Pembajakan Film adalah Kejahatan!

Aldi Setiawan
Mahasiswa Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
3 Januari 2022 17:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aldi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto : pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Apakah hiburan itu hanya milik orang kaya?” Pertanyaan ini makin hari makin sering saya temui-khususnya di kolom komentar beberapa sosial media, dan pertanyaan tersebut biasanya ada sangkut pautnya dengan dunia perfilman.
ADVERTISEMENT
Sudah lama memang film menjadi hiburan bagi masyarakat, baik masyarakat kota ataupun desa, masyarakat menengah ke atas dan juga menengah ke bawah. Medianya pun beragam, televisi, bioskop dan beberapa aplikasi khusus penyedia film seperti Netflix, Amazon, BBC dll.
Namun, menyoal film tentunya kita tidak boleh hanya berfokus pada mereka para penikmatnya saja, terkadang kita juga harus membuka mata kita kepada mereka para produsen yang mungkin jarang kita lakukan. Mengetahui pengorbanan mereka, setidaknya bisa sedikit memunculkan rasa empati kita, para penonton, kepada mereka, para produsen.
Menjamurnya dunia perfilman nasional maupun global nampaknya berbanding lurus dengan suburnya situs-situs penyedia film illegal – bajakan, bahkan diikuti oleh berbagai platform media maya seperti tiktok. Platform yang satu ini memang hari ini sedang digandrungi, namun jika kita melihat konten-konten yang ada di dalamnya, banyak sekali potret ketidakpedulian tiktok terhadap dunia perfilman di Indonesia. Banyak akun-akun tidak bertanggung jawab yang sering me-repost karya film orang lain, yang tentunya sangat merugikan para penggiat film.
ADVERTISEMENT
Pembajakan sepertinya sudah menjadi penyakit masyarakat yang hari ini sangat sulit disembuhkan. Begitupun dengan dunia perfilman. Banyak oknum yang tidak bertanggung jawab, menyediakan media agar masyarakat bisa menonton secara illegal untuk keuntungan mereka sendiri, entah keuntungan berupa iklan, viewers dan followers ataupun profit dari penjualan film yang mereka bajak tersebut.
Dalam survey YouGov untuk Coalition Against Privacy (CAP) dari Asian Video Industry Association (AVIA), 63% masyarakat Indonesia merupakan penikmat film bajakan. Jumlah yang sangat besar bukan? Hal itu tentu tentu sangat merugikan para pekarya sinematografi dan sangat mungkin bisa mematikan dunia perfilman Indonesia.
Fenomena ini sangat sulit sekali untuk bendung. Penyedia film-film illegal tidak akan pernah hilang selama para penontonnya tetap ada. Namun, bukan berarti kalian yang peduli boleh diam, setidaknya ada usaha kita menyadarkan dan mencontohkan cara menghargai mereka yang rela menghabiskan waktu, materi dan idenya untuk memberikan kita sebuah hiburan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar masyarakat yang mengaku berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah adalah yang paling banyak memaklumi fenomena ini. Dari sini kita tahu, alasan utama mereka menghalalkan tontonan illegal adalah karena beralasan budgeting. Padahal saya rasa, dengan segala kemudahan akses hari ini, biaya yang harus mereka keluarkan masih bisa terjangkau. Toh, harganya tidak beda jauh ketika mereka nongkrong di café ataupun ketika mereka pergi liburan.
Stereotip bahwa “menonton film berlisensi adalah sebuah kemewahan maka maklum jika saya menonton film bajakan yang mudah dan murah” sudah mengakar di benak masyarakat kita.
Selain itu, pemakluman fenomena pembajakan film juga terjadi dikarenakan masyarakat Indonesia masih belum bisa menganggap serius tentang pelanggaran hak cipta. Entah disadari ataupun tidak, perbuatan melanggar hukum mereka menjadi sebuah kebiasaan. Hal ini mungkin bisa menjadi evaluasi bagi masyarakat yang sadar dan juga pemerintah, mengapa banyak masyarakat yang berani mengakses film illegal.
ADVERTISEMENT
Padahal, soal hak cipta sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Di situ sudah tertulis dengan gamblang soal perlindungan hak cipta lengkap dengan konsekuensi bagi para pelanggarnya. Apakah masyarakat hari ini belum mengetahui tentang aturan tersebut? Apakah sosialisasi pemerintah masih sangat kurang? Atau karena memang kesadaran mereka yang benar-benar sudah hilang? sepertinya pertanyaan-pertanyaan tersebut masih harus kita cari tahu jawabannya.
Mungkin, salah satu penyebab mengapa dunia perfilman Indonesia tidak berkualitas dan sering mendapat kritik adalah karena kurangnya penghargaan kepada mereka pelaku usaha dunia perfilman.
Foto : Instagram / afdhal_yusman

Yuk, hargai karya dan ide orang lain

Kebiasaan menonton film illegal tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan ekonomi ataupun latar belakang pendidikan. Mereka sebetulnya mampu membayar untuk film berlisensi dan sadar akan hukum yang menanti. Akan tetapi, karena lingkungan mereka terbiasa menonton film bajakan, akhirnya ikut terdorong untuk melakukannya, ditambah kemajuan teknologi hari ini memudahkan mereka – para oknum, untuk melancarkan kejahatannya.
ADVERTISEMENT
Pembajakan merupakan sebuah kejahatan dan tentunya memiliki dampak negatif. Sialnya, dampak negatif tersebut bukan hanya akan dirasakan oleh mereka para penyedia film illegal dan penontonnya, tetapi dampak lebih besar membayangi mereka para pegiat film. Kerugian materi yang pasti besar nominalnya ataupun karena tak ada penghargaan bagi mereka yang telah menggelontorkan idenya.
Kita, para penikmat ide-ide mereka tentu memiliki tanggung jawab menghargai para pemilik ide tersebut dan mereka – pemilik ide - berhak mendapat keuntungan dari usahanya. Sayangnya, sangat sedikit masyarakat kita yang sadar dan mau menghargai karya-karya mereka. Artinya, selain menghargai para pegiat film, kita juga memiliki tanggung jawab untuk membangun kesadaran masyarakat pentingnya menghargai dan melindungi hak cipta orang lain.
ADVERTISEMENT
*Tulisan ini merupakan autokritik untuk diri saya yang dulu pernah menjadi penikmat film bajakan, dan hari ini--setelah sadar--saya memilih menjadi seorang penulis gelandangan, yang tidak mampu membeli film berlisensi.