Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Merengkuh Kembali Kejayaan Maritim Nusantara
14 Januari 2025 13:48 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang sepanjang khatulistiwa, memiliki status sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Letaknya yang strategis di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan Indonesia bukan hanya sebuah kawasan transit, melainkan juga potensi besar sebagai pusat kemaritiman dunia. Namun, potensi besar ini sering kali terhambat oleh serangkaian isu struktural, regulasi yang lemah, hingga masalah ekosistem yang terdegradasi. Negara lain seperti Singapura, Norwegia, dan Jepang telah menunjukkan keberhasilan dalam memanfaatkan sektor maritim mereka untuk kemajuan ekonomi. Keberhasilan negara-negara tersebut menjadi bahan refleksi bagi Indonesia khususnya, untuk mengevaluasi kebijakan dan infrastruktur maritim yang ada, guna menghindari potensi besar yang terabaikan.
ADVERTISEMENT
Sejarah kemaritiman Indonesia mencatat dua fase kontras: kejayaan dan kemunduran. Kejayaan maritim Indonesia dimulai dengan Sriwijaya (Abad ke-7 hingga ke-14), yang menguasai Selat Malaka dan membangun jaringan perdagangan global dengan negara-negara seperti Cina dan India, didukung oleh angkatan laut yang kuat. Begitu pula Majapahit (Abad ke-14 hingga ke-16) muncul sebagai kerajaan maritim dominan, mengendalikan sebagian besar jalur perdagangan Asia dan menjalin kerjasama regional yang strategis di bawah kepemimpinan Gajah Mada, meluaskan pengaruhnya ke kawasan Nusantara pusat perdagangan utama. Namun, kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 mulai mengubah kompas perdagangan lokal secara drastis. VOC memutuskan rantai perdagangan tradisional dan menerapkan kontrol sentralistik dibawah kontrol asing atas sumber daya alam, termasuk hasil laut dan rempah-rempah. Perjanjian Giyanti 1755 menandai hilangnya kekuasaan lokal dalam pengelolaan perdagangan, mengakibatkan penurunan semangat bahari dan melemahnya kekuatan maritim Indonesia. Situasi ini berbeda dengan Jepang, yang pada era Meiji berhasil merevitalisasi sektor maritimnya melalui modernisasi teknologi dan kebijakan proteksionis tanpa kehilangan kedaulatannya.
ADVERTISEMENT
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, upaya untuk mengembalikan kejayaan maritim dihadapkan pada tantangan internal dan eksternal. Meskipun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 memberikan legitimasi bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan hak atas wilayah laut tertentu, implementasinya sering kali terhambat oleh regulasi domestik yang tidak jelas. Misalnya, lemahnya koordinasi antara kementerian terkait menyebabkan terjadinya tumpang tindih kebijakan, seperti dalam pengelolaan alur laut kepulauan. Hal ini kontras dengan keberhasilan Norwegia, yang sukses memanfaatkan hukum laut internasional untuk mengelola sektor perikanannya secara berkelanjutan melalui Norwegian Fisheries Management Act, mengatur bagaimana pengelolaan sumber daya perikanan dengan fokus pada keberlanjutan, konservasi, dan pendekatan berbasis ekosistem. Melalui kuota penangkapan ikan yang ditetapkan berdasarkan rekomendasi International Council for the Exploration of the Sea (ICES) dan proses negosiasi antarnegara, undang-undang ini memastikan pengelolaan yang adil dan ilmiah. Keterlibatan pemangku kepentingan, termasuk nelayan, industri, dan organisasi lingkungan, memastikan kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan berbagai kepentingan. Regulasi teknis yang diterapkan mengatur cara penangkapan ikan dan distribusi kuota, menjadikan undang-undang ini sebagai model pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan efektif.
