Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Semarang dan Seremonial Patah Hati
17 November 2021 14:11 WIB
Tulisan dari Alfaddillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata orang, menyelesaikan patah hati sebenarnya nggak sulit-sulit banget. Ikutin aja perasaan itu, nggak perlu dilawan, resapi setiap emosi yang ada. Intinya begitu.
ADVERTISEMENT
Baik, saya turuti. Saya kembali memikirkan mengapa patah hati ini bisa saya alami dengan santai. Mulai dari memikirkan mengapa dia tega membuat saya seperti ini, mengapa kenangan-kenangan yang tak seberapa itu selalu nempel di kepala saya, dan hal-hal uwu lainnya yang makin bikin saya sesenggukan. Tapi setelah saya mencoba untuk tidak melawan rasa sedih, hati justru makin tercabik-cabik.
Perasaan sakit dan merasa sangat tersakiti nyatanya memang sesuatu yang harus dilepaskan. Kalau tidak segera dibuang, pastinya akan tumbuh menjadi penyakit kronis, salah satunya Sindrom Takotsubo. Penyakit ini timbul oleh patah hati yang tak kunjung sembuh. Dijelaskan ST Vincent Hospital, kondisi ini bakal terjadi saat otot jantung tidak dapat memompa darah sebaik sebelum patah hati.
ADVERTISEMENT
Kalau kondisi ini terjadi dalam jangka waktu lama, orang tersebut dapat mengalami gagal jantung. Artinya, jika perasaan sedih karena patah hati dipelihara terlalu lama, orang tersebut tentu akan meninggal bersama rasa sedih yang belum selesai. Duh, tragis!
Menangis memang terdengar mudah. Tapi buat yang sudah cukup berumur dan masih menumpang dengan orang tua seperti saya, menangis di rumah rasanya nanggung dan gagal dramatis. Adegan menangis bakal terdistraksi oleh banyak kegiatan, ditunda karena cuci piring, paket datang, sampai dirusuhin anak kucing.
Demi mendukung rasa sedih yang tak tertahan ini, kuputuskan untuk melarikan diri meninggalkan rumah sejenak. Terlepas dari hati yang tercabik-cabik, masalah tempat yang ideal untuk menangis juga jadi persoalan yang amat krusial. Menurutku, Jakarta bukanlah tempat yang tepat untuk menjalani misi ‘menuntaskan rasa sedih’. Konsep ‘melarikan diri’ tentu akan menjadi sia-sia.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau dipikir-pikir, destinasi romantis lebih sering disebut-sebut dibandingkan tempat yang ideal untuk menangis. Yogyakarta, Bandung, dan Bali merajai peringkat teratas destinasi yang diklaim romantis di Indonesia. Jelas, itu bukan tempat saya.
Terus terang, saya kurang paham kenapa orang lebih sering mengkategorikan tempat romantis dibanding tempat bersedih. Padahal, menangis dapat menjadi pengalaman katarsis atau meredakan stres bagi seseorang. Namun, banyak orang yang justru melihatnya sebagai tanda kelemahan dan memilih menahannya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di Tilburg University, menemukan bahwa menangis justru memiliki efek langsung untuk menenangkan seseorang. Studi tersebut bahkan menunjukkan bagaimana menangis mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang membantu orang rileks. Saat seseorang menangis, air mata yang mengalir dalam tubuh mereka mengandung sejumlah hormon stres dan bahan kimia.
Terlepas dari itu, frekuensi air mata orang dewasa memang cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Apalagi banyaknya pandangan lemah bagi seseorang yang menangis saat tertimpa masalah yang membuat orang-orang dewasa zaman sekarang memilih untuk memendam dan ujung-ujung malah sakit gerd. Jadi, kalau orang bilang anak kecil lebih bahagia dibanding orang dewasa, itu benar adanya.
ADVERTISEMENT
Kembali pada destinasi bersedih. Setelah sibuk mencari dan berpikir keras, akhirnya saya menemukan artikel rekomendasi destinasi di Semarang. Menurut kacamata ex wartawan Travel tapi nggak pernah traveling ini, Semarang terbilang kurang memiliki destinasi menarik untuk dikunjungi.
Tapi, berangkat dari pandangan itulah akhirnya saya memilih Semarang sebagai tempat melarikan diri untuk menangis dalam episode patah hati. Setelah melewati fase mengurung diri, tak keluar kamar, tak senyum, tak nafsu makan, tak mandi, bahkan tak bicara, saya mulai memberanikan diri keluar rumah dan mencoba menggelar perayaan patah hati di Semarang.
