Konten dari Pengguna

Harmoni Keadilan: Memahami Trias Politika dalam Konteks Fiqh Siyasah

Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16 Juni 2024 9:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber hukum islam foto: https://www.istockphoto.com/
zoom-in-whitePerbesar
sumber hukum islam foto: https://www.istockphoto.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Trias Politika merupakan konsep yang esensinya bahwa kekuasaan negara terbagi menjadi tiga: pertama, kekuasaan legislatif untuk membuat undang-undang (rule making funcation); kedua, kekuasaan eksekutif untuk menjalankan undang-undang (rule application funcation); dan ketiga, kekuasaan yudikatif untuk mengadili pelanggaran undang-undang (rule adjucation funcation). Prinsip ini menekankan bahwa pembagian fungsi kekuasaan ini harus dilakukan secara terpisah agar mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berwenang. Dengan demikian, prinsip Trias Politika bertujuan untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi warga negara.
ADVERTISEMENT
Islam adalah agama yang sangat ensiklopedis dengan mengatur segala sendi kehidupan manusia. Bukan hanya taraf ke individu saja, melainkan dalam konteks bernegara Islam juga mengaturnya secara tandas. Dalam sistem pemerintahan, prinsip ini tercermin ke dalam konsep imamah, yang mana secara eksplisit diatur ke dalam Siyasah Dusturiyah. Siyasah Dusturiyah adalaah mengacu pada peraturan dasar yang mengatur bentuk pemerintah, proses pemilihan kepala negara, batasan kekuasaan, pelaksanaan urusan umat, hak individu sebagai masyarakat, serta hubungan antara masyarakat dengan penguasa.
Konsep imamah menekankan pentingnya pemerintahan yang adil, berkeadilan, dan berlandaskan nilai-nilai Islam. Pemerintahan dalam Islam diharapkan untuk memastikan keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan perlindungan hak-hak individu serta masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, Islam tidak hanya merupakan ajaran spiritual tetapi juga memberikan pedoman konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tatanan sosial yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari perihal di atas, penulis akan berusaha menggali klasifikasi Trias Politika yang telah dirumuskan oleh para sahabat nabi yang mana implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro’ dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro’ (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif.
ilustrasi rak sumber-sumber hukum foto: https://www.istockphoto.com/
1. Kekuasaan Legislatif ( Sulthah Tasyri’iyah)
ADVERTISEMENT
Dalam Fiqh Siyasah, kekuasaan legislatif disebut juga majlis syuro’ ataupun identik dengan nama Sulthah Tasyri’iyah. Kekuasaan ini dalam teori Islam dipandang sebagai kekuasaan tertinggi, karena pusat verifikasi kewenangan dalam membentuk sebuah konstitusi yang berada di teritorial ini. Ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif akan dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.
Dalam konteks ini, kekuasaan legislatif (Sulthah Tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT. dalam syari’at Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi:
a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;
ADVERTISEMENT
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;
c. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syari’at Islam
Jadi, dengan kata lain, dalam majelis syura pemerintah melakukan tugas siyasah syar’iyahnya untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam.
2. Kekuasaan Eksekutif (Sulthah Tanfidziah)
Kekuasaan eksekutif dalam Islam disebut Sulthah Tanfidziyah, yang bertugas untuk menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Sulthah Tasyri’iyyah. Dalam konteks ini, negara memiliki wewenang untuk menguraikan dan mengaktualisasikan peraturan-peraturan yang telah dirumuskan. Hal ini mencakup kebijakan dalam negeri serta dalam hubungan antar wilayah (hubungan internasional).
Pemegang kekuasaan eksekutif adalah pemerintah atau kepala negara, didukung oleh para pembantunya seperti kabinet atau dewan menteri yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang berbeda antara negara-negara Islam. Seperti halnya kebijakan legislasi yang harus konsisten dengan nilai-nilai ajaran Islam, kebijakan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan kemaslahatan yang terkandung dalam nash serta kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala negara mencakup semua tugas umum yang berkaitan dengan aspek keagamaan dan sosial, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan sunnah Rasulullah. Tugas-tugas tersebut antara lain mempertahankan agama, menjunjung tinggi keadilan dengan menyelesaikan perselisihan antara pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, serta mencegah terjadinya kerusuhan. Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikkan totalitas syari’ah di dalam umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan. Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu.
3. Kekuasaan Yudikatif (Sulthah Qadha’iyyah)
Dalam kamus ilmu politik, yudikatif merujuk pada kekuasaan yang terkait dengan tugas dan wewenang peradilan. Dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini sering disebut sebagai Sulthah Qadhaiyyah. Tugas lembaga yudikatif adalah menyelesaikan perselisihan yang diajukan kepada mereka oleh pihak yang berselisih dan menerapkan hukum kepada mereka untuk memastikan keadilan di dunia ini serta menegakkan kebenaran di antara pihak yang meminta peradilan. Kekuasaan kehakiman penting untuk menyelesaikan kasus-kasus pertikaian dan konflik, termasuk tindak pidana dan pelanggaran, serta melindungi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada awal pemerintahan Islam, fungsi kekuasaan peradilan dijalankan langsung oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan serta sebagai pemimpin umat. Seiring dengan berkembangnya Islam dan perluasan kekuasaannya, Rasulullah mulai menunjuk sahabat-sahabatnya untuk memegang peran dalam sistem peradilan di berbagai wilayah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi kemajuan signifikan dalam sistem peradilan. Khalifah Umar memisahkan kekuasaan peradilan (yudikatif) dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Beliau juga membatasi wewenang mereka untuk menangani kasus-kasus perdata, sementara kasus-kasus pidana diurus oleh khalifah sendiri atau oleh penguasa daerah. Para khalifah secara terus-menerus mengawasi tindakan para penguasa daerah dan hakim, serta memberikan petunjuk dan bimbingan secara berkelanjutan.
Ilustrasi puzzle yang bernafas keadilan foto: https://pixabay.com/
Trias Politika dalam Islam memiliki kesamaan dengan konsep modern, dengan pembagian kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini terlihat dalam konsep imamah dan Siyasah Dusturiyah pada masa Khulafaur Rasyidin. Pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mewujudkan pemerintahan yang adil dan berlandaskan syariat Islam yang bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh satu pihak dan untuk memastikan keadilan bagi seluruh rakyat.
ADVERTISEMENT
Prinsip Trias Politika dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan konsep Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu. Namun, terdapat beberapa perbedaan penting, yaitu:
a. Dasar pemikiran: Trias Politika Islam didasarkan pada syariat Islam, sedangkan Trias Politika Montesquieu didasarkan pada pemikiran rasional dan sekuler.
b. Tujuan: Trias Politika Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat, sedangkan Trias Politika Montesquieu bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi hak-hak individu.
c. Penerapan: Trias Politika Islam telah diterapkan pada masa Khulafaur Rasyidin, sedangkan Trias Politika Montesquieu baru diterapkan di negara-negara modern.
Meskipun terdapat perbedaan, Trias Politika baik dalam Islam maupun dalam pemikiran modern memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan akuntabel.
ADVERTISEMENT