Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pertempuran Mogadishu: Pra Reformasi Kebijakan Luar Negeri AS
8 Maret 2019 18:49 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
Tulisan dari JS Aldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Siang itu menjadi waktu paling mendebarkan bagi para tentara satuan elit gabungan Amerika Serikat; Task Force Ranger. Pada 3 Oktober 1993, dalam operasi militer Gothic Serpent, pasukan TFR ditugaskan untuk menangkap dua letnan kepercayaan Jenderal Mohamed Farrah Aidid, panglima perang sekaligus kepala klan Habr Gidr, klan paling berpengaruh seantero negeri, di Pasar Bakara, Mogadishu, Somalia-jantung kota paling berbahaya di wilayah Tanduk Afrika.
ADVERTISEMENT
Tepat pukul 15:32, Peltu Michael Durrant, pimpinan pilot mengatakan sandi aktifasi misi, "Irene!". Seketika, 115 pasukan TFR meluncur menuju gedung target operasi, Hotel Olympic, tempat dua letnan Aidid menggelar pertemuan. Seluruh pasukan dimobilisir lewat dua jalur; darat dengan 12 kendaraan, dan udara dengan 17 helikopter, termasuk empat helikopter UH-60 Blackhawk.
Berdasarkan rencana, eksekusi misi ini akan terselesaikan dalam waktu 30 menit saja. Hingga, malapetaka pun terjadi ketika dua helikopter Blackhawk ditembak jatuh oleh milisi Aidid, Aliansi Nasional Somalia. Tak pelak, kejadian tersebut kemudian merestruktur objektif misi; misi penyergapan beralih menjadi misi evakuasi. Alhasil, pertempuran berlangsung selama 15 jam tanpa henti dan menewaskan 18 prajurit serta 73 prajurit cedera lainnya.
Pertumpahan darah yang terjadi di sana memaksa Presiden AS kala itu, Bill Clinton untuk menarik seluruh pasukan dari Somalia tanpa terkecuali, selambat-lambatnya hingga tanggal 31 Maret 1994.
ADVERTISEMENT
REFORMASI KEBIJAKAN LUAR NEGERI AS
Pertempuran Mogadishu menginisasi langkah awal kebijakan luar negeri AS. Di bawah pemerintahan Presiden Bill Clinton, pada tanggal 3 Mei 1994, AS menerbitkan perundangan eksekutif, Presidential Decision Directive 25, yang mendorong kemawasan dan ketertataan aktifitas politik lintas batas negara AS. PDD-25 mengamanatkan seluruh instrumen politik luar negeri AS untuk mengedepankan kepentingan nasional terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk melibatkan diri dalam konflik kemanusiaan internasional.
Sikap skeptis ditunjukkan oleh masyarakat internasional ketika AS memutuskan untuk tidak terlibat dalam upaya mengintervensi konflik genosida yang terjadi di Rwanda, tahun 1994, Bosnia (1995), hingga Darfur, Sudan (2003). Padahal, secara garis besar, pola dan struktur konflik yang terjadi serupa dengan konflik Mogadishu, Somalia (1993).
ADVERTISEMENT
Para pengamat lantas menjawab pertanyaan tersebut. Donald Daniel, dosen Universitas Georgetown, mengatakan dalam laporannya bahwa PDD-25 menekankan peran militeristik AS pada konflik kemanusiaan harus dilandaskan pada tujuan dan hasil akhir yang mampu diidentifikasi secara pasti. Hal tersebut memang dinyatakan secara lugas pada PDD-25, poin 2, halaman 5, yang bunyinya; "operasi perdamaian PBB yang mendorong keterlibatan AS mesti terikat pada nawacita yang berstatus final atau hampir final dan dilandaskan pada sejelas-jelasnya mandat serta jangka waktu yang spesifik".
Perlu diingat bahwa kebijakan luar negeri merupakan implikasi dari sebuah tindakan serta sikap yang ditunjukkan oleh suatu negara. Dengan menggunakan definisi tersebut, maka AS-pasca Pertempuran Mogadishu-menjadi negara yang semakin cermat dalam bertindak. Ini dapat dilihat secara menohok pada huruf E, halaman 14, PDD-25, tentang U.S. Force yang mengatakan bahwa "presiden akan urung melibatkan kekuatan militer AS di beberapa konflik kemanusiaan tertentu. Bilamana sangat dibutuhkan, maka presiden akan menimbang beberapa faktor internal. Diantaranya meliputi; resiko bagi prajuritnya, kondisi alam secara umum, hingga urgensi kepentingan nasional". Signifikansi yang belum pernah dilakukan AS sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Rasanya cukup adil untuk mengatakan bahwa Pertempuran Mogadishu jadi pukulan sangat telak-pasca Perang Vietnam-bagi negara sekaliber AS untuk membenahi sikap politik internasionalnya di hadapan publiknya sendiri. Bukan tanpa sebab, melainkan karena besarnya kerugian materi dan psikologis yang diterima AS dengan memakan lebih dari 50 persen pasukannya menjadi korban. Pelajaran bagi AS ini kemudian diakui oleh Presiden George W. Bush bahwa ketidakterlibatan AS di Rwanda dan Darfur disebabkan oleh pengalaman mereka di Somalia. Konflik Rwanda, Bosnia, dan Darfur, tidak mendorong urgensi kepentingan AS untuk melibatkan dirinya. Terlebih lagi, PBB tidak memberikan spesifikasi tentang tujuan akhir yang harus dituju oleh AS.
Berbeda cerita dengan operasi militer di Afghanistan dan Irak, keterlibatan AS di sana disebabkan oleh agresifitas kelompok teroris Al Qaeda-yang berbasis di kedua negara tersebut-yang menjadi dalang dibalik kejadian 9/11, 2001, aksi teror penabrakan Menara Kembar.
ADVERTISEMENT
Berkat restrukturisasi yang diamanatkan oleh PDD-25 selama 25 tahun terakhir, AS berhasil menjadi negara adikuasa yang non-altruistis dan kembali berpedoman pada kepentingan nasionalnya, sesuatu yang pernah luput di masa lalu.
Hinga hari ini, Presidential Decision Directive 25 tetap menjadi landasan reformasi kebijakan luar negeri dan mampu mengarahkan dinamika politik internasional AS hingga pemerintahan Donald Trump sekarang.