Konflik Agraria di Pulau Rempang, Menjajah Rakyat Sendiri?

Alexander the putra simbolon
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katholik Santo Thomas
Konten dari Pengguna
29 September 2023 10:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alexander the putra simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kajian isu hukum konflik agraria. Foto: Alexander The Putra Simbolon
Beberapa hari ini, kita terusik dengan pemberitaan media massa mengenai konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat di Pulau Rempang—dalam hal ini termasuk kampung Tua.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan permasalahan begitu keruh hingga membuat kita bertanya-tanya akan kebenaran keterangan yang disampaikan pemerintah maupun yang disampaikan masyarakat setempat. Sebab, keterangan yang memuat bukti tersebut saling bertentangan satu sama lain.
Jika kita telaah, kasus demikian bukan pertama kali terjadi, melainkan sudah beberapa kali terjadi. Seperti misalnya yang terjadi sebelumnya di Desa Wadas, Air Bangis, dan lainnya.
Konflik agraria tersebut terjadi karena masyarakat setempat menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di desa mereka yang akan mengharuskan mereka mengangkat kaki dari tempat tinggalnya dengan tidak terlepas dari tindakan aparat yang cenderung represif.
Terkhusus untuk konflik di Pulau Rempang, yang kemudian menjadi persoalan mendasar adalah terkait kebenaran bukti yang diajukan kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT

Duduk Perkara

Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: pradeep_kmpk14/Shutterstock

Pada awalnya BP Batam terbentuk pada Oktober 1971 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Dengan demikian BP Batam memperoleh Hak Pengelolaan (HPL) dari pemerintah pusat.
Perlu diketahui bahwa HPL ini berasal dari hak menguasai tanah oleh negara berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan dipertegas lagi pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Hingga pada tahun 2001-2002 BP Batam menerbitkan HGU kepada perusahaan swasta PT. Makmur Elok Graha sebagaimana diungkapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
Lalu berdasarkan Peraturan Menko Perekonomian No 7/2023, pengembangan Kawasan Rempang Eco-City masuk dalam daftar program strategis nasional ke-13.
ADVERTISEMENT
Tetapi lahan tersebut tidak langsung dikelola hingga pada 7 September terjadi bentrokan antara masyarakat dan aparat gabungan kepolisian dibantu oleh TNI Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Pertentangan Versi Pemeritah vs Masyarakat

Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: HASIHOLAN SIAHAAN/Shutterstock

Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan, bahwa konflik yang terjadi di Pulau Rempang tersebut merupakan pengosongan lahan bukan penggusuran karena HGU telah diberikan kepada PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2001-2002 sehingga perusahaan tersebut sebagai pemegang hak.
Akan tetapi lahan tersebut tidak langsung di kelola. Oleh karena itu , masyarakat mulai menempati lahan itu. Hingga pada akhirnya pemegang hak itu, investor melihat ternyata lahan itu sudah di tempati. Artinya lahan itu pada mulanya kosong.
ADVERTISEMENT
Lalu, terkait akar permasalahan ini, karena adanya miskomunikasi antara pemerintah daerah setempat dengan pemerintah pusat dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Kemudian Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia, Hadi Tjahjanto menjelaskan, bahwa masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak memiliki sertifikat karena lahan itu dikuasai oleh BP Batam.
Namun keterangan pemerintah tersebut di atas, tentu dibantah oleh masyarakat Pulau Rembang. Mereka mengeklaim telah lama tinggal di pulau tersebut sebelum adanya Keppres nomor 41 tahun 1973.
Hal itu berdasarkan kepada Traktat London 1824, terdapat 45 titik kampung Tua yang dapat kita lihat bahwa keberadaan kampung Tua dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan kejayaan Kerajaan Kalingga, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Raya.
ADVERTISEMENT
Traktat London 1824 telah memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan Pahang Malaya masuk jajahan Inggris. Bahkan, dalam upaya melestarikan dan mempertahankan kelestarian budaya melayu, Wali Kota Batam menetapkan untuk melakukan pengukuran dan pemetaan kampung tua.
Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2006 dan telah selesai dilakukan pada tahun 2011. Maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melestarikan kampung Tua yang bernuansa Melayu dan perlindungan hak masyarakat melayu.
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Lama/Tua di Kota Batam.
Kebijakan tersebut selanjutnya diperkukuh melalui peraturan Daerah Kota Batam No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 yang mencantumkan tentang Pengertian Kampung Tua.
ADVERTISEMENT
Definisi perkampungan Tua adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970—saat Batam mulai dibangun—yang mengandung nilai sejarah, budaya tempatan, dan/atau agama yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Artinya Wali Kota Batam sendiri tidak merekomendasikan kampung Tua termasuk ke dalam HPL. Dan, dengan mengacu pada pengertian perkampungan Tua itu, dapat kita hubungkan dengan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang mempertegas keberadaan masyarakat hukum adat kampung Tua di Batam ini.
Jika kita pahami bahwa dasar argumentasi dari pasa masyarakat kampung tua ini kuat. Sehingga tidak heran masyarakat rempang menolak keras di relokasi dari kampung nenek moyangnya.
ADVERTISEMENT

Keseriusan Pemeritah Atasi Konflik Pulau Rempang

Presiden Jokowi saksikan penandatanganan MoU industri kaca dan panel surya di Pulau Rempang antara Xinyi International dan PT Makmur Eka Graha di Shangri-La Hotel, Chengdu, China, pada Jumat, 28 Juli 2023. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden

Seperti pada pemberitaan media massa baik cetak maupun online, pemerintah terkesan tidak menghiraukan eksistensi masyarakat hukum adat/kampung Tua.
Hal ini dapat dilihat dari tindakan pemerintah yang langsung mengerahkan kekuatan aparat gabungan tanpa melakukan musyawarah mufakat atau mediasi terlebih dahulu dengan melibatkan tokoh masyarakat Rempang.
Sehingga terjadilah pengadangan masyarakat terhadap aparat gabungan yang hendak menuju ke Pulau Rempang untuk melakukan pengukuran dan pematokan di lahan tersebut sampai berujung bentrokan yang mengakibatkan korban orang dewasa dan anak SD karena terpapar gas air mata.
Kepolisian yang dikerahkan juga melanggar prinsip proporsionalitas dengan mengerahkan banyaknya aparat gabungan yaitu 1.000 personel sehingga mengintimidasi masyarakat, sebagaimana juga di jelaskan oleh Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pasal 3 huruf C perkap nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang menegaskan proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan yang mengatur secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.

Upaya Penyelesaian Konflik

Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPC PERMAHI) Medan, melalui Direktur Lembaga Kajian dan Pengawas Penegakan Hukum (LKPPH), telah melakukan kajian terhadap isu ini.
Dan oleh karena itu, kami menuntut pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini dengan mengusut tuntas kebenaran siapa pemegang hak di atas lahan, yang secara khusus akan menjawab eksistensi masyarakat hukum adat melalui Keputusan Wali Kota Batam nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Lama/Tua di Kota Batam.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut selanjutnya diperkukuh melalui peraturan Daerah Kota Batam nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014.
Kemudian, dihubungkan dengan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Selanjutnya, kepolisian harus berpegang kepada prinsip proporsionalitas dan harus mengutamakan tindakan preventif, sesuai perkap nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.