Melawan Lewat Tulisan

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2021 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Sumber : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Sumber : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti biasa aku menyendiri, mengejar inspirasi-inspirasi dari suara angin yang halus. Berdialog dengan sepi untuk melawan bosan dan tergesa-gesa. Selalu ada alasan untuk aku mengulanginya, aku bodoh, aku dibuat bodoh dan aku lapar semakin dibuat lapar. Aku menulis karena aku mau dan mereka para raja selalu memberiku wejangan untuk aku bisa menulis.
ADVERTISEMENT
Sudah banyak sebenarnya tulisan-tulisan serupa dengan tulisanku ini. Tapi apa salahnya aku mengulasnya kembali, sebagai self reminder untuk kita, untuk perjuangan mahasiswa.
Sebelumnya kalian boleh menginterpretasikan kata “melawan” untuk hal lain yang lebih luas. Menulis untuk melawan kebodohan, melawan kemiskinan, melawan penindasan dan sebagainya. akan tetapi di sini saya akan mencoba mengawinkan kata “melawan” tersebut dengan usaha perlawanan mahasiswa.
Kenapa mahasiswa harus menulis? Aku rasa menulis merupakan senjata yang berbahaya dalam usaha melakukan perlawanan. Hari ini tentunya kita sudah tidak asing dengan beberapa gaya perlawanan yang dilakukan mahasiswa, entah itu dengan berdemonstrasi atau hanya melalui diskusi dan kajian. Usahanya terbilang masif, meski terkadang sering berhenti di tengah jalan.
Mahasiswa hari ini sepertinya lupa, atau hanya sedikit yang sadar betapa pentingnya sebuah karya tulisan. Mereka melupakan aktivis terdahulu yang konsisten melakukan gerakan perlawanan melalui tulisan, sebut saja Tan Malaka dan Wiji Thukul atau jika kita mau melihat tokoh besar yang gemar menulis seperti Soekarno untuk melawan praktik neo-kolonialisme dan Kartini untuk melawan penindasan terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Perlawanan fisik tentu hanya sia-sia, terlebih jika yang kita lawan kaum pembungkam. Mereka punya segala instrumen yang dibutuhkan untuk meredam perlawanan fisik kita. Maka dari itu, tulisan menjadi opsi yang relevan dengan kondisi hari ini.
Tulisan memiliki kemampuan untuk memobilisasi, mendorong dan menggerakkan publik yang memiliki kekuatan dan mempengaruhi sikap mereka untuk ikut melawan kekuatan penguasa.
Terlebih hari ini, di mana difusi teknologi berkembang dengan sangat masif tentu memberikan kemudahan bagi para mahasiswa untuk membuat tulisan dan mempublikasikannya. Mahasiswa tentu harus bisa membaca trend, pengguna media hari ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menyuarakan isu-isu melalui tulisan, entah itu opini, esai, atau jenis tulisan lainnya.
Sumber-sumber kredibel pun hari ini mudah didapat, maka dari itu penting tentunya bagi mahasiswa untuk bisa beradaptasi di era disrupsi teknologi.
ADVERTISEMENT
Nampaknya kita semua sepakat dengan ucapan Pramoedya Ananta Toer, "orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Menulis bukan hanya sekedar mengisi waktu kosong, tapi menulis usaha untuk memperbaiki jiwa yang sakit, yang hanya diisi oleh kebodohan, ketidakpedulian, dan kenaifan. Mahasiswa tentu harus berpikir bahwa hidup mereka harus didedikasikan untuk kepentingan publik. Usaha pengabdian masyarakat bisa kita lakukan melalui tulisan yang berisi sebab-akibat dari kondisi sosial yang terjadi hari ini.
Peninggalan tulisan pun tentu bisa menjadi modal untuk perlawanan-perlawanan di generasi berikutnya. Itulah salah satu makna dari keabadian.
Di samping itu, tentu tulisan yang kita buat harus disertai dengan aksi-aksi nyata, bukan hanya "tong kosong nyaring bunyinya". Banyak cara ilmiah yang kita bisa lakukan. Kita bisa melakukan perlawanan bersama masyarakat atau memberikan penyuluhan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita paham pentingnya menulis oleh seorang mahasiswa. Aku sendiri tentunya masih sangat jauh dari harapan-harapan yang ada dalam tulisan ini. Tapi bukan berarti aku tak pantas menulis tulisan ini.
"Aku lebih takut dengan seseorang yang memegang pena (penulis) dari pada prajurit yang bersenjatakan lengkap." - Napoleon Bonaparte