Antroposentrisme dan Degradasi Lingkungan Hidup

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
4 Januari 2022 11:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Vlad Chețan dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Vlad Chețan dari Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Awal mula peradaban manusia hanya menggunakan energi matahari, air, angin, kayu bakar, serta tenaga hewan dalam menunjang keberlangsungan hidupannya. Semua dilakukan serba manual dengan proses yang sangat lama. Manusia berlayar di lautan untuk berpindah tempat menggunakan angin, mengelola lahan pertanian dengan jasa tenaga hewan, serta menghangatkan tubuh dari api pembakaran kayu bakar.
ADVERTISEMENT
Manusia di Nusantara dan alam saling menunjang kelestarian. Filosofi ecosentrisme masih terawat, bumi masih hijau, udara masih segar, dan bintang malam dapat dilihat dengan mata telanjang. Hingga ilmu pengetahuan mulai berkembang, manusia dengan kesempurnaan logikanya mampu menciptakan teknologi dan mengubah mineral serta energi fosil (batu bara, minyak bumi) menjadi energi utama yang praktis dan dapat disimpan.
Manusia mulai massif menggunakannya, untuk pencahayaan, listrik, gerak, dan panas. Manusia mulai mengalami ketergantungan dan rela membayar lebih mahal. Hingga sebagian manusia yang memiliki privilase dan akses bebas untuk mendapatkannya, mulai membisniskan dan mengkomersialisasikan energi.
Hal itu terjadi karena memang manusia merupakan makhluk homo economicus. Karakter homo economicus akan membuat manusia memiliki tendensi terhadap keuntungan pribadinya dengan mengesampingkan nilai-nilai humanity. Manusia mulai meningkatkan berbagai jenis kebutuhan. Mulai dari kebutuhan fisik, kebutuhan mendapatkan rasa aman, kebutuhan mendapatkan pengakuan, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan akan perwujudan diri.
ADVERTISEMENT
Melihat keuntungan dan kepraktisan yang dijanjikan dalam penjualan dan penggunaan energi, sifat manusia semakin eksploitatif. Korporasi dan negara mulai mengambil alih pengelolaan energi. Pasar energi hingga liberalisasi semakin jelas terlihat. Negara-negara mulai berkonsolidasi untuk bisa menguasai. Mereka masuk ke negara-negara yang kaya akan energi, menjanjikan kemajuan dan kemakmuran. Meskipun kenyataanya banyak yang berakhir dengan hancurnya sebuah peradaban karena perebutan hak pengelolaan.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan energi yang sangat besar. Mulai dari batu bara, minyak bumi dan mineral lainnya. Bahkan, berdasarkan laporan, produksi batubara oleh Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh AEER, mencapai 7 miliar ton batubara dalam kurun waktu 32 tahun (1945-2020).
Namun, menurut Pius Ginting selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan Aksi Ekologis dan Emansipasi Rakyat (AEER), data tersebut mungkin jauh dari data yang sebenarnya. Karena menurutnya, masih ada sejumlah data yang belum ada pembandingnya, seperti laporan tahun 1945, 1952, dan 1966.
ADVERTISEMENT
Menurut sumber lain, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR (Institue For Essential Service Reform) menyebutkan bahwa dari tahun 1980 sampai hari ini, ada sekita 8,5-9,5 miliar ton batubara sudah digali di Indonesia. Sangat luar biasa bukan? Itu hanya dari batubara, belum kepada jenis energi lain.
Rupanya batubara hanya menjanjikan kemudahan sementara. Ada dampak berbahaya lain yang bisa manusia rasakan karena eksploitasi energi yang satu ini. Batubara merupakan energi kotor yang dampaknya bisa berupa kerusakan bentang alam, hilangnya flora dan fauna, emisi karbn, bahkan bisa memicu konflik.
Berbicara soal lingkungan, nampaknya sampai kapanpun dan dengan usaha apapun tambang batubara dan lingkungan tidak akan pernah bisa berdampingan. Eksplorasi lingkungan dengan cara-cara yang ekstraktif seperti penebangan hutan, penggalian dan pembakaran akan merusak ekologi dan sifat-sifat alami dari lingkungan.
ADVERTISEMENT
Menurut Walhi Kalimantan Selatan, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penggalian tambang batubara benar-benar massif terjadi sehingga masyarakat terkena dampak banjir. Hutan kehilangan kemampuan resapannya, sehingga banjir memasuki pemukiman masyarakat.
