Konten dari Pengguna

Menyatukan Pilar Kehidupan Lahiriah dan Batiniah Menuju Kebenaran yang Hakiki

Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Januari 2025 14:10 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hukum tanpa tasawuf bisa kering dan padam https://pixabay.com/id/photos/bulb-lampu-ide-listrik-energi-5258341/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hukum tanpa tasawuf bisa kering dan padam https://pixabay.com/id/photos/bulb-lampu-ide-listrik-energi-5258341/
ADVERTISEMENT
Hukum dan tasawuf merupakan dua pilar fundamental dalam struktur kehidupan manusia yang seringkali dianggap sebagai dua jalur berbeda. Padahal, pada hakikatnya keduanya saling melengkapi dan membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pernyataan Imam Ibnu Malik menggambarkan dengan jelas tentang relasi antara kedua dimensi ini:
ADVERTISEMENT
من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن جمع بينهما فقد تحقق
Barang siapa berfikih tetapi tidak bertasawuf maka ia akan fasiq, dan barang siapa bertasawuf tetapi tidak berfikih maka ia akan zindiq, dan barang siapa menggabungkan keduanya maka ia akan mencapai kebenaran esensisal”.
Pernyataan beliau ini bukan sekadar sebuah retorika spiritual yang mengandung nilai moral atau estetika, tetapi lebih merupakan refleksi mendalam terhadap realitas ketidakseimbangan yang kerap muncul dalam praktik keagamaan. Ketika seseorang hanya berfokus pada salah satu dimensi ini, mereka cenderung kehilangan arah dan substansi. Fikih tanpa tasawuf berisiko menjadi kering dan mekanistik, sekadar memenuhi kewajiban formal tanpa kedalaman spiritual. Sebaliknya, tasawuf yang terlepas dari fikih bisa menyesatkan, karena tidak memiliki pijakan yang jelas dalam hukum-hukum syariat yang telah ditetapkan. Ungkapan beliau diatas juga mengindikasikan gambaran suatu prinsip penting dalam kehidupan beragama bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai ketika seseorang mampu menyelaraskan keduanya, menggabungkan pemahaman hukum dengan penyucian jiwa. Integrasi antara fikih dan tasawuf bukan hanya sekadar teori, tetapi sebuah keharusan dalam membentuk pribadi yang utuh, yang tidak hanya taat pada aturan agama tetapi juga memiliki kedalaman batin dan kedalaman spiritualitas.
ADVERTISEMENT
Hukum sebagai kompas kehidupan bertindak sebagai panduan yang memastikan manusia tetap berjalan pada garis yang lurus, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Hukum bertindak sebagai fondasi yang menjaga stabilitas dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat serta memastikan setiap individu memahami hak dan kewajibannya di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Namun, hukum yang kering dari sentuhan tasawuf berpotensi melahirkan manusia yang hanya menjalankan agama sebatas formalitas.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa hukum menjaga dimensi lahiriah agama, sedangkan tasawuf menjaga dimensi batiniah. Dua dimensi ini, menurut beliau, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan jika seseorang ingin mencapai kesempurnaan dalam beragama. Sebaliknya, praktik tasawuf yang tercerabut dari akar hukum syariat akan berujung pada penyimpangan. Sejarah mencatat berbagai kasus di mana ajaran tasawuf disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mengklaim diri mereka sebagai penganut spiritualitas tinggi, namun justru bertindak melawan norma-norma syariat yang telah jelas dan tegas. Dalam kasus seperti ini, ajaran tasawuf yang seharusnya menjadi the journey to inner purification and closeness to Allah justru terdistorsi menjadi praktik yang justru memperburuk moralitas dan menyimpang dari jalan yang benar. Oleh karena itu, tasawuf yang otentik adalah tasawuf yang berjalan beriringan dengan hukum syariat. Keduanya, dalam integrasi yang tepat, membentuk suatu kesatuan yang menjembatani antara dimensi lahiriah dan batiniah, sehingga mengarahkan manusia pada pemahaman tentang esensi ketuhanan dan kehidupan yang sesuai dengan tujuan akhir keberadaan manusia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Imam Al-Syafi'i juga turut menekankan pentingnya ilmu dalam memahami kedua aspek ini. Beliau berkata:
من أراد الدنيا فعليه بالعلم، ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم، ومن أرادها معًا فعليه بالعلم
Barang siapa menginginkan dunia maka hendaklah ia menuntut ilmu, barang siapa menginginkan akhirat maka hendaklah ia menuntut ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka hendaklah ia menuntut ilmu”. Ilmu yang dimaksud di sini mencakup ilmu syariat (hukum) dan ilmu tasawuf (penyucian jiwa). Keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan kedua ilmu tersebut adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan bermakna.
Dalam praktiknya, Imam Malik memberikan contoh konkret tentang bagaimana hukum dan tasawuf dapat berjalan beriringan. Dalam kitab Muwatta' Imam Malik mencatat bahwa praktik ibadah yang benar harus dilandasi oleh ilmu yang sahih dan niat yang ikhlas. Di sini terlihat jelas bahwa tasawuf hadir sebagai ruh dari pelaksanaan hukum, memastikan bahwa segala perintah dan larangan yang diikuti tidak sekadar menjadi ritual kosong tanpa makna.
