Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pelecehan Verbal di Balik Lelucon di Dunia Kerja
2 Oktober 2024 14:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Alfaddillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan ruang kerja yang sibuk. Tawa renyah terdengar di sudut-sudut, bercampur dengan deru keyboard dan obrolan ringan antar rekan kerja. Sekilas, semuanya tampak wajar—santai, cair, penuh keakraban. Namun, di balik tawa itu, ada yang terluka. Bukan karena lelucon yang terlempar benar-benar lucu, tapi karena candaan itu menyimpan racun: pelecehan verbal berbau seksis yang terselip halus di balik kalimat-kalimat berbungkus gurauan.
ADVERTISEMENT
Pelecehan verbal, terutama yang berbalut seksisme, seringkali muncul tanpa aba-aba. Kata-kata seperti mendeskripsikan bentuk lekuk tubuh seseorang atau mempertanyakan persoalan intim rumah tangga yang tak perlu dibahas di lingkungan kerja. Ini adalah bentuk pelecehan yang sering terabaikan karena disamarkan dengan tawa. Lelucon seperti ini, terutama yang beraroma seksis, menempatkan korban dalam posisi yang tidak nyaman dan sering kali bingung apakah mereka harus menanggapi atau diam.
Lebih parahnya, saat beberapa korban berani angkat suara, keberanian itu dibalas dengan intimidasi. Mereka dilabeli “terlalu sensitif,” dianggap “tidak bisa diajak bercanda,” atau menormalisasi karakter pelaku "dia sih emang gitu" seolah-olah persoalan sesederhana itu. Pelecehan yang dicemoohkan sebagai keluhan berlebihan ini justru membungkam mereka yang mencoba melawan, memaksa mereka kembali terperangkap dalam diam yang menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Padahal, pelecehan verbal bukan hal sepele. Sebuah penelitian dari International Journal of Business Communication pada 2020 menemukan bahwa 61 persen pekerja yang menjadi korban pelecehan verbal di tempat kerja mengalami penurunan produktivitas yang signifikan. Tak hanya itu, kecemasan dan stres meningkat, menjadikan tempat kerja yang seharusnya menjadi ruang profesional, justru berubah menjadi arena pelecehan.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebenarnya sudah jelas memposisikan pelecehan verbal sebagai bagian dari kekerasan seksual. Pasal 5 UU TPKS secara gamblang mengatur bahwa segala bentuk ujaran yang merendahkan martabat seseorang, baik melalui kata-kata kasar, komentar seksis, hingga guyonan tak pantas, dapat diproses hukum. Lelucon seksis bukanlah gurauan biasa, itu tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah pemberlakuan pakta integritas. Pakta ini bukan hanya dokumen formal, tetapi merupakan komitmen bersama dari setiap individu dalam organisasi untuk menjaga integritas, etika, dan saling menghormati di tempat kerja. Contoh sukses dari penerapan pakta integritas ini dapat dilihat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana pakta integritas berhasil menekan perilaku koruptif di dalam institusi tersebut.
Di KPK, pakta integritas tidak hanya menjadi janji di atas kertas. Setiap pegawai diharuskan menandatangani dokumen ini sebagai bukti komitmen mereka untuk menjunjung tinggi etika dan norma di tempat kerja. Pakta ini juga mencakup mekanisme pelaporan yang aman dan transparan, memungkinkan pegawai untuk melaporkan setiap pelanggaran tanpa takut akan balas dendam atau intimidasi. Budaya integritas yang kuat di KPK berhasil membentuk institusi yang lebih bersih, kredibel, dan berintegritas tinggi.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan pakta integritas di KPK dapat dijadikan inspirasi bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk memberlakukan hal serupa dalam upaya mencegah pelecehan verbal dan perilaku seksis di lingkungan kerja. Pakta ini tidak hanya menegaskan bahwa pelecehan verbal—termasuk dalam bentuk guyonan seksis—tidak akan ditoleransi, tetapi juga memberikan perlindungan bagi korban yang berani melaporkan pelanggaran. Pakta ini harus disertai dengan mekanisme pelaporan yang jelas, edukasi yang rutin, serta sanksi tegas bagi pelanggar.
Tentu, tanggung jawab perusahaan tak berhenti di situ. Harus ada edukasi yang berkelanjutan bagi setiap karyawan tentang batasan humor, seksisme, dan pelecehan verbal. Candaan yang sehat adalah candaan yang menghormati batas-batas personal dan martabat orang lain, bukan yang meremehkan atau merendahkan hanya karena perbedaan gender. Ruang kerja seharusnya menjadi tempat di mana setiap orang merasa dihargai, bukan tempat di mana pelecehan verbal menjadi bagian dari rutinitas.
ADVERTISEMENT
Budaya permisif terhadap lelucon seksis di kantor harus diakhiri. Tidak boleh ada lagi pembiaran terhadap pelecehan yang dibungkus dengan tawa. Lingkungan kerja yang sehat bukan hanya tentang profesionalisme, tapi juga tentang respek. Dan respek, pada akhirnya, tidak bisa dinegosiasikan. Setiap lelucon yang merendahkan martabat orang lain, apalagi berdalih seksisme, adalah racun yang harus segera dibuang.
Pakta integritas adalah langkah awal yang konkret. Namun, itu hanya akan berhasil jika perusahaan benar-benar berkomitmen untuk menegakkan aturan dan budaya yang lebih menghargai. Tawa di kantor harus menjadi simbol kebersamaan, bukan senjata untuk menindas.
Fenomena ini juga mengingatkan saya sebuah karya Bell Hooks dalam buku The Will To Change yang menekankan hubungan mendalam antara bahasa dan sikap masyarakat, dengan mengatakan, “Bahasa kita mencerminkan bagaimana kita memandang satu sama lain. Pelecehan verbal adalah indikasi dari masyarakat yang menormalisasi penindasan.”
ADVERTISEMENT
Perspektif ini mengungkapkan bahwa pelecehan seksual secara verbal bukan sekadar tindakan individu, melainkan cerminan dari masalah sosial yang lebih luas yang terus mempertahankan ketidaksetaraan dan kurangnya rasa hormat.
Ketika komentar merendahkan atau ucapan cabul dianggap sepele dan diabaikan sebagai “hanya kata-kata,” hal itu merendahkan martabat seseorang yang menjadi sasaran, serta memperkuat dinamika kekuasaan yang berbahaya. Serangan verbal ini mengurangi nilai seseorang dan menciptakan lingkungan di mana objekifikasi menjadi hal yang biasa. Dampaknya sangat dalam, memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka yang mengalami pelecehan semacam itu.
Saat kita menjalani interaksi sehari-hari, penting untuk diingat bahwa “Kata-kata itu gratis. Cara kita menggunakannya bisa jadi mahal.” Dengan memilih kata-kata kita dengan hati-hati, kita dapat membangun budaya saling menghormati dan setara, serta menantang norma-norma yang membiarkan pelecehan verbal terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Mengakui kekuatan bahasa adalah langkah pertama menuju penciptaan masyarakat yang lebih adil dan penuh kasih.