Melawan Diskriminasi Gender di Lingkungan Kampus

ALESHA LOVADENA HARMEIN
Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ALESHA LOVADENA HARMEIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/illustrations/woman-face-bullying-stress-shame-2775271/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/illustrations/woman-face-bullying-stress-shame-2775271/
ADVERTISEMENT
Diskriminasi gender merupakan salah satu isu sosial yang masih sering dijumpai di kehidupan bermasyarakat. Diskriminasi gender sendiri adalah suatu keadaan dimana struktur sosial tidak adil atau memandang rendah terhadap suatu gender tertentu, hal ini juga menciptakan kedudukan antara gender di dalam kehidupan bermasyarakat menjadi tidak rata. Ketidakadilan yang dirasakan ini menciptakan sistem kehidupan bermasyarakat yang tidak sehat, contohnya adalah sistem patriarki. Sistem ini berpendapat jika kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan gender lainnya, maka dari itu peran laki-laki lebih mendominasi di dalam kehidupan termasuk di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi para perempuan dan ekspresi gender lainnya masih belum dapat menghilangkan diskriminasi gender yang sering terjadi. Menurut Ikhaputri Widiantini, M.Si, dosen Filsafat Universitas Indonesia, bahkan dosen perempuan sendiri lebih susah untuk mempertahankan pekerjaannya dibandingkan dosen laki-laki. Hal ini menunjukan jika kampus belum menjadi kampus yang aman dari diskriminasi. Maka dari itu, Untuk menciptakan kampus yang aman, para perempuan dan ekspresi gender lainnya perlu mendapatkan hak yang sama dengan para laki-laki.
ADVERTISEMENT
Di dalam kampus sendiri masih sering terjadi perlakuan tidak adil terhadap gender tertentu dengan alasan klasik atau malah tidak masuk akal. Contohnya seperti anggapan jika perempuan lebih cocok untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hafalan, seni dan juga perasaan, sedangkan laki-laki dianggap mampu melakukan kegiatan yang memakai logika, hitungan dan kepemimpinan. Selain itu banyak pemilihan ketua organisasi kampus yang tidak mempunyai calon perempuan atau hanya menjadikan perempuan sebagai seorang wakil saja. Terlepas dari itu, banyak kampus yang belum dapat menerima keberadaan kaum minoritas yang memiliki ekspresi gender selain perempuan dan laki-laki. Pihak kampus menganggap hal tersebut termasuk dalam ‘penyimpangan’ atau sebuah ‘penyakit’, padahal seks dan gender adalah hal yang berbeda. Hal ini membuat para kaum minoritas tidak akan mendapatkan hak yang sama dengan gender lain, selain itu anggapan tersebut dapat membuat mereka tidak merasa aman saat berada di lingkungan kampus. Meskipun banyak kasus diskriminasi gender yang terjadi di lingkungan kampus, pihak kampus sendiri masih tidak terlalu peduli dengan isu-isu ini dan menganggap hal tersebut adalah hal yang normal.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi gender dapat menghasilkan banyak dampak negatif, termasuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual di lingkungan kampus sendiri akhir-akhir ini marak terjadi. Menurut data dari hope help unpar sebanyak 154 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan kampus. Tidak hanya perempuan, transman dan orang yang tidak mau menyebutkan gender juga mengalami hal yang sama. Meskipun banyak korban yang mengalami kekerasan seksual, kampus masih kurang peduli atau malah menutupi kasus tersebut dengan alasan akan mencoreng nama baik kampus. Maka dari itu banyak korban yang speak-up melalui media sosial agar kasus tersebut viral dan mendapatkan sorotan dari media, setelah itu biasanya kampus baru akan menangani kasus tersebut. Padahal sorotan media sendiri dapat membuat korban merasa ketakutan karena banyak korban merasa hal yang mereka alami adalah aib yang memalukan. Tetapi hal ini juga tidak menjadikan kampus selalu berada di pihak korban, banyak kampus yang malah membela pelaku dan mengeluarkan korban dari kampus karena melakukan pencorengan nama baik.
