Konten dari Pengguna

Kasus Aisha Weddings dan Urgensi Pendidikan Seksual bagi Remaja

A Kurniawan Ulung
Wartawan dan penulis yang menekuni isu-isu pariwisata dan hubungan internasional. Mempelajari Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Jember dan Universitas Gadjah Mada.
21 Februari 2021 21:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Kurniawan Ulung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akun aishaweddings.com yang sempat meresahkan masyarakat beberapa saat lalu karena menyebarkan anjuran perkawinan anak secara virtual menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak di Indonesia tidak hanya semakin rentan menjadi objek seksual, namun juga semakin rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender dalam ranah daring.
ADVERTISEMENT
Menutup akun aishaweddings.com dan melaporkannya ke pihak kepolisian saja tidak cukup. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati perlu membuat terobosan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk memutus rantai perkawinan anak di Indonesia. Meningkatkan kerja sama dengan komunitas muda bisa menjadi salah satu cara untuk menciptakan terobosan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati bermain bersama anak-anak (Foto: Kemenetrian PPPA)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati bermain bersama anak-anak (Foto: Kemenetrian PPPA)
Perkawinan Anak
Perkawinan anak merupakan isu global. Lebih dari 700 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun di dunia tidak lagi mendapatkan hak-haknya secara optimal akibat perkawinan. Bagi anak perempuan, perkawinan menyebabkan pendidikan terputus, mengganggu kesehatan reproduksi, dan meningkatkan risiko kematian ibu.
Dari total angka tersebut, 250 juta di antaranya menikah sebelum berusia 15 tahun, menurut laporan UNICEF. Sebagian besar perkawinan anak terjadi di Asia Selatan dan Afrika.
ADVERTISEMENT
Sekitar 15 juta perkawinan anak terjadi di India, negara di Asia Selatan yang menduduki peringkat pertama dalam daftar 10 negara dengan jumlah perkawinan anak terbanyak di dunia, menurut laporan The Global Girlhood Report 2020. Indonesia berada di posisi ke delapan dalam daftar tersebut. Pada 2018, terdapat sekitar 1,4 juta perkawinan anak di Indonesia.
Sedangkan menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2019, ada sekitar 1,2 juta perkawinan anak perempuan di Indonesia. Angka pada tahun ini mungkin jauh lebih tinggi akibat pandemi global COVID-19.
Selama pandemi, angka perkawinan anak dikhawatirkan meningkat karena dipicu oleh dua faktor, yakni kondisi ekonomi yang memburuk dan kebijakan pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan anak belajar dari rumah.
ADVERTISEMENT
Di tengah kekhawatiran tersebut, akun aishaweddings.com justru menganjurkan perkawinan anak. Akun ini harus diusut tuntas agar akun-akun serupa tidak muncul di kemudian hari.
Ketidakjelasan mengenai identitas penyelenggara aisha weddings sempat membuat beberapa pihak ragu akan kebenaran dari informasi yang disajikan oleh akun aishaweddings.com. Sebagian dari mereka berpendapat, aishaweddings.com sebaiknya diabaikan saja karena ajakan untuk menikah di usia anak di dalam akun tersebut mungkin hanya bertujuan untuk menimbulkan kegaduhan, menyudutkan kelompok agama tertentu, atau mengalihkan isu semata.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi, ketidakjelasan tersebut seharusnya disikapi dengan lebih meningkatkan kewaspadaan karena aisha weddings bisa jadi merupakan pintu masuk untuk melakukan perdagangan manusia atau membuat jebakan kejahatan daring bagi perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Beberapa bentuk kejahatan berbasis gender daring ialah pelecehan, pelanggaran privasi, dan pencemaran nama baik. Pelaku juga memperdaya korban, melakukan perekrutan secara daring, dan menyebarkan konten secara ilegal.
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah perempuan dan anak-anak perempuan menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi secara daring akibat mengakses akun yang terhubung dengan internet.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan, jumlah pengaduan kasus kekerasan berbasis gender daring meningkat dari 281 kasus pada 2019 menjadi 659 kasus pada 2020.
Sedangkan lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia menemukan 40 kasus kekerasan seksual di ranah daring dengan 100 anak yang menjadi korban pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Mabes Polri, tingkat kejahatan di media sosial naik signifikan dalam lima tahun terakhir. Jumlah kejahatan siber melonjak dari 2.609 kasus pada tahun 2015 menjadi 4.585 kasus pada 2019.
Agar jumlah korban tidak semakin bertambah, kekerasan berbasis gender daring harus terus diwaspadai. Rata-rata korban mengalami trauma, stres, dan depresi. Mereka tidak hanya menyalahkan diri sendiri, namun juga menarik diri dari lingkungan sosialnya karena mereka takut dihujat oleh keluarga, teman, dan kerabatnya.

