Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Patah Hati di Semarang
17 November 2021 16:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alfaddillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Segala-galanya spontan: Malam pesan tiket kereta, besok pagi berangkat. Hanya bawa baju seadanya, cuma pegang uang secukupnya.
ADVERTISEMENT
Tindakan saya adalah tindakan khas orang patah hati: Nekat. Ini karena kandasnya kisah cinta hanya gara-gara saya Padang dan dia Jawa.
24 Desember 2020. Saya pertama kali menjejakkan kaki di Semarang. Begitu keluar dari Stasiun Tawang, saya disambut dengan tamparan panasnya kota ini.
Kenapa harus ke Semarang? Bukankah bila dibandingkan kota-kota lain (misalnya Bandung atau Jogja), Semarang kurang banyak destinasi wisatanya?
Saya memilih Semarang justru karena sedikit destinasi wisatanya. Saya mau bersedih-sedih, bukan mau berwisata haha-hihi.
Saya menghindari kota-kota favorit saya seperti Jogja. Kenapa? Saya khawatir bila nanti benar-benar berwisata ke Jogja, yang terjadi malah saya terkenang pengalaman buruk patah hati.
Semarang telah saya pilih sebagai tempat untuk membuang patahan hati ini.
ADVERTISEMENT
*
Dari stasiun, saya naik taksi online menuju hotel. Saya cukup kaget waktu saya melihat kuil-kuil berjejer di sana:
Ternyata, hotel yang saya pesan berada di daerah Pecinan yang sudah turun-temurun menjadi permukiman warga Tionghoa. Waktu memilih hotel, saya memang tidak berpikir panjang: Asal saja yang penting cepat. Lantaran sudah telanjur, saya mesti mulai terbiasa dengan bau dupa sepanjang jalan.
Malam tiba, begitu pula dengan niatan "wisata patah hati" ini. Saya bertolak menuju Masjid Agung Semarang:
Saya merenung, berdoa, hingga menyelesaikan bacaan surat Al-Kahfi. Sepanjang malam saya berada di dalam rumah Allah itu, dan selama itu air mata saya tumpah.
Saya baru keluar masjid dan pulang ke hotel saat pagi tiba. Sebelum siang, saya mengisi waktu dengan jogging dan sarapan lumpia (lunpia).
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya lumpia Semarang sungguhan? Intinya, enak! Manis dan asinnya pas, wangi rebungnya sungguh menggiurkan. Di Jakarta—kampung saya—enggak ada lumpia yang senikmat itu.
Adalah Lawang Sewu yang saya datangi pada siang itu. Bangunan bersejarah yang berdiri sejak 1904 itu saya kenali sebagai tempat uji nyali karena konon horor. Siapa sangka di situ saya menguji hati.
Tepat di balkon, ketika pertunjukan keroncong berlangsung, air mata saya mulai menetes. Entah apa hubungannya dengan lantunan musik dari para seniman keroncong itu, saya tiba-tiba teringat kembali dia dan hubungan kami yang jadi sia-sia.
Lawang Sewu bukan satu-satunya bangunan tua. Di kawasan Kota Lama, ada Gereja Blenduk, Gedung Spiegel, Kantor Pos Besar, hingga Pasar Barang Antik yang sama-sama bersejarah.
ADVERTISEMENT
***
Wisata patah hati saya di Semarang berlangsung hingga empat hari. Dengan segala kekurangannya, Semarang telah menerima saya dengan keramahannya.
Walau pedih di hati ini tidak benar-benar hilang, setidaknya saya tahu di mana saya simpan patahan hati saya itu.
Terima kasih, Semarang, saya harap kita tidak bertemu lagi.