Kampus dan Kekerasan Seksual pada Perempuan

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2021 22:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual (Sumber : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual (Sumber : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan pada hari ini memang selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Terkhusus jika itu terjadi dalam institusi pendidikan. Siapa sangka kampus yang merupakan tempat kaum-kaum terpelajar juga masih rentan terjadi perbuatan keji seperti itu. Satu hal yang kita semua perlu ketahui, ternyata kemampuan intelektual seseorang tidak menjamin bahwa orang tersebut bukanlah predator seksual.
ADVERTISEMENT
Anggapan bahwa perempuan hanya sebagai objek pemuas birahi ternyata sudah bukan rahasia lagi. Banyak oknum laki-laki bahkan mahasiswa masih memiliki pemikiran patriarki seperti itu. Masih banyak pemikiran-pemikiran busuk bahwa perempuan merupakan makhluk rendahan yang bisa dieksploitasi dan dinikmati tubuhnya.
Meurut survey Mendikbud-Ristek tahun 2019, kasus kekerasan seksual di kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). Bahkan Pusat Kajian Krisis UPI menerima 43 laporan kekerasan seksual per Januari 2021. Hal ini menunjukan bahwa ternyata kampus, sebagai tempat pembelajaran ilmiah masih belum mampu memberikan ruang aman bagi para perempuan.
Pelaku dari kekerasan dan pelecehan seksual itu pun bisa berasal dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, dosen, dan juga karyawan kampus. Jika kita melihat kondisi tersebut sangat miris memang, mahasiswa yang terkenal dengan idealismenya, dan bahkan posisi perempuan selalu menjadi bahan diskursusnya masih tega melakukan hal sekeji itu.
ADVERTISEMENT
Yang terbaru kasus pelecehan seksual itu terjadi di salah satu kampus di Banten, ya sebut saja kampus saya. Kejadian tersebut dilakukan oleh mahasiswa dengan status pimpinan tertinggi dalam organisasi. Posisinya di organisasi yang seharusnya menjadi leader untuk mengkampanyekan pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual malah dijadikan alat untuk melegitimasi perbuatan busuknya.
Tidak ada data kongkrit sebetulnya terkait kekerasan seksual yang terjadi di kampus, namun dengan melihat kejadian demi kejadian saya rasa kita semua punya andil untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Dalam kasus kekerasan seksual tentunya korban memiliki hak penuh untuk dilindungi, bukan malah menjustifikasi. Sebgaian dari kita cenderung menyalahkan korban dan memaklumi kasus yang terjadi. Salah satu yang selalu disoroti ialah cara berpakaian korban. Padahal seharusnya tidak ada satupun alasan untuk memaklumi kasus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lain yang terjadi dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah lemahnya proses hukum. Selama ini kasus kekerasan seksual ditangani dengan menggunakan KUHP, yang masih berperspektif pada pelaku dengan mengesampingkan korban, padahal dalam kasus kekerasan seksual kita membutuhkan beragam langkah untuk melindungi korban, mulai dari penanganan, pemulihan sampai layanan yang komprehensif, semestinya diatur dalam sebuah undang-undang dan peraturan kampus.
Selain itu, kasus kekerasan seksual juga kasus yang cenderung sulit untuk diselesaikan. Hal ini terjadi karena banyak korban yang tidak berani melapor dengan berbagai alasan seperti takut, malu, dan bahkan karena tidak percaya dengan aparat penegak hukum. Hal itu memang wajar karena memang kekerasan seksual merupakan kasus yang masuk ranah privat.
Dalam kasus kekerasan seksual tentunya dibutuhkan penanganan yang cepat dari pihak penegak hukum dan juga kampus. Hal itu dilakukan sebagai bentuk keseriusan dalam penanganan yang juga akan berdampak pada keberanian korban untuk melapor.
ADVERTISEMENT
Kampanye anti kekerasan seksual di seluruh lini kampus tentu juga menjadi hal yang harus dilakukan dengan masiv, dengan catatan melibatkan berbagai stakeholder. Pemberlakuan sanksi sosial saya rasa hal yang harus juga diterapkan untuk pelaku, sebagai upaya membuat jera dan mencegah terulangnya kasus kekerasan seksual.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah ketegasan hukum bagi pelaku kekerasan sosial. Baik itu Undang-Undang khusus penanganan kekerasan seksual (PKS) ataupun peraturan kampus. Terulangnya kasus demi kasus kekerasan seksual salah satunya dipicu karena kasus kekerasan seksual cenderung terselesaikan dengan damai. Bahkan tidak menutup kemungkinan kampus malah menutup-nutupi kasus guna menjaga nama baiknya dan pihak penegak hukum yang cenderung bertele-tele dalam menangani kasus.
Hal terpenting yang terakhir harus dilakukan ialah adanya penanganan psikologis dari korban. Kekerasan seksual merupakan kasus yang menyentuh ranah privat. Korban tentu mengalami trauma dan membutuhkan konseling untuk membantu mengembalikan kesehatan psikis korban
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita semua tahu, sampai hari ini kampus masih belum menjadi lingkungan yang ramah perempuan. Pengawasan menjadi hal penting guna menekan terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, kampanye dan pendidikan anti kekerasan seksual juga hal yang harus direalisasikan di samping menciptakan ketegasan hukum bagi pelaku.