Upaya Bersama

Dari segi regulasi, upaya untuk menghentikan perkawinan anak sudah cukup maksimal.
Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui 19 tahun sebagai batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan. Sebelumnya, menurut UU No 1/1974 tentang Perkawinan, batas usia yang ditetapkan ialah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan regulasi saja tidak cukup karena perkawinan anak masih marak terjadi di Indonesia walaupun batas usia telah dinaikkan.
Dikutip dari Harian Kompas, Dewi Rana, Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan, melaporkan setidaknya 15 perkawinan anak terjadi di kota Palu, Sulawesi Tengah, pada 2020.
Oleh karena itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati perlu meningkatkan kolaborasi dengan aktor non-negara, seperti aktivis, komunitas dan wartawan, dalam meningkatkan literasi masyarakat tentang hak anak dan dampak buruk perkawinan anak bagi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Foto: Kementerian PPPA)
Perkawinan anak disebabkan oleh dua faktor, yakni masih langgengnya berbagai mitos seputar kesehatan seksual dan reproduksi, dan masih adanya persepsi bahwa perkawinan anak merupakan sesuatu yang lumrah. Sebagian masyarakat masih memandang perkawinan anak sebagai solusi untuk menghindari zina.
ADVERTISEMENT
Mereka bahkan menikahkan anak perempuannya pada usia anak untuk mengurangi beban ekonomi keluarga untuk mengalihkan tanggung jawab dalam membesarkan dan memenuhi kebutuhan hidup anak perempuannya ke pihak suami.
Untuk mengubah persepsi tersebut, memberikan pendidikan seksual kepada remaja mungkin dapat menjadi langkah awal. Pemerintah perlu memberikan pendidikan seksual sedini mungkin kepada remaja agar mereka benar-benar paham risiko perkawinan bagi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Pendidikan seksual ini penting agar remaja juga dapat membuat keputusannya sendiri dan memiliki resiliensi tinggi terhadap orang tua yang ingin menikahkan mereka pada usia dini.
Pemerintah pusat juga perlu belajar dari terobosan yang dilakukan oleh Sri Wahyuningsih, guru PPKN di SMPN 1 Tamanan di Bondowoso, Jawa Timur. Di tempat kerjanya, Sri memberikan pendidikan seksual tidak hanya untuk muridnya saja, namun juga untuk orang tua siswa agar mereka paham tentang hak anak dan dampak negatif perkawinan anak.
ADVERTISEMENT
Untuk mengubah tradisi masyarakat yang menoleransi perkawinan anak di Bondowoso, Sri juga melakukan pendekatan personal terhadap tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat.
Sri tidak bergerak sendiri. Ia dan rekan-rekannya di dunia pendidikan membentuk Paguyuban Guru Kesehatan Reproduksi (PGP Kespro).
PGP Kespro secara sukarela memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan risiko perkawinan anak di berbagai sekolah di Bondowoso.
Sadar bahwa pendidikan seksual masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, PGP Kespro membuat film pendek yang berjudul “Angan Yang Sirna” agar informasi mengenai bahaya perkawinan anak bagi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lebih mudah dipahami oleh orang tua, tokoh adat, dan tokoh agama.
Di film tersebut, siswa SMPN 1 Tamanan bermain sebagai aktor utama, sedangkan Sri berperan sebagai aktor pendukung, sutradara, dan penulis skenario. Untuk membuat film pendek ini, ia bekerja sama dengan alumni SMPN 1 Tamanan yang sedang menuntut ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Berkat upayanya dalam memutus rantai perkawinan anak di Bondowoso, Sri mendapatkan penghargaan Saparinah Sadli Award pada tahun 2016.
Selain memberikan pendidikan seksual di bangku sekolah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga perlu meningkatkan kerja sama dengan berbagai komunitas muda seperti Tabu.id yang rutin membuat konten-konten kreatif, edukatif, dan inspiratif tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi remaja.
Akun Instagram Tabu.id (Foto: A Kurniawan Ulung)
Berdiri sejak Februari 2018, Tabu.id merancang, membuat dan menyebarkan berbagai konten untuk membantu remaja mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan seksual dan reproduksi melalui Instagram, Facebook, dan YouTube.
Diikuti oleh lebih dari 100 ribu orang, akun Tabu.id di Instagram telah membuat 1,091 konten yang tidak hanya berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti manfaat alat kontrasepsi, tetapi juga berisi tips yang berguna bagi remaja, seperti cara menghadapi penyebaran konten seksual milik pribadi tanpa persetujuan korban.
ADVERTISEMENT