Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Reformasi Lembaga Peradilan di Indonesia
9 September 2024 13:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Catur Alfath Satriya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, hakim mempunyai peran yang strategis dalam memberikan keadilan di masyarakat. Apa yang dirasakan oleh hakim baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap keadilan yang diberikan oleh hakim itu sendiri. Banyaknya ketidakadilan yang tejadi saat ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh kapasitas hakim yang minim dan kondisi hakim yang jauh dari kata ideal. Selain itu, intervensi kepada hakim baik yang bersifat godaan maupun ancaman, struktural maupun kultural, menyebabkan hakim dan lembaga peradilan selalu berada di posisi yang dilematis dalam memberikan keadilan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, menurut penulis yang berprofesi sebagai hakim urgen sekali untuk mereformasi hakim dan lembaga peradilan di Indonesia agar esensi Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub di dalam konstitusi tidak memudar atau bahkan hilang. Beberapa pandangan penulis terkait dengan poin reformasi hakim dan lembaga peradilan di Indonesia:
ADVERTISEMENT
Remunerasi hakim di Indonesia
Salah satu yang menjadi permasalahan saat ini terkait dengan remunerasi adalah adanya disparitas penghasilan yang terlalu jauh antara hakim agung, hakim tingkat banding, dan hakim tingkat pertama. Bahkan, hakim agung saat ini selain memperoleh penghasilan per bulan yang tinggi juga memperoleh penghasilan dari setiap perkara yang ditangani. Sementara itu, hakim tinggi dan hakim di tingkat pertama hanya memperoleh penghasilan per bulan dan tidak memperoleh penghasilan dari setiap perkara yang ditangani. Dalam hal ini, penulis berpendapat perlunya perbaikan sistem penggajian atau remunerasi terkait dengan penghasilan hakim. Hal ini bertujuan agar disparitas penghasilan hakim agung, hakim tingkat banding, dan hakim tingkat pertama tidak terlalu jauh.
Selama ini kondisi yang dialami oleh hakim tingkat pertama terkait penghasilan beberapa sangat memprihatinkan. Mereka yang berjuang menegakkan hukum dan keadilan di daerah pelosok harus mengalami dilema seperti jauh dari keluarga, harga barang yang terlampu mahal, dan akses kesehatan dan pendidikan yang sulit membuat mereka terkadang bertanya apakah jalan hidup yang dipilihnya sudah benar. Sementara itu, tawaran suap dan gratifikasi kepada hakim kerap kali muncul untuk menggoyahkan hukum dan keadilan. Dengan adanya perbaikan sistem penggajian atau remunerasi diharapkan profesi hakim mampu menarik minat para sarjana hukum terbaik di Indonesia. Selama ini apabila ditanya para sarjana hukum terbaik di Indonesia setelah lulus mau memilih profesi apa, saya sebagai penulis sangat yakin sangat sedikit yang ingin menjawab mau menjadi hakim. Mereka lebih memilih menjadi advokat atau bagian legal di suatu perusahaan ternama. Mereka berhitung dengan pendapatan yang diterima dan resiko yang harus diemban oleh hakim, maka lebih banyak resikonya daripada pendapatannya. Apabila kita ingin memperoleh sumber daya manusia yang baik, maka kita harus memberikan kompensasi yang baik, kalau tidak bisa yang terjadi akan sebaliknya. Sebagaimana dalam pepatah inggris you pay peanuts, you get monkey.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dengan adanya perbaikan sistem penggajian dan remunerasi diharapkan juga mampu mengurangi praktik suap dan gratifikasi di lingkungan peradilan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kenaikan penghasilan dapat mengurangi faktor untuk melakukan korupsi walaupun harus tetap diikuti dengan pembenahan sistem yang baik (Alfiller, 1986, An & Kweon, 2017)
Memperjelas status hakim
Terkait dengan status hakim sebelumnya saya pernah menulis di hukumonline dengan judul “dilema status dan kedudukan hakim”. Dalam hal ini, berdasarkan UU ASN hakim sudah diklasifikasikan sebagai pejabat negara. Namun, dalam praktiknya hanya hakim agung saja yang dianggap sebagai pejabat negara. Hakim di tingkat pertama dan tingkat banding masih menggunakan pola karir sebagai PNS dengan sistem golongan. Hal ini disebabkan pola pembinaan karir hakim masih didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim. Secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh terhadap kemerdekaan hakim yang masih mengikuti sistem yang ada di eksekutif. Terkait isu ini, penulis merasa perlu ada UU yang khusus mengatur tentang jabatan hakim. Sepengetahuan penulis sudah ada RUU tentang Jabatan Hakim namun belum masuk prolegnas saat ini.
ADVERTISEMENT
Rekrutmen yang berkualitas
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas suatu institusi dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya bisa diperoleh dengan rekrutmen yang berkualitas. Dalam hal ini, rekrutmen yang berkualitas menurut penulis adalah rekrutmen yang diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Sistem penilaian menggunakan metode yang tepat dan nilai yang ada bisa diumumkan dan diakses oleh publik sehingga hakim yang diterima merupakan hakim yang memiliki kapasitas kognitif dan integritas yang baik.
Sistem yang akuntabel
Pertanyaan paling mendasar dari poin ini adalah bagaimana mengukur kinerja hakim yang tepat. Saat ini karena masih menggunakan pola PNS dalam pembinaan karir hakim sehingga hakim dituntut untuk membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). Menurut penulis untuk mengukur kinerja hakim tidak bisa menggunakan indikator yang terdapat dalam SKP. Seharusnya kinerja hakim dinilai dari putusan yang dibuatnya dan terkait ini kampus sebagai institusi pendidikan harus terlibat dalam mengeksaminasi putusan yang dibuat oleh hakim tersebut. Eksaminasi berkala ini penting untuk menjaga kualitas putusan hakim agar putusan yang dibuat oleh hakim tetap relevan dengan perkembangan zaman dan asas-asas hukum yang senantiasa berkembang.
ADVERTISEMENT