Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pengelola Tambang atau Penjaga Integritas?
5 Februari 2025 11:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) memang mencuatkan beragam opini yang mendalam, baik dari kalangan pengamat, akademisi, maupun praktisi industri pertambangan. Pembahasan mengenai revisi ini dinilai tidak mendesak dan lebih menyoroti aspek pembagian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada kelompok yang lebih luas, seperti UMKM, ormas, perguruan tinggi, dan koperasi. Sebuah pandangan yang meragukan urgensi dan prinsip dasar pengelolaan tambang yang ideal. Dalam perspektif ini, revisi tersebut lebih berorientasi pada ekspansi distribusi izin usaha tanpa mempertimbangkan aspek kompetensi dan kapasitas yang dibutuhkan dalam mengelola sektor pertambangan.
ADVERTISEMENT
Pasal-pasal dalam revisi ini, yang memberikan IUP kepada perguruan tinggi dan ormas, dapat dipandang sebagai langkah yang kurang matang. Perguruan tinggi, yang memiliki fungsi utama dalam dunia pendidikan dan penelitian, bukanlah lembaga yang dirancang untuk mengelola sumber daya alam yang kompleks, seperti pertambangan. Menambah beban tugas dengan menargetkan perguruan tinggi sebagai pengelola tambang justru akan mengalihkan fokus mereka dari pencapaian tujuan akademik. Pemberian izin ini berpotensi mengaburkan prinsip-prinsip etis yang selama ini dijaga oleh dunia pendidikan tinggi, serta membuka potensi terjadinya konflik kepentingan yang merugikan masyarakat, lingkungan, dan masa depan institusi pendidikan itu sendiri.
Lebih jauh lagi, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dan industri, pengelolaan pertambangan yang melibatkan kelompok non-industri, seperti ormas atau kampus, tidak menjamin pencapaian hasil yang optimal. Pertambangan adalah industri yang membutuhkan keahlian teknis yang mendalam, modal yang sangat besar, serta sistem pengelolaan yang ketat agar dapat menghindari dampak negatif terhadap lingkungan. Sumber daya alam yang dikelola sembarangan berpotensi menyebabkan kerusakan ekologis yang tak terukur, sebuah risiko yang bahkan sulit diatasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah berpengalaman sekalipun. Apalagi jika yang mengelola adalah pihak yang tidak memiliki latar belakang dalam industri ekstraktif. Ini adalah sebuah langkah mundur dalam upaya meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam yang selama ini menjadi sorotan berbagai kalangan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, hal ini memunculkan keprihatinan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam sistem perizinan yang baru. Prioritas pemberian IUP kepada kelompok-kelompok tertentu tanpa melalui mekanisme yang jelas dan terbuka dapat memperburuk potensi korupsi serta ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam. Tata kelola yang buruk dan kurangnya keterbukaan dalam proses pemberian izin hanya akan memperburuk kualitas pengelolaan sumber daya alam yang sesungguhnya harus menjadi aset negara dan dikelola untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan sekelompok orang atau golongan.
Pandangan skeptis tidak hanya datang dari mereka yang terlibat langsung dalam industri pertambangan, tetapi juga dari kalangan akademisi. Pemberian izin kepada perguruan tinggi—meskipun bertujuan untuk mendukung riset atau kegiatan akademik—secara jelas mencederai misi pendidikan itu sendiri. Universitas bukanlah entitas yang dirancang untuk menjalankan bisnis pertambangan. Keputusan untuk melibatkan kampus dalam pengelolaan tambang mengandung konflik kepentingan yang serius. Dalam dunia akademik, prinsip utama seharusnya adalah pencarian ilmu dan pengembangan pengetahuan, bukan mencari keuntungan semata. Dengan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk terlibat dalam bisnis tambang, tentu tidak hanya mencederai idealisme pendidikan, tetapi juga membuka pintu bagi manipulasi kepentingan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, mengalihkan perhatian perguruan tinggi dari dunia pendidikan dan penelitian ke industri ekstraktif juga berpotensi menambah beban finansial yang tidak sebanding dengan pendapatan yang akan diperoleh. Banyak perguruan tinggi yang saat ini menghadapi kesulitan finansial yang cukup serius. Peningkatan biaya pendidikan, seperti yang terlihat dalam kenaikan uang kuliah tunggal (UKT), mencerminkan ketidakmampuan kampus untuk mengelola keuangan mereka dengan baik. Memaksa kampus untuk terlibat dalam industri pertambangan, yang membutuhkan investasi besar dan jangka panjang, justru akan memperburuk kondisi keuangan mereka, bukan memperbaikinya.
Bahkan jika potensi riset dalam pertambangan dijadikan alasan, hal ini tetap tidak cukup untuk membenarkan pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi. Sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola industri pertambangan sangatlah besar, baik dari segi modal, tenaga ahli, maupun teknologi yang diperlukan. Perguruan tinggi yang seharusnya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini akan dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan akademis dan ekonomi. Tidak jarang, dalam situasi seperti ini, keputusan yang diambil lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek daripada tujuan jangka panjang yang lebih mulia.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Minerba ini juga menimbulkan pertanyaan seputar prinsip keadilan dalam distribusi IUP. Mengapa izin tambang diberikan secara prioritas kepada kelompok-kelompok tertentu, seperti ormas atau kampus, tanpa mekanisme yang transparan? Hal ini membuka peluang bagi terjadinya nepotisme dan kolusi, yang jelas bertentangan dengan prinsip persaingan yang sehat dalam dunia usaha. Jika semua IUP diberikan berdasarkan prioritas tertentu, kita akan kehilangan esensi dari tata kelola sumber daya alam yang adil dan merata. Ini bukan hanya tentang membagi-bagi izin, tetapi tentang mengelola kekayaan alam secara bijaksana dan berkelanjutan. Jika berpikir lebih jauh, akan sampai pada kesimpulan bahwa tata kelola pertambangan harus melibatkan semua pihak dengan kapasitas yang memadai dan dengan prinsip keterbukaan serta transparansi yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada hal tersebut, revisi ini terkesan lebih seperti upaya para elit politik untuk mengeksploitasi kekayaan alam secara berjamaah dan legal. Sejumlah pengamat mencurigai bahwa DPR dan pemerintah tengah berusaha mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah utama dengan memberikan izin tambang kepada golongan-golongan tertentu yang memiliki kekuatan politik atau finansial. Di sini, kita menyaksikan konflik kepentingan yang terstruktur dan terselubung, di mana keuntungan pribadi lebih diprioritaskan daripada kepentingan negara dan masyarakat.
Hemat saya, revisi UU Minerba yang tengah digulirkan ini jelas tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dan kepentingan publik. Keterlibatan pihak-pihak non-industri dalam pengelolaan tambang tanpa memperhatikan kompetensi yang dibutuhkan hanya akan membawa kerugian jangka panjang. Sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya alam, seharusnya memperkuat tata kelola yang baik dalam industri ekstraktif, bukan menciptakan celah bagi mereka yang hanya mencari keuntungan jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Live Update