Solutif Memberi dan Menerima Feedback dalam Komunikasi Digital

Alditta Khoirun Nisa
Mahasiswa Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
21 Januari 2021 6:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alditta Khoirun Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media Sosial.pexels-pixabay-267350
Memasuki era digital, para warganet didorong untuk memberi umpan balik, seperti memuji dan mengkritik secara konstruktif. Namun belakangan ini, tidak sedikit netizen berujar tanpa memperhatikan etika berkomunikasi yang tidak menyakiti orang lain. Bagi netizen, media digital termasuk privasi mereka yang berhak mengekspresikan apa yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan. Jika masing-masing pihak selalu mempertahankan argumennya yang dianggap benar tanpa tenggang rasa, dunia digital akan menjadi sumber masalah di hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Contoh saja perihal substansi, nampaknya konten-konten yang dipublikasikan oleh warganet cenderung bicara tentang level kehidupan dan opini terhadap fenomena dalam linimasa yang sedang hangat. Entah dipengaruhi atas psikologis selaku jurnalis digital yang berlomba menuai popularitas, atau kehendak diri yang hanya ingin berbagi kehidupan di segala aktivitas. Yang pasti, media sosial telah berkembang semakin mendukung penggunanya untuk mendapat perhatian.
Dilansir dari bbc.com, sebuah studi pada 1.000 orang Swedia pengguna Facebook menemukan, bahwa perempuan yang menghabiskan waktu lebih banyak di Facebook, dilaporkan merasa kurang bahagia dan kurang percaya diri, lantaran mendapat respon dari teman Facebook-nya yang tanpa disadari tergolong destruktif.
Para peneliti menyimpulkan: "Ketika pengguna Facebook membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih sukses dalam karir dan memiliki hubungan yang bahagia, mereka dapat merasa bahwa kehidupan mereka kurang sukses dibandingkan dengan yang lain."
ADVERTISEMENT
Fenomena demikian hanya salah satu dari jutaan masalah kehidupan lainnya yang bersumber dari media digital. Jika bijak mengelola kehidupan digital belum mampu ditaklukkan, maka bersiaplah menjadi budak dunia maya yang sulit terbebaskan. Begitu juga dengan hukum Newton III, aksi yang dikeluarkan tidak akan pernah lepas dari reaksinya. Apa yang diunggah di media digital, nikmati segala sensasi dan konsekuensinya.
Di sisi lain, tidak selamanya feedback menyusahkan individu. Sebaliknya, menjadi pertanda efektifnya komunikasi yang dilakukan dalam ranah digital. Karena itu, maka proses komunikasi yang efektif di media digital mesti dilakukan dengan bahasa yang jelas dan komunikatif.
Ya, salah satu hal untuk bertahan hidup di ranah serba digital saat ini yaitu menerima feedback, memaknai segala tanggapan yang diperoleh dengan positif dan objektif. Tidak selamanya kebenaran berpikir ada pada diri sendiri, tidak selalu jua sudut pandang orang lain itu salah. Memroses pesan-pesan yang dikirim dan diterima warganet menjadi tantangan tersendiri yang kadang menimbulkan konflik batin. Selayaknya embun pagi di padang pasir, proses kehidupan sosial yang penuh derita juga menantikan akhir cerita yang bahagia dan solutif.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana seharusnya memberi dan menerima umpan balik? Terkadang bermaksud memberi masukan, akan tetapi yang terjadi berakhir perseteruan atau dendam dingin, alih-alih sekadar kritik tanpa solusi. Penting untuk mengasumsikan bahwa feedback selalu berguna, sehingga dapat membantu orang menjadi lebih baik dalam berkreasi di dunia digital.
Umpan balik merupakan pusat perkembangan individu, baik perkembangan pribadi maupun profesional. Umpan balik memiliki dampak yang signifikan pada kinerja dan perilaku karyawan sebagai bagian dari tim. Sama halnya dalam kehidupan, seseorang akan belajar dan bertumbuh ketika mereka menerima umpan balik langsung yang spesifik. Umpan balik ini juga harus berpusat pada pengembangan dan kemampuan untuk melaksanakannya.
Menyadari hal ini, umpan balik adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari tiga teori yang umumnya diterima sebagai kebenaran. Apa saja tiga teori kebenaran itu?
ADVERTISEMENT
Masalah pertama adalah bahwa manusia tidak bisa diandalkan dalam menilai manusia lain. Selama 40 tahun terakhir, psikometri telah menunjukkan dalam studi demi studi tentang orang yang tidak memiliki objektivitas untuk memegang definisi stabil dari kualitas abstrak, seperti reaksi terhadap aktivitas digital, dan kemudian secara akurat mengevaluasi orang lain di sekitarnya.
Satu-satunya di mana manusia merupakan sumber kebenaran yang tidak dapat disangkal adalah perasaan dan pengalaman yang diperoleh. Warganet mungkin tidak bisa memberitahu di mana seorang kreator berdiri, tetapi bisa memberitahunya di mana dia berdiri bersama warga digital. Artinya, respon yang diberi warganet semestinya mampu mengingatkan seorang kreator untuk hidup bersama tanpa ada kesenjangan antara netizen dengan kreator, antara netizen dengan influencer, bahkan antara creator dengan influencer. Mereka yang eksis di dunia digital bukan berarti selalu mulus kehidupannya, bukan juga selalu teladan tingkah lakunya.
