Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Idealisme Dikebiri
20 Juli 2022 19:25 WIB
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa tujuan kita bergabung dengan organisasi kemahasiswaan nasional yang berlabel nirlaba dan independen? Sejak awal kita selalu dituntun untuk menggerakan organisasi yang digadang-gadang menjadi wadah kontrol sosial. Praktik droktinasi maupun ideologisasi gencar dilakukan oleh para pendahulu di organisasi guna menciptakan generasi yang kritis dan berani memposisikan diri menjadi masyarakat yang termarjinalkan. Sebagian mungkin berhasil namun sebagian lagi tentu akan terdampak oleh seleksi alam.
ADVERTISEMENT
Apa benar realita yang terjadi hari ini demikian? Apakah mahasiswa benar-benar menjadi aktor kontrol sosial?
Wajar memang jika pertanyaan-pertanyaan skeptis seperti itu muncul, bahkan dari golongan mahasiswa yang juga berpartisipasi di dalam organisasi kemahasiswaan nasional itu sendiri.
Hari ini sering kita jumpai gerakan-gerakan yang berlagak kontrol sosial pada momentum nasional tertentu. Sifat gerakan yang sangat reaksioner dan inisdental sudah sangat melekat. Entah karena kebingungan atau memang kita yang hanya diberi sedikit ruang.
Mahasiswa hanya berani ikut-ikutan menyuarakan isu-isu yang sedang trending, tanpa berani mengangkat isu-isu baru yang terbilang krusial. Semuanya terlihat hanya sebagai ajang mendapat eksistensi dan bukan benar-benar berfungsi sebagai kontrol sosial.
Selain itu, inkonsistensi dalam mengawal isu-isu penting menggambarkan pola gerakan mahasiswa hari ini. Kehilangan semangat revolusioner dan tergantikan oleh semangat dalam memenuhi kebutuhan internal golongan. Kita selalu sibuk dan ribut ketika momen-momen kontestasi politik kampus. Kita juga sesama mahasiswa sering saling sikut ketika masa-masa penerimaan mahasiswa baru. Kemudian tanpa bertanggung jawab membiarkan mereka para anggota baru mengikuti pola gerakan yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tampak miris melihat fenomena tersebut, tatkala kita para junior menjadi korban senior dalam memperebutkan jabatan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus, yang sering terselip wacana kepentingan organisasi maupun pribadi. Sehingga kemudian eksistensi, materi, dan usaha memperpanjang relasi menjadi semangat utama dalam organisasi yang harusnya berfungsi sebagai kontrol sosial.
Wajar jika kemudian banyak kader dan alumni dari organisasi tersebut yang bermental orba, yang hanya memiliki orientasi pragmatis. Banyak memang kader-kader dari organisasi kemahasiswaan nasional yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mengisi posisi leading sector, baik nasional dan daerah.
Tidak ada salahnya sebenarnya, apalagi dengan dalih menggiring arus dari dalam sistem. Namun berapa banyak juga dari mereka yang mengalami kesulitan. Terjebak dan kebingungan dalam memilih prioritas yang dibela, antara kepentingan individu, golongan atau masyarakat, hingga akhirnya mereka berselingkuh dari masyarakat karena kenyamanannya dan materi yang didapatkannya.
ADVERTISEMENT
Perselingkuhan tersebut bukan hanya berdampak pada masyarakat tentunya, adik-adik mereka di organisasi, yang sebelumnya mereka bentuk menjadi kader ideologis menjadi kebingungan dan bimbang. Mana yang harus saya pilih, tetap mengkritik pemerintah ketika melakukan perbuatan tercela, atau mendukungnya, dengan dalih takzim kepada senior yang telah menghidupi kita di organisasi?
Semangat membela kaum musth’adafin (kaum tertindas) yang harusnya menjadi poros pergerakan berdasarkan cita-cita kemerdekaan Indonesia lambat laun memudar. Tak lain hal itu disebabkan kebingungan kita, dan dorongan para senior untuk membantu melancarkan perselingkuhannya.
Mereka yang berselingkuh dengan para penguasa dan oligarki tentu akan berusaha menjaga romantisme hubungannya. Tidak peduli jika itu harus meredam gerakan dan mengebiri idealisme adik-adiknya di organisasi.
Mungkin yang lebih parah, kami para penerus mereka di organisasi yang memiliki kuantitas besar, dijadikan alat dan jaminan oleh mereka untuk memuluskan jenjang karir politiknya. Mereka melakukan transaksi tawar menawar dengan penguasa antara jabatan yang bertukar dengan lumbung dukungan.
ADVERTISEMENT
Sudahlah, untuk hal ini aku hanya menerka-nerka, namun nampaknya tetap masuk akal dan patut untuk diperdebatkan benar salahnya. Jika memang belum terjadi, mudah-mudahan tulisan ini bisa mencegah agar benar-benar tidak terjadi.
Akhirnya kita semua bertanya-tanya, siapa yang harus disalahkan? Para pendiri, senior, kami semua, atau organisasinya? Pada hakikatnya organisasi merupakan benda mati. Ia sudah benar meski tidak sempurna, sebagai kendaraan perjuangan, dengan segala instrumen dan batasan-batasan yang harus kita lakukan. Dan para pendiri tentu memiliki semangat revolusi untuk kepentingan masyarakat tertindas. Lalu bagaimana dengan generasi hari ini yang mengisi di setiap lini organisasi tersebut? Nampaknya semangat revolusi yang kita miliki hari ini, akan lebih bijak jika terlebih dahulu kita gunakan untuk kepentingan perbaikan internal organisasi kita masing-masing.
ADVERTISEMENT
Semua organisasi kemahasiswaan nasional memiliki orientasi yang mulia, semua untuk kepentingan rakyat, namun banyak yang akhirnya mengalami disorientasi. Nampaknya reformasi membuat kita lupa, bahwa rakyat tertindaslah yang harusnya menjadi orientasi perjuangan kita.
***
Aku mungkin tidak tahu akan bagaimana hari esok. Bisa jadi aku salah satu dari mereka. Namun yang pasti, hari ini aku merupakan seorang mahasiswa.