Polemik Penambahan Masa Jabatan Ketua KPK

Alfaenawan
Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
20 Juni 2023 15:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfaenawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bernyanyi bersama Plt Wali Kota Bekasi Tri Adhianto (kiri) saat road show bus KPK pada acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bekasi, Jawa Barat, Minggu (18/6/2023).  Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bernyanyi bersama Plt Wali Kota Bekasi Tri Adhianto (kiri) saat road show bus KPK pada acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bekasi, Jawa Barat, Minggu (18/6/2023). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada Kamis, 25 Februari 2023, MK membacakan Putusan mengenai pengabulan permohonan judicial review salah satu ketua KPK, Nurul Ghufron, putusan tersebut berimplikasi mengubah masa jabatan ketua KPK dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun. Kemudian MK juga menyatakan syarat batas usia calon ketua KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun bertentangan dengan UUD NRI 1945. Putusan ini munuai problematik, karena materi permohonan yang diajukan oleh pemohon tidak ada kaitannya dengan isu konstitusional.
ADVERTISEMENT
Apabila melihat Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022, Objek Permohonannya adalah Pasal 29 huruf (e) dan Pasal 34 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya dapat disebut UU KPK), yang selengkapnya berbunyi:
Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD NRI 1945. Kerugian konstitusional pemohon terdiri dari: hak terhadap pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Pemohon telah meneliti dan setidaknya terdapat 12 komisi atau lembaga negara non kementerian selain KPK dengan periodesasi jabatan 5 (lima) tahun.
ADVERTISEMENT
Periodesasi jabatan komisioner/pejabat/pimpinan lembaga-lembaga negara tersebut sama, yaitu menjabat selama 5 (lima) tahun. Tetapi berbeda dengan periodesasi jabatan pimpinan KPK, walaupun posisi dalam struktur ketatanegaraan dan sifat independensinya sama dengan KPK. Dengan demikian, Pasal 34 UU KPK mengatur periodisasi jabatan pimpinan KPK dengan diskriminastif.

Apakah Putusan MK itu berlaku surut atau sebaliknya?

Terkait apakah putusan MK itu berlaku surut atau tidak, itu ada 2 kemungkinan. Pertama, dari segi maksud putusan itu sendiri. Kedua, berdasarkan norma putusan MK menurut peraturan perundang-undangan. Apabila putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan ketua KPK berlaku retroaktif (berlaku surut) maka itu akan mempengaruhi independensi KPK karena melanggar asas hukum yang tidak berlaku surut.
Apalagi terkait dengan waktu Desember 2023-Desember 2024 itu adalah waktu yang rawan dan krusial menjelang pemilu 2024. Hal ini tentu berkaitan dengan independensi KPK ketika menghadapi berbagai kasus baik dari partai oposisi maupun koalisi dalam memenangkan pemilu 2024. Apabila memang menghendaki adanya perubahan ditengah jalan dan langsung diimplementasikan tentu akan memunculkan berbagai persoalan hukum. Namun secara legal formal seharusnya putusan MK itu tidak berlaku surut.
ADVERTISEMENT
Menurut UU MK menyatakan bahwa “UU yang diuji itu tetap berlaku sebelum dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui putusan yang terbuka untuk umum.” Pada dasarnya, masa jabatan ketua KPK (Firli Bahuri, dkk) sudah ditentukan ketika mereka diangkat pada Desember 2019. Kotrak komisioner ketua KPK waktu itu sampai 4 tahun (Desember 2023). Sehingga meskipun terdapat putusan MK yang memperpanjang masa jabatan ketua KPK, seharusnya diberlakukan pada masa jabatan periode selanjutnya, bukan masa jabatan periode sekarang.

Menelaah Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022

Dalam pertimbangan hukum tersebut menguraikan bahwa ketetuan Pasal 29 huruf e UU 19 Tahun 2019 dan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan (injustice), dan diskriminasi. Sebenarnya argumentasi tersebut setidaknya lemah dari dua aspek, yaitu konsep ketidakadilan dan aspek kewenangan MK dalam menguji pengaturan yang bersifat open legal policy.
ADVERTISEMENT
Permasalahan pertama dalam konsep keadilan, tidak berarti semua harus disamaratakan secara tekstual, melainkan memperlakukan secara sama sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dalam hal ini, apabila ditelusuri, tidak semua pejabat lembaga negara itu memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Bahkan jabatan hakim konstitusi lebih lama dibandingkan lembaga negara lainnya, apabila melihat UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa hakim konstitusi bisa menjabat selama 15 (lima belas) tahun selama tidak melebihi umur 70 (tujuh puluh) tahun.
Adapun permasalahan yang kedua adalah dalam aspek kewenangan MK dalam menguji pengaturan yang bersifat open legal policy. Dalam negara hukum tentu menganut sistem pembatasan kekuasaan (limitation of power). Maka dari itu, setiap lembaga negara memiliki batasan kekuasaan/kewenangan, begitu juga dengan MK. Dalam UUD NRI 1945 sudah dinyatakan secara jelas bahwa salah satu wewenang yang dimiliki oleh MK adalah menguji undang undang terhadap UUD NRI 1945. Artinya menguji konstitusionalitas dari sebuah undang-undang.
ADVERTISEMENT
MK memiliki terminologi dalam ketentuan undang-undang yang merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk menentukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada, kebijakan ini dikenal dengan istilah open legal policy. Oleh karena itu, MK sebenarnya tidak diperbolehkan memutus pengaturan yang bersifat kebijakan hukum terbuka (open legal policy), kecuali pilihan pilihan kebijakan tersebut melanggar keadilan dan moralitas.
Selain putusan ini bermasalah, putusan ini juga lemah dari segi pendapat hakim konstitusi yang menyetujui terhadap perpanjangan pimpinan KPK hanya berjumlah 5 hakim, sedangkan 4 hakim lainnya berbeda pendapat (dissenting opinion) dan berbeda alasan (concurring opinion).