Belajar dari Sisifus

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
11 Maret 2022 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sisifus itu saya, Sisifus itu kalian, Sisifus itu kita semua! Apa yang akan kita lakukan ketika harapan yang kita semai hari ini gagal kita wujudkan? Ide dan realita memang sering berkonfrontasi, sangat sering ide yang kita bangun ternyata hancur pada keadaan yang tidak sesuai. Harapan, kegagalan, kemudian putus asa menjadi siklus kehidupan. Manusia hanya bisa menerima, kemudian mengulang lagi dari awal siklus absurd seperti itu.
ADVERTISEMENT
Apakah hidup se-sia-sia itu? Apakah ada jalan keluar dari kesia-siaan tersebut? Tidak! Itu bukan sia-sia, itulah kehidupan. Tidak ada jalan keluar, ia tidak terhingga. Manusia hanya boleh menjalaninya, dengan penuh kebahagiaan atau dengan berpura-pura bahagia.
Tahun 1942, Albert Camus membuat sebuah karya esai berjudul Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus). Dia menggambarkan pemikiran absurditasnya tentang hidup manusia yang tidak bermakna dalam kisah Sisifus.
Sisifus itu seorang raja, ia jahat, kejam, dan zalim selama hidupnya di dunia. Dia berani menentang para Dewa, dan puncaknya ketika ia membocorkan rahasia Dewa Zeus. Mengetahui Sisifus sangat kejam dan melampaui batasnya sebagai seorang manusia, Dewa Zeus lantas melemparnya ke neraka sebagai bentuk hukuman untuk si kejam Sisifus.
ADVERTISEMENT
Ketika di neraka Sisifus merindukan dunia, lantas ia meminta izin kepada Dewa Zeus untuk singgah ke dunia dan berjanji kembali ke neraka. “Namun ketika ia melihat kembali wajah dunia ini, menikmati air dan matahari, bebatuan yang hangat dan lautan, ia tidak mau kembali kepada kegelapan neraka,” tulis Camus dalam esainya.
Kejam, pemberontak, dan berani berbohong. Sisifus mengingkari janjinya kepada Dewa Zeus. Lantas Dewa Zeus semakin marah, ia menghukum Sisifus dengan cara lain. Sisifus dikutuk oleh Dewa Zeus, ia –Sisifus – harus mendorong sebuah batu ke atas puncak gunung, dan ketika batu itu sampai kepuncak gunung, batu tersebut akan kembali menggelinding kebawah. Sisifus harus kembali mendorongnya, dan kejadian yang sama akan terus terulang tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Sungguh, manusia akan menganggap perbuatan Sisifus adalah sia-sia, ia tersiksa, tidak menghasilkan apa-apa dan tidak pernah merasakan bahagia.
Kita mungkin melihat usaha Sisifus adalah sebuah kedunguan. Menerima takdir begitu saja, mengulang kejadian dan proses yang sama.
Namun , di sini Camus mencoba meyakinkan kita, bahwa Sisifus tetap bahagia, mengisi kekosongan hatinya dengan perjalanannya menuju puncak gunung. Sisifus bahagia dengan menerima kehidupannya yang absurd dan tidak terhingga. Ia memilih berkawan dengan absurditas hidupnya tersebut dan tidak melawannya.
Antara Sisifus dan kita semua
Pagi hari kita bangun tidur, bersiap berangkat kuliah, setelah istirahat, “nongkrong” di warung kopi pinggir kos-kosan, kemudian pulang dan mengerjakan tugas, setelahnya kita kembali tidur untuk kemudian mengalami kejadian-kejadian serupa.
ADVERTISEMENT
Kita adalah Sisifus, dengan jenis batu kita masing-masing dan mencoba mendorongnya menuju tujuan yang sudah kita rencanakan. Kemudian kita berharap, setelah tugas itu selesai, kita bisa menemukan makna kehidupan dan akan mencari makna lain. Keberhasilan sementara itulah yang kemudian memberikan kita rasa bahagia dan berharga. Siklus tersebut terus terulang, seperti apa yang dialami Sisifus.
Sisifus memberitahu kita bahwa kebahagiaan ada pada manusia itu sendiri, semakin kita mencari maka kehidupan akan semakin absurd, aneh, sia-sia, dan kecewa. Sisifus mengajak kita untuk mau berteman dengan realita. Apapun bentuknya, eksistensi manusia tetap harus dijalani dan dinikmati.
Nalar akan menggerakan dan menghidupkan manusia melebihi apa yang dilakukan imajinasi. Hal tersebut kemudian membuat manusia merindukan dan terus mencari. Dan dari usaha-usaha manusia tersebutlah yang kemudian memproyeksikan absurditas tersebut, karena manusia akan terus mengalami kegagalan, penyesalan, keputusasaan, dan ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya kepastian adalah bahwa dunia merupakan tempat yang hanya diisi oleh ketidakpastian. Hari esok tidak pernah memberi jawaban tentang apa yang akan terjadi dan realitas tidak akan menawarkan penjelasan.
Apapun keadaannya, hidup harus tetap dijalani, seperti Sisifus ia memilih menikmati hukumannya meski sangat-sangat absurd. Lagi pula, bunuh diri (ragawi) tidak akan memberikan jawaban dan tidak akan mengisi eksistensial kita. Bagaimanapun kita tidak akan pernah tahu apakah bunuh diri akan memberikan jawaban dan kejelasan. Karena baik-buruk, benar-salah tindakan bunuh diri hanya dapat dinilai oleh si pelaku bunuh diri.
Tidak lebih baik dari bunuh diri ragawi, bunuh diri filosofi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri kita terhadap kemampuan individu untuk menemukan makna hidup secara rasional dan menggunakan agama, ideologi, dan lain-lain sebagai pelarian.
ADVERTISEMENT
Camus memberikan solusi kepada kita dalam menjalani kehidupan yang absurd dengan mengakui bahwa hidup memanglah absurd –inilah kehidupan – dan melepas semua belenggu yang ada. “Memberontak” terhadap standar moral individu dan kelompok lain, meski akan berakhir sia-sia, kebebasan akan memberikan makna hidup dan layak untuk dijalani.
Persetan dengan hari esok! Tindakan menerima keadaan dan segala konsekuensinya adalah akhir penderitaan, karena sadar akan kondisi absurdnya sendiri.
“There is only one truly serious philosophical problem, and that is suicide. Judging whether life is or is not worth living amounts to answering the fundamental question of philosophy.” – Albert Camus