Jurnalis Perempuan Indonesia Dalam Catatan Sejarah

Alexander Kusuma Praja
Senior Editor dari majalah NYLON Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Februari 2017 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alexander Kusuma Praja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh setiap tanggal 9 Februari, kami melihat kembali sosok-sosok wanita paling ikonik di sejarah pers Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai para punggawa informasi dan berita, sosok jurnalis di masa perjuangan kemerdekaan tidak bisa dipandang remeh. Bersenjatakan pena dan pemikiran yang sama tajamnya dengan bambu runcing para pejuang di medan perang, peran jurnalis di era itu tak sekadar memberitakan informasi terkini saja tapi juga mengobarkan semangat dan nasionalisme lewat tulisan-tulisan kritis. Tak hanya kaum Adam saja, sejarah kita juga mencatat beberapa srikandi yang dengan berani mengemukakan pemikiran dan memperjuangkan kesetaraan hak kaumnya, yang dengan tegar menghadapi berbagai risiko, dari mulai benturan sosial dengan budaya patriarki hingga ancaman penjara dan pengasingan.
Roehana Koeddoes Lahir di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1884, Roehana Koeddoes adalah sosok pejuang intelektual yang disebut sebagai Wartawati Pertama Indonesia dan Perintis Pers Indonesia. Hidup di zaman yang sama dengan R.A Kartini di mana kaum perempuan masih tidak punya akses menempuh pendidikan formal, Roehana beruntung memiliki ayah yang mau mengajarinya banyak hal dari kecil, terutama dalam soal membaca, menulis, dan berbahasa. Melahap banyak bacaan dari kecil, Roehana tumbuh dewasa dengan pemikiran yang kian hari kian tajam, terutama dalam soal politik dan kesadarannya pada isu emansipasi, satu hal yang mendapat tentangan keras tak hanya dari pemerintah kolonial, tapi juga aturan agama dan adat setempat. Tak puas hanya mendirikan sekolah keterampilan bagi perempuan Indonesia, Roehana pun mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912, di mana surat kabar ini tercatat sebagai surat kabar pertama di Indonesia yang dipimpin, dijalankan, dan diperuntukkan untuk kaum wanita. Dengan isu nasionalisme dan emansipasi wanita dalam soal pendidikan, Roehana berperan sebagai pemimpin redaksi yang turut dibantu oleh Zubaidah Ratna Djuwita. Tidak hanya menjadi wadah berpendapat para perempuan di Sumatra Barat, Sunting Melayu yang terbit seminggu sekali dan bertahan terbit hingga 9 tahun juga menampung tulisan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Selain Sunting Melayu, Roehana juga sempat menjadi pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak di Medan serta surat kabar Radio dan Cahaya Sumatera di Padang. Atas jasanya yang besar dalam dunia jurnalistik, edukasi, dan politik, Roehana yang wafat pada tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta pun dianugerahi Bintang Jasa Utama oleh pemerintah Indonesia di tahun 2007 lalu.
Rasuna Said Meskipun Jalan Rasuna Said sudah tidak asing lagi di telinga penduduk Jakarta, mungkin masih banyak yang belum kenal siapa sebenarnya sosok sang empunya nama. Rasuna Said adalah salah satu pahlawan kemerdekaan dan aktivis emansipasi yang berjuang lewat buah pemikirannya. Sejak kecil, wanita kelahiran Maninjau, Sumatra Barat 14 September 1910 ini dikenal sebagai anak yang tak hanya cerdas tapi juga berani mengemukakan pendapatnya. Pernah menjadi satu-satunya santri perempuan di Pesantren Ar-Rasyidiyah, Rasuna sempat menjadi guru di sekolah putri sebelum terjun ke politik dan menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya yang menjadi media corong perjuangan di Sumatra Barat. Keberaniannya berpidato mengecam pemerintahan Belanda membuatnya menjadi wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda dan sempat dipenjara di Semarang pada tahun 1932. Keluar penjara, di tahun 1935 ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri yang berbicara soal perempuan dengan semangat antikolonialisme. Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis soal majalah tersebut, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional." Setelah Indonesia merdeka, beliau aktif di berbagai badan pemerintah dan tinggal di Jakarta sampai akhir hayatnya (2 November 1965) dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
ADVERTISEMENT
S.K. Trimurti Surastri Karma Trimurti adalah wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 yang dikenal sebagai wartawati, penulis, serta guru di zaman gerakan kemerdekaan Indonesia. Mengawali kariernya sebagai guru di tahun 1930-an, ia sempat ditangkap pemerintah Belanda karena menyebarkan pamflet anti kolonialisme dan dipenjara selama 9 bulan di Semarang. Keluar dari penjara, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini beralih ke jurnalisme dan tetap dengan kritis menulis soal anti pemerintah Belanda lewat beberapa surat kabar seperti Pikiran Rakyat, Genderang, dan Bedung. Ia pun menerbitkan surat kabar sendiri bertajuk Pesat bersama suaminya, Sayuti Melik yang kemudian dikenal sebagai pengetik teks proklamasi. Lepas dari ancaman Belanda, beliau sempat ditangkap lagi di zaman pendudukan Jepang, disiksa dan terpaksa melahirkan anak pertamanya saat masih di dalam penjara. Setelah Indonesia merdeka, wanita yang juga mengusung hak-hak pekerja ini diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja pertama di Indonesia selama dua tahun. Ia juga sempat ditawari menjadi Menteri Sosial, namun menolaknya dan memilih melanjutkan kuliah di saat umurnya telah menginjak usia 41 tahun. Melanjutkan hidupnya dan melewati tiga zaman dengan penuh kesederhanaan, beliau meninggal dunia di tanggal 20 Mei 2008 dan dimakamkan di Taman Makam Pahwalan Kalibata.
ADVERTISEMENT
Herawati Diah Datang dari keluarga dokter, Herawati Diah adalah seorang jurnalis dan wanita Indonesia pertama yang lulus dari universitas di Amerika Serikat, tepatnya di Barnard College di mana ia mengambil Sosiologi dan lulus pada tahun 1941. Pulang ke Indonesia tak lama setelah lulus, ia bekerja sebagai wartawan lepas untuk United Press International serta penyiar di radio Hosokyoku sebelum kemudian menikah dengan rekan sesama jurnalis, B.M. Diah yang kelak menjadi Menteri Penerangan saat Indonesia merdeka. Setelah sang suami mendirikan Harian Merdeka, pasangan ini juga mendirikan The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia yang diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955. Selain aktif sebagai pejuang pers sepanjang hidupnya, wanita penggemar olahraga bridge ini juga berperan dalam berbagai organisasi dan charity yang mengangkat isu perempuan sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal dunia pada tanggal 30 September 2016 di usia 99 tahun, dianugerahi lifetime achievement award dari Persatuan Wartawan Indonesia berkat perannya dalam dunia pers Indonesia, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di samping pusara suaminya.
ADVERTISEMENT