Konten dari Pengguna

Profesional Menjadi Jurnalis dan Etika Sebagai Manusia

Alfaiz Rayhan Azhim
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
10 Februari 2023 6:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfaiz Rayhan Azhim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Daffa dan rekan pewarta. Foto: Dokpri
zoom-in-whitePerbesar
Daffa dan rekan pewarta. Foto: Dokpri
ADVERTISEMENT
Di antara keramaian para massa aksi demo dalam menyampaikan aspirasi, berkumpullah para jurnalis di seberang jalan. Sebuah diskusi kecil terjalin antar para pencari berita baik itu diskusi tentang pekerjaan maupun tentang kehidupan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Daffa (22) seorang jurnalis muda adalah salah satu pewarta yang berkumpul. Energik serta memiliki pemikiran apik untuk senantiasa berkarya dalam dunia jurnalistik adalah modal utamanya dalam berkarier sebagai pewarta di usia muda. Meskipun banyak sekali ia menemukan rahasia besar di balik dunia jurnalistik yang terkenal sebagai pilar demokrasi keempat di Indonesia.
Pada Kamis, (28/12/2022) silam, saya berkesempatan untuk menemui Daffa, dan dia akan sedikit bercerita mengenai apa yang ia hadapi selama menjadi jurnalis di Sumatera Barat. Bagaimana para Jurnalis melakukan pekerjaannya secara profesional dan menjunjung tinggi etika jurnalistik. Serta mengetahui bagaimana implementasi hal tersebut di Sumatera Barat.
Selama kurang-lebih tiga tahun berkarier sebagai seorang jurnalis. ia menceritakan bagaimana ia melaksanakan tugas sebagai seorang jurnalis yang berpedoman dengan etika-etika jurnalistik. Ia menuturkan bahwa etika sangat dibutuhkan oleh seorang Jurnalis. karena Jurnalis merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung. Selain itu dalam memperoleh informasi, etika menjadi sebuah alat dalam proses menghimpun informasi dari narasumber.
ADVERTISEMENT
“Waktu wawancara untuk mendapatkan informasi, kita harus pandai dan sopan kepada agar narasumber nyaman dan bersedia memberikan informasi,” tutur pria berkacamata tersebut.
Selain itu, dia menambahkan bahwa etika tersebut ia terapkan bukan saat ia menjalankan tugas saja sebagai seorang jurnalis. Dalam kehidupan sehari-hari ia juga selalu menjunjung tinggi etika saat berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan ini bukanlah sesuatu yang harus dipelajari melainkan sesuatu nilai sebagai kebiasaan sehari-hari.
“Tentunya, selama ini saya harus dapat membedakan perlakuan dan sikap kepada informan, misalkan meminta informasi kepada polisi dan korban pelecehan harus memiliki perbedaan cara dalam bertanya,” ujarnya.
Selama ini menceritakan bahwa dia selalu mengutamakan sopan santun. Karena jika kita menampilkan sikap yang sopan dan membuat senang hati dari para narasumber. Para narasumber akan dengan senang hati pula memberikan informasi seluas-luasnya kepada jurnalis. Bahkan akan menimbulkan kedekatan interpersonal antara jurnalis dan narasumber yang diwawancarai.
ADVERTISEMENT
Selain menghimpun informasi, dalam penulisan berita harus mengutamakan etika pula. Dia menyebutkan banyak aturan dalam penulisan berita agar berita yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima dengan baik.
Beretika dalam penulisan berita ini dapat kita lihat bagaimana para jurnalis melindungi identitas korban dalam berita. Tidak boleh sesumbar dalam menyampaikan identitas korban dalam berita, karena berita akan diterima oleh masyarakat luas dan identitas korban harus dirahasiakan guna keselamatan para korban.
Biasanya korban-korban dari tindakan kriminal seperti pemerkosaan akan dilindungi identitasnya agar korban merasa aman dan tidak mendapatkan beban moral dari masyarakat luas ketika mengetahui identitas korban.
“Salah satu etika dalam penulisan yang menjadi pedoman umum bagi para wartawan, kita tidak boleh sembarangan memberikan identitas korban pelecehan seksual, karena saat ini hal seperti itu dianggap aib oleh masyarakat luas, dan para korban harus dilindungi dari trauma serta tekanan dari masyarakat,” ujar Daffa.