ADVERTISEMENT
Warga digital semestinya memahami itu, yaitu diciptakan dengan potensi yang berbeda. Dengan kebenaran pada perasaan, tolerir itu pasti muncul karena berkembangnya perasaan empati. Dengan kebenaran pada pengalaman yang didapat, menjadi celah untuk memperkaya wawasan baik dari diri sendiri maupun pengalaman role model warganet di dunia digital. Itu adalah kebenaran, bukan milik netizen. Ini adalah klaim yang lebih rendah, tapi setidaknya akurat.
Belajar bukanlah fungsi menambahkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya, melainkan untuk mengenali, memperkuat, dan menyempurnakan apa yang sudah ada. Seperti yang dijelaskan oleh Joseph LeDoux, profesor ilmu saraf di Universitas New York, "Belajar itu bagaikan koneksi yang ditambahkan kurang lebih seperti tunas baru di suatu cabang daripada menambahkan di cabang baru."
ADVERTISEMENT
Melalui lensa demikian, belajar memiliki persamaan dengan membangun sedikit demi sedikit pada pola-pola unik yang sudah ada dalam jati diri. Artinya, pembelajaran dimulai dengan menemukan dan memahami pola-pola setiap user, bukan pada pola orang lain dalam komunikasi digital.
Budayakan otak untuk merespons feedback kritis sebagai pemicu lebih fokus pada informasi penting dalam bertahan hidup meraih mimpi. Maksud di mana lebih fokus pada informasi penting dari feedback kritis tersebut adalah mencerna kata demi kata yang didapat dari orang lain untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri.
Andai tanggapan demikian bersinggungan dengan prinsip atau potensi yang dimiliki, cukup diapresiasi dengan metode yang tepat tanpa membuat hubungan pertemanan menjadi tamat. Bagaimana jika kritikan tersebut menyentuh kebenaran yang diyakini? Cukup diakui, ucapkan terima kasih, dan pelajari lebih lanjut kritikan tersebut supaya dapat mengontruksi diri menjadi lebih baik. Dari situlah terjadi pembelajaran yang akhirnya memperkuat diri dan lebih mengenal kemampuan diri.
ADVERTISEMENT
Giving Effective Feedback (CCH10110A)
Keunggulan dalam upaya apa pun hampir tidak terdefinisikan, namun mencapainya, bagi warga digital, relatif mudah. Terbukti dengan adanya aktivitas digital yang menuai umpan balik baik positif maupun negatif dari netizen. Keunggulan tampak terkait erat dengan siapa dan bagaimana yang mendemonstrasikannya.
Nyatanya banyak penyanyi-penyanyi muda yang sukses berkarya usai konsisten menyosialisasikan kemampuan tarik suaranya di media digital. Bukan tidak mungkin, bila keunggulan memang mudah diraih. Jangan salah sangka, segala hal di dunia digital yang mengandung kontroversi pun juga termasuk sebuah keunggulan, baik dari si pengunggah maupun pihak-pihak lain yang bersangkutan.
Keunggulan itu istimewa, tidak dapat dipelajari dengan mempelajari kegagalan. Setiap user tidak dapat membantu orang lain untuk berhasil dengan mengikuti kinerjanya yang melawan model keunggulan setiap individu.
ADVERTISEMENT
Ibarat main bola bersama striker terbaik dan berkualitas. Cara mereka mencetak goal selalu berbeda. Ada Lional Messi dengan cara menendang bola yang sedemikian rupa, apa bisa dengan meniru gayanya lalu berhasil menciptakan goal? Jawabannya adalah belum tentu. Mengapa? Karena caranya Maradona, Lional Messi, Christiano Ronaldo, belum tentu relevan dengan kemampuan diri saat diaplikasikan.
Untuk mengeksplorasi keunggulan, feedback merupakan objek yang lebih baik dari semua energi yang saat ini diarahkan pada transparansi beropini. Tentu saja untuk mendapat feedback, diperlukan effort dalam melakukan aktivitas di dunia digital. Tanpa aksi yang dilakukan warganet, tidak akan menghasilkan reaksi, karena keduanya saling berhubungan.
Dari feedback tersebutlah, netizen dapat memetik hikmah pembelajaran dan menemukan keunggulan yang ada dalam diri netizen. Walaupun untuk menyadarinya, pada beberapa kasus dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan usaha yang optimal.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga digital yang budiman, salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan adalah memberikan umpan balik secara konstruktif. Umpan balik yang jujur dan memiliki arti, mampu memotivasi, memperbaiki situasi, hingga menghadirkan solusi. Sebaliknya, menerima feedback juga sama baiknya dengan memberi. Langkah solutif yang paling terpenting untuk menghadapinya, “jadikan segala feedback yang diterima sebagai informasi yang berharga, walaupun itu menyakitkan.”
Solutif memberi dan menerima feedback dalam komunikasi digital termasuk keterusterangan yang bijak dan tepat. Setiap kontribusi yang diunggah setiap user itu bermakna dan tersimpan otomatis sebagai jejak digital. Oleh sebab itu, sampaikan tanpa menghakimi dan tanggapi dengan rendah hati, merupakan cerminan good digital citizenship.