ADVERTISEMENT
Di dalam lingkungan kampus masih terjadi diskriminasi gender yang dapat membahayakan warga kampus itu sendiri. Maka dari itu semua orang yang berada di lingkungan kampus harus bersatu untuk memerangi diskriminasi yang terjadi. Seperti dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 6 poin (b) berbunyi bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sendiri berharap jika pihak kampus harus mulai terbuka akan isu-isu diskriminasi yang terjadi di dalam lingkungannya. Mereka juga ingin jika kampus di Indonesia mulai menerapkan pendidikan responsif gender, dimana semua orang berhak untuk mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Para mahasiswa dan mahasiswi juga bisa melakukan kampanye untuk melawan diskriminasi gender yang terjadi. Hal ini dapat membantu untuk menghilangkan diskriminasi yang terjadi di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi gender di lingkungan kampus menjadi isu serius yang harus segera ditangani. Masih banyak orang memiliki anggapan patriarki yang merugikan gender lain, selain itu banyak kampus masih belum menerima ekspresi gender lain. Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus belum dapat dihapuskan. Pihak kampus juga masih belum bisa selalu berpihak pada korban. Hal ini membuktikan jika lembaga pendidikan seperti kampus belum bisa memberikan ruang aman bagi para warga kampus. Sebagai seorang mahasiswa dan warga kampus sebaiknya kita dapat belajar pentingnya kesetaraan gender untuk mewujudkan kampus aman tanpa diskriminasi gender. Karena memang seharusnya semua manusia berhak untuk mendapatkan hak yang sama. Maka dari itu, diskriminasi gender harus dilawan dan dihilangkan dari kehidupan bermasyarakat termasuk di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Anak, K. P. P. D. P. (2019, December 17). KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Retrieved June 19, 2022, from https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2454/kemen-pppa-rangkul-sivitas-perguruan-tinggi-wujudkan-kesetaraan-gender
BBC News Indonesia. (2018, November 24). Pengaduan perempuan transgender ke Komnas Perempuan: “Tinggal di kos sendiri pun diusir.” Retrieved June 22, 2022, from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46320045
Handayani, M. S., & Marcoes, L. (2019, April 10). Kampus Tak Punya Perspektif Adil Gender, Saatnya Perempuan Memimpin. Tirto.Id. Retrieved June 21, 2022, from https://amp.tirto.id/kampus-tak-punya-perspektif-adil-gender-saatnya-perempuan-memimpin-dkSJ
Putri, C. N. (2021, June 20). Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online di Indonesia Meningkat, Ini Kategorinya! KOMPAS.Com. Retrieved June 22, 2022, from https://www.kompas.com/parapuan/read/532750556/kasus-kekerasan-berbasis-gender-online-di-indonesia-meningkat-ini-kategorinya
Putrianti, N. (2022, January 14). Diskriminasi Gender dan Kekerasan Seksual dalam Kampus. GEOTIMES. Retrieved June 19, 2022, from https://geotimes.id/opini/diskriminasi-gender-dan-kekerasan-seksual-dalam-kampus/
ADVERTISEMENT
Redaksi suara mahasiswa. (2021, March 31). Sudahkah Kampus Menciptakan Lingkungan Yang Setara Bagi Perempuan? | Suara Mahasiswa UI. Https://Suaramahasiswa.Com/Sudahkah-Kampus-Menciptakan-Lingkungan-Yang-Setara-Bagi-Perempuan. Retrieved June 20, 2022, from https://suaramahasiswa.com/sudahkah-kampus-menciptakan-lingkungan-yang-setara-bagi-perempuan
Zuhra, W. U. N., Salam, F., & Adam, A. (2019, April 25). Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota. tirto.id. Retrieved June 22, 2022, from https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW
Alesha Lovadena, Mahasiswa FISIP Universitas Katolik Parahyangan.