ADVERTISEMENT
Keresahan juga timbul dari jurnalis muda ini. Meskipun Daffa adalah seorang jurnalis yang belum bisa dibilang senior. Ia menjadi jurnalis karena hobi dia menulis dan kecintaannya terhadap dunia jurnalistik. Keresahan ini timbul akibat fenomena-fenomena yang ia hadapi di lingkungan pers di Sumatera Barat. Menurutnya insan pers di Sumatera Barat masih banyak belum memahami bagaimana etika-etika Jurnalistik.
Beberapa kali ia menjumpai oknum yang memanfaatkan pers sebagai kekuatan dalam meraih keuntungan pribadi. Oknum ini mengesampingkan etika jurnalistik dalam menghimpun informasi. Bahkan yang lebih parahnya, terdapat oknum yang memanfaatkan pers untuk meraih keuntungan pribadi.
Keuntungan pribadi ini didapatkan dengan cara memeras instansi maupun personal. Memang kekuatan pers tidak perlu diragukan lagi di Indonesia. Karena profesi pers sendiri sudah dilindungi oleh Undang-Undang Pers dan para jurnalis dalam melakukan pekerjaannya akan dilindungi oleh undang-undang tersebut. Ditambah lagi dari mental dari para jurnalis yang sering menghadapi orang banyak dalam menghimpun berita
ADVERTISEMENT
“Beberapa kali saya menemukan oknum-oknum pers yang memeras seseorang dengan berita yang oknum tersebut tulis,” tutur Daffa. “Bahkan tidak jarang pula saya menegur teman-teman pers yang melakukan hal tersebut di hadapannya,” tambahnya.
Meskipun masih terbilang baru di Lingkungan Pers Sumatera Barat, Ia tidak segan menegur rekan persnya jika melakukan kesalahan tersebut demi kebaikan pers Indonesia.
Selain itu masih ada para jurnalis yang belum memiliki kompetensi jurnalistik baik. Karena kebanyakan jurnalis di Sumatera Barat adalah orang-orang yang ingin terjun dalam dunia jurnalistik untuk mendapatkan relasi saja.
Jika diberikan pelatihan jurnalistik yang baik tentunya insan pers di Sumatera Barat akan dipandang masyarakat sebagai penegak demokrasi. Sesuai dengan harapan pers sebagai pilar keempat demokrasi.
ADVERTISEMENT
Ia juga menuturkan hal tersebut sebagai rahasia umum dalam masyarakat. Karena hal ini telah menjadi budaya merugikan di lingkungan pers. Dia merasa meskipun hanya oknum melakukan tersebut.
Pandangan masyarakat terhadap pers tidaklah sebaik yang diinginkan. Dan para jurnalis yang cinta akan dunia jurnalistik akan merasakan pula stereotip yang diberikan masyarakat kepada oknum jurnalis nakal. Oknum jurnalis yang menyampingkan etika untuk mendapatkan keuntungan yang lebih melalui berita ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
“Menjadikan Jurnalis sebagai profesi untuk menyambungkan hidup di Sumatera Barat bukanlah suatu pilihan yang tepat, kita lihat saja bagaimana gambaran kesejahteraan Jurnalis di Sumbar ini,“ katanya.
Kenakalan oknum jurnalis yang mengesampingkan etika ini biasanya didasari oleh kesejahteraan jurnalis itu. Jurnalis bukanlah profesi yang menjanjikan keuntungan besar dalam pekerjaannya terutama di Sumatera Barat. Oleh karena itu, oknum ini memanfaatkan kekuatan pers untuk meraih keuntungan lebih banyak dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa saat berbincang mengenai realita kehidupan jurnalis di Sumatera Barat bersama Daffa. Terutama membahas tentang penerapan etika jurnalistik di Sumatera Barat. Kita bisa melihat bagaimana para jurnalis ini masih ada oknum yang tidak berpedoman dengan etika jurnalistik.
Masih banyak lagi fenomena dalam dunia jurnalistik di Sumatera Barat yang harus diperbaiki. Peningkatan kualitas SDM dan kompetensi para Jurnalis sangat diperlukan untuk melahirkan insan pers yang dibutuhkan dan dihargai oleh masyarakat.
“Etika tidak hanya ada dalam jurnalistik, karena di lapangan etika jurnalistik itu sama saja dengan kehidupan sosial seperti biasanya. Perlu saling menghargai dan sopan santun dan bekerjalah secara professional tanpa menguntungkan diri sendiri. Dan, jadilah insan pers yang berguna bukan merugikan masyarakat seutuhnya,” tutupnya.
ADVERTISEMENT