Banjir yang terjadi akibat kegiatan tambang di daerah aliran sungai (DAS) di Kalimantan Selatan pada 12-13 Januari lalu menewaskan 21 orang dan 63.698 warga mengungsi.
Belum lagi daerah berlubang akibat galian tambang. Hingga tahun 2020, ada 3.092 lubang tambang dibiarkan tanpa proses reklamasi dan penutupan. Di Samarinda , Kalimantan Tengah seorang pemuda tewas karena tenggelam di lubang bekas tambang batubara. Usut punya usut ternyata tambang tersebut sudah memakan sekitar 40 korban. Hal tersebut terjaadi karena tidak adanya pertanggung jawaban dari perusahaan pengelola dengan membiarkan lahan bekas pertambangan dibiarkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya sampai disitu, kegiatan eksploitasi energi berupa pertambangan juga mengakibatkan hutan-hutan di Indonesia terdegradasi. Kawasan hutan Indonesia yang semula mencapai luas 144 juta Ha, mengalami penyusutan mencapai 130 juta Ha, serta laju perambahan hutan per tahun saat ini mencapai 1,1 Ha.
Kemudian menurut JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Nasional, ada sekitar 45 konflik tambang yang terjadi sepanjang tahun 2020. Konflik yang terjadi pun beragam, mulai dari pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kriminalisasi warga perusak tambang, dan kasus pemutusan hubungan kerja.
Tingginya angka deforestasi dan proses pembakaran serta penggunaan energi fosil tentu akan memicu terjadinya bencana global. Deforestasi dan pembakaran bahan bakar tambang menyumbang sangat besar emisi gas rumah kaca. Di beberapa negara Asia Pasifik, pembangkit listrik menyumbang sekitar 50% emisi karbon, lalu diikuti oleh industry dan sektor transportasi. Di Indonesia sendiri emisi GRK tahunannya mencapai angka 2,4 miliar ton pada tahun 2015. Emisi Indonesia menyumbang 4,8% dari total emisi di global pada tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi tersebut, sepertinya kita harus mempertanyakan komitmen negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Indonesia yang menjadi salah satu dari total 187 negara yang meratifikasi Persetujuan Paris tentang pengurangan emisi gas rumah kaca masih belum menpati komitmen tersebut.
Masifnya pertambangan dan deforestasi yang kemudian menghasilkan ketimpangan masih saja terus dibiarkan. Korporasi masih diberi privilase lebih untuk mengeksplorasi alam Indonesia. Ditambah, pengesahan UU Cipta Kerja yang akan menjadi karpet merah bagi oligarki untuk terus mengeksploitasi kandungan energi meski harus menghancurkan lingkungan dan mengkriminalisasi masyarakat sekitar.
Alam harus tetap diselamatkan. Keserakahan umat manusia dan beralihnya filosofi ecosentris menjadi antroposentris menciptakan bencana bagi alam dan manusia itu sendiri. Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia yang hari ini masih berorientasi pada keuntungan dan bukan kepada keberlangsungan, masih menjadi pondasi dalam membuat kebijakan
ADVERTISEMENT
Negara di sini tentu pemilik otoritas tertinggi yang berkewajiban mengontrol alam dan manusia-manusianya. Konsep ekonomi ekosentrisme yang hari ini kita kenal dengan kebijakan green economic atau ekonomi hijau mungkin akan menjadi jawaban terkait kondisi alam yang semakin memprihatinkan jika dijalankan dengan serius.
Jika kita semua ingin menyelamatkan dunia dan Indonesia pastinya, tentu kita harus merubah paradigma kita terhadap lingkungan, yang sebelumnya antroposentris menjadi ecosentris. Kemudian, pemanfaatan energi matahari, angin, dan air yang dapat terbarukan dan ramah lingkungan secara massif dan konsisten akan menyelamatkan alam dan manusia yang hidup di dalamnya.
manusia harus berinvestasi pada teknologi inovatif yang lebih efisisen dan ramah lingkungan. Selain itu, demi berkurangnya kegiatan yang dapat mengakibatkan degradasi lingkungan, negara harus benar-benar komitmen dalam menerapkan konsep ekonomi hijau dan mulai beralih pada penggunaan energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Tentunya apa yang hari ini alam sediakan bukanlah milik generasi yang hari ini sedang hidup. Anak kita, cucu kita dan generasi seterusnya tentu memiliki hak yang sama. Hak untuk merasakannya, hak untuk mengelolanya dan hak untuk melindunginya.
Meski energi fosil memberikan rasa instan dan kemudahan, namun oksigen tetap dihasilkan oleh hutan.