Namun, Indonesia masih terjebak krisis multidimensi dalam sektor kemaritiman yang mencakup pencemaran laut, degradasi ekosistem pesisir, dan eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan. Pencemaran laut akibat limbah plastik telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu kontributor terbesar sampah laut di dunia, mencerminkan lemahnya kesadaran ekologis dan kebijakan lingkungan yang kurang tegas. Berbeda dengan Jepang, yang melalui teknologi canggih dan regulasi daur ulang yang ketat berhasil menekan dampak pencemaran laut secara signifikan, Indonesia masih bergulat dengan upaya mitigasi yang minim dan kurang terintegrasi. Eksploitasi sumber daya laut sering dilakukan secara ilegal oleh kapal asing, yang tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah setiap tahun. Kontras dengan itu, Singapura, meski tanpa kekayaan sumber daya laut yang signifikan, mampu memanfaatkan lokasinya secara strategis dengan membangun pelabuhan transshipment kelas dunia seperti Port of Singapore dan Tuas Megaport. Keberhasilan Singapura menunjukkan bahwa efisiensi, teknologi, dan visi strategis jauh lebih menentukan dalam membangun kekuatan maritim dibanding sekadar potensi geografis yang dibiarkan tanpa arah. Bagi Indonesia, transformasi paradigmatik dalam tata kelola maritim menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Kebijakan Asas Cabotage yang diterapkan di Indonesia sejak 2005 memang memiliki tujuan yang mulia, yakni untuk melindungi dan mengembangkan industri pelayaran domestik. Namun, kenyataannya, kebijakan ini kerap mendapatkan kritik tajam karena berkontribusi pada peningkatan biaya logistik yang signifikan dan mengurangi aksesibilitas transportasi ke wilayah-wilayah terpencil, yang justru memperburuk ketimpangan pembangunan antar daerah. Sebagai perbandingan, Norwegia berhasil mengintegrasikan kebijakan maritimnya dengan memberikan insentif fiskal kepada perusahaan pelayaran lokal, yang tidak hanya meningkatkan daya saing industri, tetapi juga mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat. Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan literasi maritim, di mana pendidikan kemaritiman belum menjadi fokus utama dalam kurikulum nasional, berbeda dengan Jepang yang telah menanamkan pemahaman kelautan sejak usia dini melalui program pendidikan formal dan informal, sehingga menciptakan generasi yang lebih sadar dan siap menghadapi tantangan kemaritiman global.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan pembangunan infrastruktur maritim yang terpusat di Jawa dan minimnya fasilitas di wilayah timur juga mencerminkan bias struktural yang nyata, menghambat perdagangan, distribusi barang, dan mereduksi potensi maritim sebagai pilar ekonomi nasional. Infrastruktur pelabuhan yang tidak memadai, seperti ketiadaan alat navigasi modern dan perlengkapan bongkar muat, tidak hanya meningkatkan biaya operasional tetapi juga merusak kepercayaan investor. Ketimpangan ini diperparah oleh ketidakpastian regulasi, lemahnya keamanan laut, dan absennya keberpihakan strategis pada potensi maritim di wilayah timur. Paradigma pembangunan yang hanya terkonsentrasi di barat harus segera ditinggalkan, digantikan dengan pendekatan yang inklusif, terintegrasi, dan berorientasi pada daya saing global.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia perlu menerapkan pendekatan multi-aspek yang mencakup dimensi hukum, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam aspek hukum, penguatan regulasi domestik yang sejalan dengan UNCLOS harus menjadi prioritas, termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap pencurian ikan dan pencemaran laut. Dalam aspek ekonomi, pengembangan ekowisata berbasis maritim dapat menjadi solusi yang berkelanjutan. Model ini telah berhasil diterapkan di Norwegia melalui pengelolaan pariwisata berbasis komunitas yang melibatkan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Pada aspek sosial, literasi maritim harus ditingkatkan melalui pendidikan dan kampanye kesadaran publik. Pemerintah dapat bermitra dengan sektor swasta untuk mendanai program-program edukasi yang menanamkan nilai keberlanjutan sejak dini. Dalam aspek lingkungan, penerapan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi pencemaran laut harus menjadi prioritas. Jepang telah menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi hijau tidak hanya melestarikan lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru.
Sebagai kesimpulan, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat kemaritiman dunia. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika ada sinergi antara kebijakan yang tepat, penegakan hukum yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat. Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan dalam sektor maritim memerlukan visi jangka panjang yang didukung oleh kebijakan inklusif dan investasi berkelanjutan. Dengan langkah-langkah yang sistematis dan terintegrasi, Indonesia dapat merengkuh kejayaannya kembali sebagai negara maritim yang berpengaruh di seantero dunia.
ADVERTISEMENT
referense:
Afpriyanto, A. (2023). Critical Role of Maritime Infrastructure in Indonesian Defense Logistics Management Towards The World Maritime Axis. International Journal of Humanities Education and Social Sciences (Ijhess), 3(3). https://doi.org/10.55227/ijhess.v3i3.657
Nurhayati, E., Widodo, W., Said, B., Widodo, P., & Saragih, H. (2023). Analysis of Indonesia's Maritime Security Strategy and Policy as The World Maritime Axis. Jetish Journal of Education Technology Information Social Sciences and Health, 2(1), 180-185. https://doi.org/10.57235/jetish.v2i1.352
Putri, B. (2023). Approaches in the indonesian maritime identity construction. Journal of Global Strategic Studies, 3(2), 84-103. https://doi.org/10.36859/jgss.v3i2.1795
Saha, P. (2016). Indonesia's Potential as a Maritime Power. Maritime Affairs Journal of the National Maritime Foundation of India, 12(2), 28-41. https://doi.org/10.1080/09733159.2016.1232951
Saragih, H., Siregar, R., & Putera, E. (2018). Indonesian National Power to Achieve The Global Maritime Fulcrum.. https://doi.org/10.2991/amca-18.2018.14
ADVERTISEMENT
Sebastian, L. and Chen, J. (2021). Indonesia’s Foreign and Maritime Policies Under Joko Widodo: Domestic and External Determinants. Journal of Asian Security and International Affairs, 8(3), 287-303. https://doi.org/10.1177/23477970211039639
Simatupang, H. (2023). Progress and Prospects: President Jokowi’s Maritime Diplomacy and Global Maritime Fulcrum. Jurnal Dinamika Global, 8(2), 174-191. https://doi.org/10.36859/jdg.v8i2.1888
Yamin, M. (2015). Poros Maritim Indonesia Sebagai Upaya Membangun Kembali Kejayaan Nusantara. Insignia Journal of International Relations, 2(02), 67. https://doi.org/10.20884/1.ins.2015.2.02.458