Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kita Tidak Merdeka dengan Bambu Runcing
18 Agustus 2023 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Catur Alfath Satriya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bambu runcing dalam berbagai gambar identik dengan perjuangan bangsa Indonesia ketika berjuang meraih kemerdekaan. Bambu runcing diasosiasikan dengan keberanian dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan republik ini. Namun, pertanyaan yang paling mendasar apakah benar kita merdeka karena bambu runcing?
ADVERTISEMENT
Apakah senjata bambu runcing benar-benar digunakan ketika memperjuangkan kemerdekaan ataukah hanya sebuah kiasan untuk menggambarkan semangat perjuangan dan pengorbanan para pejuang? Namun, apa pun jawaban atas pertanyaan tersebut saya berpendapat bahwa pada prinsipnya republik ini merdeka bukan karena bambu runcing tetapi ada yang lebih berdampak yaitu pendidikan.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai proponen utama dalam terciptanya pergerakan nasional yang nantinya bermuara pada kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa peran penting pendidikan yang paling fundamental adalah melahirkan kaum intelektual yang nantinya membuka jalan menuju gerbang kemerdekaan.
Pasca Perang Diponegoro
Kekalahan Perang Diponegoro bisa dikatakan merupakan momok bagi bangsa ini. Setelah peristiwa tersebut bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan. Tidak ada pemimpin karismatik yang mampu berjuang mengorganisir massa melawan penjajahan pemerintahan kolonial Belanda. Namun, menjelang akhir abad ke-19 transformasi politik terjadi di negeri Belanda.
ADVERTISEMENT
Ketika itu partai politik berhaluan liberal berhasil menguasai parlemen dan berhasil mengganti sistem pemerintahan Belanda yang sebelumnya monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Kebijakan politik terhadap negara kolonial pun berubah yang awalnya mengedepankan kebijakan politik yang eksploitatif menjadi kebijakan politik yang lebih memanusiakan masyarakat Hindia-Belanda.
Kebijakan itu lebih dikenal dengan kebijakan politik etis yang memprioritaskan 3 hal pokok yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi. Dari kebijakan politik etis inilah masyarakat Hindia-Belanda akhirnya bisa mendapatkan pendidikan walaupun dalam pelaksanaanya masih diskriminatif yaitu hanya pribumi elite saja yang mampu mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kaum Intelektual Indonesia
Berubahnya konstalasi politik di negeri Belanda dan masuknya arus ilmu pengetahuan dari eropa ke Hindia-Belanda karena diterapkannya politik etis secara tidak langsung mendorong lahirnya kaum intelektual Indonesia. Di dalam bukunya yang berjudul Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Yudi Latif menerangkan bahwa setidaknya ada 2 generasi kaum intelektual di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Generasi pertama yaitu generasi yang pertama kali mengenal ilmu pengetahuan yang dibawa oleh barat. Generasi ini membawa semangat kemajuan yang akhirnya menginspirasi perjuangan kaum intelektual berikutnya. Tokoh terkenal yang termasuk dalam generasi pertama ini adalah Syeikh Ahmad Khatib, KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, Tan Malaka, Agus Salim, Kartini, dan H.O.S Tjoroaminoto.
Setelah generasi pertama ini, perjuangan perlawanan terhadap penjajahan Belanda kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua kaum intelektual Indonesia yang berhasil menghidupkan narasi nasionalisme dan kemerdekaan sebagai wacana utama yang mewarnai pikiran kolektif bangsa pada saat itu.
Titik penting dari perjuangan generasi kedua ini adalah ketika pada tanggal 28 Oktober 1928 mereka berkumpul dan menggelorakan Sumpah Pemuda. Sumpah yang menjadi penanda bahwa nasionalisme Indonesia didasarkan pada kesamaan nasib dan mimpi untuk menciptakan bangsa dan negara yang merdeka. Tokoh yang termasuk dalam generasi kedua ini adalah Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, Soepomo, dan Muhammad Natsir.
ADVERTISEMENT
Praktik Diskursif dan Ruang Publik
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pendidikan bisa berdampak terhadap lahirnya kemerdekaan republik Indonesia? Jawabannya adalah kaum intelektual menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk berkonsolidasi dengan membentuk suatu organisasi dan organisasi tersebut senantiasa mempromosikan ide atau narasi kemajuan dan kemerdekaan.
Hal ini semakin ditunjang dengan berkembangnya media cetak yang senantiasa menjadi ruang publik bagi para intelektual untuk berdiskusi mengenai kondisi hindia-belanda pada saat itu. Ruang publik yang dalam hal ini harus dimaknai sebagai tempat dibentuknya opini publik sebagaimana pandangan Habermas ternyata melahirkan sebuah wacana dominan yang semakin mengokohkan arah pergerakan bangsa untuk merdeka dari belenggu penjajahan.
Istilah “Indonesia” yang digelorakan oleh kaum intelektual muda di negeri Belanda memberikan identitas baru bagi hindia-belanda sekaligus menyatakan perlawanannya terhadap imperialism dan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sebagai Jalan Keluar
Pendidikan pada akhirnya mampu menggugah tekad para intelektual untuk memperjuangkan kemerdekaan dan terbukti kita bisa mencicipi kemerdekaan dari usaha akal pikiran para kaum intelektual. Menurut Amartya Sen, pendidikan mampu meningkatkan kapabilitas manusia sehingga manusia bisa melebarkan kebebasannya untuk memperoleh kesejahteraan. Hal inilah yang harus kita lakukan sampai saat ini mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan pendidikan agar terjangkau sehingga bisa diakses oleh semua orang dan tujuan konstitusi kita dapat tercapai yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.