Tepat 24 Desember 2020, saya memaksakan diri solo traveling ke Semarang dengan kereta api dari Stasiun Pasar Senen. Dengan berbekal itinerary sederhana dan kurang matang, saya nekat solo traveling untuk pertama kalinya demi berkompromi dengan rasa sedih ini.
Derajat romantisme Semarang memang terbilang rendah, dibanding Yogyakarta, Bandung, dan Bali. Jika Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum, kira-kira Tuhan menciptakan Semarang saat sedang apa, ya?
ADVERTISEMENT
Seperti berada di padang pasir dengan tenggorokan yang kering, saya datang ke Semarang bersama hati yang patah berkeping-keping dan suasana hati yang murka. Setibanya di Semarang, ternyata ekspektasi saya terlalu sederhana dan terbilang ringan dari dugaan sebelumnya. Kota ini benar-benar ‘bahaya’ bagi orang yang ambyar seperti saya. Suhunya yang gersang membuat suasana hati yang tengah pancaroba ini kian berantakan.
Kalau dipikir-pikir, seharusnya saya tak perlu terkejut berlebihan saat menghadapi panasnya Semarang. Kota ini telah lama dikenal sebagai salah satu wilayah terpanas di Indonesia. Bahkan, jarak antara Matahari dengan Semarang diklaim lebih dekat dibanding Matahari ke Bumi.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG), suhu tertinggi yang pernah terjadi di Kota Semarang mencapai 39 derajat. Salah satu penyebab udara panas di Kota Semarang adalah letak geografisnya dekat dengan laut.
Tapi, saya terus mencoba menegarkan hati untuk memahami bahwa metode menangis tidak hanya didukung dengan hawa yang sejuk saja. Semakin meriah udaranya, semakin seru buat ditangisi.
ADVERTISEMENT
Jebakan Batman ini makin meringkuk, ketika penginapan yang saya pilih berlokasi di wilayah Pecinaan. Memang orang sedang patah hati itu pikirannya sempit dan gegabah. Wilayah ini terbilang tidak bersahabat buat saya yang berhijab. Tapi, masalah ini tak lebih rumit ketimbang pikiran, hati, dan itinerary saya yang nggak jelas.
Kegiatan selama liburan memang sengaja dipilih untuk menikmati diri yang tengah patah hati. Setiap pagi, saya berusaha bangun pagi dan jogging di wilayah hotel demi membentuk jiwa yang bugar dan hati yang tenang. Lari menjadi metode menangis terbaik bagi saya. Rasanya lega banget nangis sambil ngerasain air mata bertabrakan dengan keringat.
Cara ini saya terapkan dari kebiasaan melihat aktivitas para anggota TNI yang kerap lari melewati rumah saya sambil melantunkan yel-yel ‘’satu tambah satu dua, tambah satu tiga, tambah satu empat, tambah satu lima,’’ begitu terus sampai jawabannya 10.
ADVERTISEMENT
Saya yakin betul, mereka pasti tertekan setiap hari harus melafalkan rumus matematika dasar yang mentok sampai sepuluh itu. Walaupun muak, tentu saja semangat tetap membara di dalam tubuh mereka.
Destinasi wisata di kota ini memang tak terlalu menarik untuk dikunjungi. Tapi untungnya makanan di Semarang enak-enak. Setidaknya lambung saya cukup bahagia selama di sana. Hari pertama berkelana di Semarang, saya memilih mengisi perut dengan Mie Kopyok Pak Dhuwur, makanan khas Semarang.
Mie kopyok yang terdiri dari mi kuning, lontong, taoge, tahu pong dan kerupuk gendar ini jadi hidangan pembuka yang nikmat untuk episode patah hati saya di Semarang. Mie Kopyok mengingatkan saya tentang masa lalu: biasa aja tapi manis.
Setelah makan siang selesai, saya yang tak memiliki tujuan khusus ini akhirnya memutuskan untuk berwisata ke Kampoeng Warna-warni. Tempat ini muncul berdasarkan rekomendasi driver ojek online yang mengantar saya ke warung makan Mie Kopyok Pak Dhuwur. Seperti dugaan, tempat ini seperti destinasi wisata yang sia-sia karena hanya menyuguhkan pemandangan tembok warna-warni yang enggak indah-indah banget.
