memilih bunuh diri karena tidak kuat hidup dalam ketakutan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, tidak hanya mata dan perasaanmu saja yang ditipu, tapi telinga atau pendengaranmu. Ia akan berbisik tepat di sebelah daun telinga. Suara yang membisikan telinga pun tidak jarang menyuruhmu untuk melukai diri sendiri atau melukai orang yang berada di dekatmu.
Semua yang terjadi membuatmu menarik diri dari kehidupan sosial, tidak mau bicara, tidak peduli dan kehilangan kontrol pikiran. Kata-kata meracau dan tidak bisa dimengerti, kadang-kadang juga berbicara sendiri.
Ketika itu menimpaku, aku rasa memang menarik diri dari kehidupan sosial adalah hal yang tepat. Karena memang akhirnya akan diperlakukan berbeda dan dianggap masyarakat sebagai orang yang layak ditinggalkan. Sudah menjadi hal yang pasti akan dijauhi atau kita sendiri yang memilih menjauh dari orang yang kita cintai dan dari kegiatan yang ditekuni.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada hal yang sebenarnya menarik dan tentu akan dibuat sakit hati karena mendengar kabar dari orang-orang bahwa kamu sudah “diguna-guna”, kemudian “ngelmu tanpa guru” atau dianggap jauh dari agama. Hal semacam itu memang biasa dimasyarakat kita, alih-alih berusaha membuat si penderita merasa lebih baik, yang terjadi malah sebaliknya.
Kamu akan merasa, ratusan buku yang kamu baca adalah sia-sia dan merasa bahwa pendidikan yang ditempuh selama bertahun-tahun adalah usaha membuang waktu.
Terakhir, satu hal yang akan terjadi ketika kamu menderita skizofrenia adalah kamu akan sangat yakin bahwa Tuhan tidak adil dan kamu dilahirkan hanya untuk menderita. Dijadikan objek percontohan bagi orang-orang yang sehat, taat dan merasa sangat dekat dengan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, tentunya semua pengidap skizofrenia berhak untuk sembuh dan mendapat perlakuan sewajarnya. Terapi merupakan salah satu jalan yang bisa dilakukan. Meski pada faktanya WHO mengkonfirmasi bahwa pada tahun 2019 terdapat lebih dari 69% pengidap skizofrenia tidak mendapat terapi yang tepat.
Terapi untuk pengidap skizofrenia bisa dilakukan dengan pemberian obat agar bisa mengendalikan perilaku penderita, mengurangi gejala dan mencegah resiko yang mungkin terjadi.
Selain obat-obatan, penderita skizofrenia juga berhak mendapat terapi psikososial yang bertujuan agar penderita bisa berinteraksi dengan orang lain.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah edukasi kepada keluarga penderita dan masyarakat secara umum. Stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak adalah hal biasa yang selalu diterima oleh penderita skizofrenia. Salah satu hal penting yang harus diketahui masyarakat adalah bahwa kepedulian mereka merupakan salah satu pemicu kesembuhan bagi pengidap skizofrenia.
ADVERTISEMENT
***
Untuk semua pengidap skizofrenia, aku dan kalian semua sama. Aku bisa sembuh karena aku yakin dan berusaha untuk sembuh. Karena kita sama, maka kalian pasti akan sembuh.