ADVERTISEMENT
Niat yang ikhlas dan ilmu yang benar akan memastikan bahwa pelaksanaan hukum agama bukan sekadar ritual yang kosong, tetapi sebuah bentuk pengabdian yang penuh kesadaran dan penghayatan. Inilah yang membedakan antara ritual formalitas dan ibadah yang sesungguhnya membawa perubahan dalam jiwa dan tindakan seseorang. Tasawuf, dengan pendekatannya yang menekankan pada purifikasi hati dan penyucian diri, menjadikan seseorang mampu memahami hukum bukan hanya sebagai aturan yang perlu dipatuhi, tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ilustrasi: ketika sudah menggabungkan konsep keduanya. https://pixabay.com/id/photos/bulb-lampu-ide-listrik-energi-5258341/
Keterkaitan antara tasawuf dan fiqh ini memberi pemahaman yang lebih holistik bahwa agama bukan sekadar hukum yang harus diterima secara tekstual dan mekanistik, tetapi juga sebagai jalan untuk mencapai kedekatan dengan Allah melalui pembersihan hati dan niat yang tulus. Sebab, tanpa tasawuf yang murni, hukum bisa saja menjadi rutinitas tanpa makna, sementara tasawuf tanpa dasar hukum dapat terjerumus dalam kesesatan spiritual. Oleh karena itu, kombinasi keduanya, sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Malik, merupakan sintesis yang diperlukan untuk mencapai kehidupan spiritual yang sesungguhnya—di mana hukum berjalan seiring dengan ketulusan hati.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga senada diungkapkan oleh Imam Al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh besar dalam dunia tasawuf. Beliau berkata:
التصوف هو الخُلُق، فمن زاد عليك في الخُلُق زاد عليك في التصوف
Tasawuf adalah akhlak, barang siapa yang lebih baik akhlaknya darimu, maka lebih baik pula tasawufnya”. Dalam pandangan beliau ini, tasawuf tidak hanya terbatas pada praktik ibadah individual yang mengarah pada pencapaian kesucian pribadi, tetapi juga harus tercermin dalam akhlak dan perilaku sosial seseorang. Hal ini memberikan penekanan yang kuat bahwa tasawuf sejati bukanlah tentang pencapaian spiritual yang terputus dari kehidupan sosial, melainkan harus dapat mengarahkan individu untuk berperilaku mulia dan berinteraksi dengan sesama dengan penuh kasih sayang, kejujuran, dan kebaikan.
Dalam perspektif filsafat hukum Islam, baik Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha mengemukakan pandangan yang menarik terkait hubungan antara hukum dan tasawuf. Mereka menekankan bahwa hukum Islam (syaria of law) dan tasawuf (mysticism) tidak seharusnya dipandang sebagai dua entitas yang saling terpisah, melainkan sebagai dua aspek yang saling melengkapi dalam menjalankan kehidupan seorang Muslim.
ADVERTISEMENT
Abduh dan Ridha, dengan perspektif modernis mereka, meyakini bahwa hukum Islam berfungsi sebagai panduan normatif yang mengatur segala aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Hukum memberikan batasan dan struktur yang jelas dalam menjalani kehidupan, membimbing umat untuk berbuat sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Sebagai contoh, dalam aspek ibadah, hukum memberikan ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara salat, zakat, puasa, dan haji. Dalam aspek muamalah, hukum mengatur transaksi ekonomi, hubungan sosial, dan interaksi antar individu.
Namun, mereka juga mengakui bahwa hukum tanpa dimensi spiritual yang terkandung dalam tasawuf bisa menjadi kering dan kehilangan esensi moralitasnya. Tasawuf, dalam pandangan mereka, berfungsi untuk memberi ruh dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Ia menanamkan kesadaran tentang dimensi ketulusan (ikhlas) dan niat yang benar dalam beribadah dan bermuamalah. Di sini, tasawuf berperan sebagai penerang yang memberi cahaya pada jalan yang telah ditetapkan oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Jika dianalogikan, hukum adalah peta yang memberikan arah, batasan, dan panduan dalam kehidupan umat, sementara tasawuf adalah cahaya yang memberi penerangan bagi setiap langkah dalam menapaki peta tersebut. Peta tanpa cahaya bisa jadi membingungkan dan gelap, sedangkan cahaya tanpa peta bisa mengarah pada perjalanan yang salah atau bahkan tersesat.
Dengan demikian, hukum dan tasawuf bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan dua elemen yang saling melengkapi. Hukum memberikan struktur dan batasan, sementara tasawuf memberikan kedalaman makna dan kesadaran spiritual. Ketika keduanya berjalan beriringan, seseorang akan mampu mencapai kesempurnaan dalam beragama serta menjalani kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Malik, keseimbangan antara hukum dan tasawuf adalah kunci untuk mencapai kebenaran hakiki dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
ADVERTISEMENT
waallahu 'alam bishawwab
referense:
Kajian Kitab Hikam Syarh Asyarnubee oleh Dr. KH. Akhmad Sodiq (2024)
Fasya, A. (2022). Konsep Tasawuf Menurut Imam Al-Ghazali. Jousip Journal of Sufism and Psychotherapy, 2(2), 153-166. https://doi.org/10.28918/jousip.v2i2.6723
Mujib, L. and Helmy, M. (2020). Relasi hukum islam dan tasawuf dalam pemikiran ibn taimiyah. Dialogia, 18(2), 227-251. https://doi.org/10.21154/dialogia.v18i2.2173
Nur, F. (2022). Kontroversi Antara Ulama syariát dengan Ulama Tasawuf. Abrahamic Religions Jurnal Studi Agama-Agama, 2(2), 140. https://doi.org/10.22373/arj.v2i2.13403
Rajab, H. (2021). Epistemologi Tasawuf sebagai Nilai Utama Pembinaan Akhlak. Tawshiyah Jurnal Sosial Keagaman Dan Pendidikan Islam, 15(2), 20-35. https://doi.org/10.32923/taw.v14i2.1628