Karena memang tujuan awal liburan ini membuang energi negatif, saya memutuskan untuk plesiran di wilayah kampung tersebut dan menanjaki setapak demi setapak pemukiman penuh warna itu. Di tengah lelah dan sesak napas menanjaki anak tangga, sumpah serapah dan keluhan terus keluar dari mulut saya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari mengeluh karena kepanasan, nggak bawa persediaan air minum, tangga yang dinaiki seakan tak ada ujungnya, hingga mempertanyakan kepada si dia yang buat saya susah payah mengatasi kesedihan ini. ‘’Kok tega sih kamu bikin aku patah hati sampai harus cosplay jadi ninja hatori gini?.’’
Sesuai misi, saya memang banyak menghabiskan waktu menangis dan merenung sendirian ketika patah hati tahun lalu di Semarang. Bahkan saya sampai bermalam di Masjid Agung Semarang hanya untuk sekadar duduk, melamun, dan menangis.
Masjid terbesar di Jawa Tengah ini menjadi lokasi bersedih favorit saya di Semarang. Banyak air mata yang saya tumpahkan selama merenung dan mengadu di sepertiga malam kala itu. Saya tak sendirian, banyak jamaah yang menjalankan ibadah di Masjid Agung. Ada yang terlihat sembab (tentu saja saya) ada juga yang tidak. Kehadiran mereka di situ lumayan ngasih saya “teman” biar nggak kesepian-kesepian amat.
ADVERTISEMENT
Lokasi berikutnya untuk menangis di Semarang adalah Lawang Sewu. Selain tak punya pilihan, wisata sejarah bekas peninggalan Belanda ini masuk daftar itenary saya lantaran kisah mistis yang melekat pada tempat ini. Menurut saya, suasana angker di Lawang Sewu dapat memudahkan saya untuk menangis.
Setelah puas menangis di pinggir balkon sambil menatap penyanyi-penyanyi keroncong, saya minum es dawet yang nangkring di area tempat wisata itu. Es dawet yang diminum di bawah langit Semarang yang panas ngingetin saya sama tagline iklan Sprite ‘enaknya, nyegerin!’’.
Momen plesiran saya di Semarang tentu nggak cuma mewek. Saat nggak pengen menangis tapi pikiran masih agak kosong, saya mencoba merenung sambil mencoba memahami situasi dengan jalan kaki di kawasan Kota Lama.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan saya disuguhkan dengan pemandangan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh meskipun sudah berusia ratusan tahun. Mulai dari Gereja Blenduk, Gedung Spiegel, Kantor Pos Besar, hingga Pasar Barang Antik di Kota Lama. Setelah lelah jalan kaki, saya melanjutkan menangis sambil menyeruput kopi susu di Filosofi Kopi Kota Lama.
Bagi saya, menangis adalah respons paling wajar saat patah hati. Patah hati harus dirayakan dengan meriah dan leluasa. Menangislah semalaman, meratapi penyesalannya dan nikmati pedihnya perpisahan.
Semarang menjadi tempat yang sejenak memisahkan saya dari tanggung jawab yang memaksa untuk tetap “berfungsi”. Memang sih, sejauh apa pun kita berkelana tak ada jaminan menghapus kesedihan. Seseorang yang tengah bersedih seperti saya ini hanya butuh jeda beberapa saat dan berkompromi dengan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Di mana saja boleh. Menghambur-hamburkan uang puluhan juta rupiah hanya untuk merenung di pinggir pantai di Maldives juga bisa. Tapi, topik yang ditangisi bakal serupa dengan menitihkan air mata di bawah bantal bau apek di kamar yang kadang diganggu keponakan.
Dari periode muram itu, saya belajar buat… ‘’Ah ngapain susah payah melawan rasa sedih? Yaudah lah, nggak semua kejadian perlu diambil hikmahnya. Saya cuma pengen nangis.’’
Menangis di beberapa lokasi di Semarang yang panas, terasa seperti melawan masalah; bersabar, memahami, mengikhlaskan, dan menghadapi. Begitu terus sampai hati tenang dan bisa menemukan ritmenya lagi.
Terlepas dari panas dan minimnya tempat wisata di Semarang, saya suka sekali langit sore di sini. Saat menunggu kereta datang, saya menyantap risol rogut di pinggir rel sambil menatap langit yang perlahan berubah warna dari ungu ke biru tua dengan udara yang tak ada angin. Seketika saya menghela napas panjang, ''Kok bisa ya ada yang tega bikin saya sedih dan patah hati di tengah cuaca sepanas ini.''
ADVERTISEMENT