Sikap Mahkamah Konstitusi Terhadap Open Legal Policy?

Alexander the putra simbolon
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katholik Santo Thomas
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2023 15:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alexander the putra simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Madani melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Madani melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa bulan belakangan ini terjadi problematika mengenai open legal policy yang menyita perhatian publik khususnya di kalangan pakar hukum tata negara. Bagaimana tidak, pada Kamis, 25 Mei 2023, Mahkamah konstitusi RI (MK) melalui putusannya Nomor 112/PUU-2022, menetapkan lama masa jabatan maksimal untuk pimpinan KPK satu periode menjadi 5 tahun yang sebelumnya hanya 4 tahun.
ADVERTISEMENT
Dan jika dihubungkan dengan putusan MK Nomor 52/PUU-2022, menetapkan dalam amar putusannya bahwa ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) adalah open legal policy oleh karena itu bukan merupakan kewenangan MK. Di dalam kedua putusan ini dapat kita lihat sebuah pertentangan seperti pada putusannya menambah norma baru di dalam UU yaitu menambah lama masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Tetapi putusan lain menolak untuk menambahkan norma baru yakni mengurangi persentase presidential threshold dengan dalih bahwa merupakan open legal policy.
Open legal policy adalah kebijakan dalam pasal tertentu dalam UU yang merupakan kewenangan pembentuk UU. Menurut Mardian Wibowo, kebijakan hukum terbuka atau open legal policy adalah ketika ada dua kondisi yaitu UUD 1945 memberikan mandat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur suatu materi lebih lanjut, namun tidak memberikan batasan pengaturan materinya atau ketika UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur suatu materi lebih lanjut
ADVERTISEMENT

Dasar Hukum Kewenangan Lembaga Pembentuk Undang Undang

Untuk mendalami kasus tersebut kita perlu berkaca kepada UUD’45 untuk mengetahui lembaga apa saja yang di berikan kewenangan untuk membentuk & mengubah UU. Ketentuan pasal 20 ayat (1) DPR kekuasaan membentuk UU. Namun kekuasaan membentuk UU tersebut tidak bersifat tunggal melainkan di bahas dan memerlukan persetujuan bersama presiden ( pasal 20 ayat (2) ).
Selain itu Presiden juga berhak Mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) kepada DPR (Pasal 5 ayat 1). Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga memegang kekuasaan pembentuk UU adalah DPR bersama Presiden untuk merumuskan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan yang digariskan Konstitusi.
Jika kita melihat lebih teliti, Konstitusi memang terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit mengatur suatu dasar konstitusional kebijakan publik yang menjadi dasar bagi pilihan kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy) yang menjadi dasar kewenangan bagi pembentuk UU, untuk menjabarkan lebih jauh dalam suatu UU sebagai pengaturan lebih lanjut. Indikator konstitusional dimaksud merupakan ukuran yang dapat digunakan sebagai pembenar dengan melihat tujuan bernegara dalam pembukaan UUD’45.
ADVERTISEMENT
Dalam hal open legal policy perlu kita ketahui bersama bahwa Mahkamah konstitusi (MK) berwenang menguji UU terhadap UUD’45 (Judicial Review), berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD’45. Secara jelas mengatur bahwa semua peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU dapat di uji di MK. Karena pada prinsipnya, munculnya gagasan dan berkembangnya praktik pengujian konstitusional bertolak dari kesadaran mengganti supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi.
Dalam format supremasi parlemen, parlemen menggenggam kekuasaan legislatif secara absolut tanpa dapat diganggu gugat oleh lembaga kekuasaan lain. Sementara dalam format supremasi konstitusi, tidak mengenal kekuatan legislasi parlemen yang bersifat absolut tersebut. Meskipun parlemen tetap memiliki kekuasaan untuk membentuk UU, keberlakuan UU yang dibentuk oleh parlemen dapat diuji oleh konstitusi melalui Lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalnya. Artinya muatan UU yang dibentuk oleh parlemen dapat dibatalkan oleh MK jika bertentangan dengan UUD’45.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, jika supremasi parlemen menempatkan parlemen pada kedudukan yang tinggi (supreme), maka supremasi konstitusi menempatkan undang undang dasar/konstitusi pada kedudukan tinggi (supreme). Dalam hal ini Indonesia menganut supremasi konstitusi berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD’45 yang mengatur bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Supremasi konstitusi juga diatur pada pasal 1 ayat (2) UUD’45 yang mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar.
Artinya kedaulatan rakyat dalam negara mesti di jalankan menurut ketentuan UUD’45. Segala pembatasan yang ditentukan dalam konstitusi merupakan paduan bagi berjalannya kekuasaan negara yang didasarkankan kekuasaan tertinggi pada berada pada tangan rakyat. Dalam konteks ini, UUD’45 menganut apa yang disebut dengan konvergensi kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum, di mana kedaulatan hukum digunakan sebagai bingkai dari kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dengan pemaparan argumen di atas menurut hemat penulis demi terjaganya marwah konstitusi, terdapat 3 hal yang harus diperhatikan oleh MK, yang pertama, seharusnya Mahkamah Konstitusi tetap menguji semua UU tanpa ada dalih UU yang di ujian tersebut merupakan open legal policy berdasarkan pasal 1 ayat (3) dan pasal 1 ayat (2) UUD’45.
Yang kedua, Mahkamah Konstitusi tidak boleh menambah norma baru melainkan hanya membatalkan nya. Karena yang memiliki wewenang adalah Presiden & DPR berdasarkan pasal 20 ayat (1) & ayat (2) juncto pasal 5 ayat (1) UUD’45.
Yang ketiga, Mahkamah Konstitusi harus mengawasi semua produk UU yang dibuat parlemen karena parlemen dapat menurunkan norma UUD’45 ke dalam UU berdasarkan asas freies ermessen. Supaya tidak ada kesewenang-wenangan pembentuk UU.
ADVERTISEMENT