news-card-video
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pengepungan Kantor YLBHI dan Anti-Intelektualisme

Catur Alfath Satriya
Saat ini bertugas sebagai Hakim yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bertugas saat ini di Pengadilan Negeri Mandailing Natal
22 September 2017 9:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Catur Alfath Satriya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kantor LBH Jakarta Dikepung Massa (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor LBH Jakarta Dikepung Massa (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir kita disibukan dengan pemberitaan media tentang pengepungan kantor LBH Jakarta. Kantor LBH Jakarta dikepung dan dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pengepungan dilakukan dikarenakan LBH Jakarta diduga melakukan kegiatan diskusi bertendensi PKI yang dapat membahayakan eksistensi Pancasila dan NKRI. Oleh sebab itu, harus dikepung dan dibredel tanpa mengenal ampun.
ADVERTISEMENT
Sepertinya kondisi seperti ini membuat kita kembali ke masa orde baru. Masa dimana mulut dibungkam apabila tidak sesuai dengan ideologi negara maka harus dimusnahkan. Masa dimana pemerintahlah yang berhak menentukan narasi tunggal yang harus dipercayai. Tidak boleh ada perbedaan bahkan dalam aras ide dan gagasan. Hari-hari seperti itu terjadi lagi sekarang. Perbedaan tidak lagi dimaknai sebagai ruang untuk dialog namun dimaknai sebagai “penanda” bahwa kau yang salah dan aku yang benar.
Kemajuan teknologi yang terjadi saat ini, revolusi digital begitu kata orang ternyata tidak berhasil merevolusi akal dan mental kita yang semakin jauh dari kata “sehat”. Sikap untuk langsung menuduh dan menghakimi seakan menjadi “kegiatan” baru yang harus dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Sikap yang seperti ini yang menurut saya merupakan sikap anti-intelektualisme. Sikap yang akhirnya hanya melahirkan bigot-bigot politik tanpa mengedepankan nalar dan akal sehat. Sikap anti-intelektualisme adalah sikap yang lebih mengedepankan urat untuk berteriak “kalian komunis, kalian kafir” daripada berdialog dengan hangat dan mengedepankan kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang setara.
Sikap yang seperti ini akan menjadi batu ganjalan dalam kemajuan. Akan semakin menjadi apabila selalu diberikan pembenaran dan legitimasi. Sikap anti-intelektualisme ini semakin lama akan mendorong terjadinya politik identitas yang tidak sehat. Politik identitas yang akan melahirkan kekerasan dan anarki. Padahal sistem demokrasi yang kita pilih saat ini seharusnya melahirkan keterbukaan, sikap yang lebih moderat, dan akal yang lebih rasional.
ADVERTISEMENT
Sikap anti-intelektualisme harus dikikis secara perlahan, jangan sampai ia mengendap terlalu lama di dalam tempurung otak masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya? Meningkatkan kecerdasan literasi dengan kritis terhadap informasi yang diperoleh.
Saat ini informasi bukan lagi dijadikan komoditas untuk sekedar dinikmati namun ia harus dikritisi terlebih dahulu dengan cara melihat sumber dari informasi tersebut. Setelah itu, perbanyaklah diskusi/dialog karena kebenaran itu harus diuji. Validasi terhadap “kebenaran” harus selalu dilakukan dengan adanya diskusi/dialog interaksi sosial menjadi lebih sehat dan pemahaman bisa dibentuk tanpa harus menggunakan kekerasan.