Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilan Tidak Tahu Rasanya jadi Anak SMP yang Motoran di Sumbawa
23 Desember 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Alfhi S Ramdhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tidak tahu siapa yang memulai, tapi di awal tahun 2007-an, fenomena anak SMP naik motor ke sekolah marak terjadi. Saya merasakan betul bagaimana tertekannya waktu itu tidak punya motor. Di rumah ada Suzuki Tornado tua, itupun hanya boleh dipakai bapak buat kerja. Saat itu naik motor ke sekolah bukan cuma soal mobilitas, tapi juga eksistensi.
Ada stigma pada anak laki-laki, kalau masih diantar orang tua ke sekolah itu rada memalukan, terkesan manja, kurang maskulin. Di kelas biasanya terkucilkan, sulit bergaul karena hampir separuh obrolan remaja saat itu tidak jauh-jauh dari motor dan pernak-perniknya, sisanya...soal perempuan.
Urusan ini nampak remeh-temeh bagi orang tua. Tapi perlu diingat bahwa ini adalah fase krusial bagi pertumbuhan anak-anak menuju remaja. Impian dan cita-citanya sedang dibangun. Perubahan dan pengaruh yang mereka alami di fase ini yang kelak akan menentukan masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Awal Mula
Sebagai remaja di awal 2007. Saya merasakan langsung bagaimana pembangunan infrastruktur dan program pendidikan saat itu mulai gencar dilakukan. Perubahan sosial besar-besaran sedang terjadi. Jalanan kampung mulai di aspal. Orang-orang mulai menggandrungi motor.
Dealer berbondong-bondong buka cabang di Sumbawa. Ditambah saat itu sedang demam MotoGP. Valentino Rossi dan Sete Gibernau sedang jaya-jayanya. Brand Yamaha dan Honda semakin dikenal. Club motor bermunculan. Tukang ojek bertebaran di sudut gang.
Penjual jamu dan bakso beralih menggunakan motor. Anak kampung mulai menuntut hadiah ulang tahun berupa motor, bukan lagi sepatu baru atau sepeda BMX. Orang tua pun melepas tugasnya untuk mengantar anak mereka ke sekolah.
Puncaknya saat SMA. Saat itu sudah jarang lagi kita temukan anak sekolah jalan kaki atau naik angkot. Kalau pun ada, umumnya anak laki-laki akan menunggu angkot kosong selama berjam-jam supaya tidak ikut rombongan wanita.
ADVERTISEMENT
Gengsi ini melanda semua remaja saat itu. Beberapa wilayah di Indonesia dengan fenomena serupa juga terjadi. Umumnya di pinggiran atau wilayah yang pemudanya gampang bentrok karena salah lirik.
Dampak dari motor ini tidak main-main. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Perputaran uang di sektor jual beli motor di Sumbawa jumlahnya mencapai 2.9 Triliun tahun ini. Ini jumlah terbesar kedua setelah sektor pertanian, perikanan dan perhutanan yang jumlahnya 6,8 Triliun. Peningkatan ini selalu konsisten selama lima belas tahun terakhir.
Pemilihan motor sebagai moda transportasi ini cukup beralasan karena selain lebih efisien, motor lebih murah daripada naik angkot. Kalau hanya dipakai pulang-pergi sekolah, isi bensin Rp 5.000/liter (harga saat itu) cukup untuk digunakan selama 2-3 hari. Sementara angkot, untuk sekali naik saja Rp 2.500. Naik ojek? tarifnya fluktuatif, Ojek A Rp 3.000, Ojek B bisa Rp 5.000.
ADVERTISEMENT
Tapi bukan di situ permasalahannya. Hal yang paling merepotkan orang tua adalah anak-anak gengsi naik motor buntut. Maunya Satria F, Vixon, Thunder, atau minimal yang bermesin empat tak atau matic, velg modif, dan copot spion. Helm pun mesti merek INK, KYT, BMC.
Masalah belum berhenti di situ. Mereka juga merengek minta diurusi perkara administratif yang ngeri-ngeri sedap: Pemalsuan SIM! Karena belum cukup umur, mereka sampai memalsukan tahun lahir (yang entah bagaimana caranya) supaya bisa dapat SIM.
Belum lagi masalah kalau punya motor sport tapi tidak sesuai dengan kebutuhan keluarga. Misalnya motor Vixion dimodif ceper dengan knalpot racing dipakai buat ngangkut panen. Kelihatan sangat timpang. Tapi anak harus tutupi fakta ini di sekolah, meski di ladang orang tua harus berbagi jok motor dengan sekarung padi dan jagung.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran saya
Dunia pergengsian remaja sekarang sudah tidak seperti masa tujuh belas tahun lalu. Belakangan ini, kita diperlihatkan beragam kasus. Mario Dandy di 2023 misalnya. Kita bisa memahami standar remaja ibukota. Meski memang berlebihan rasanya kalau Rubicon dipakai ke sekolah. Tapi itu realita kelas menengah kita.
Kaum bawahnya? lebih parah lagi. Tahun 2022, ada siswa SMP di Jawa Barat minta motor Aerox ke orang tua sampai menghancurkan seisi rumah. Tahun ini juga di Cirebon seorang anak membakar rumahnya karena alasan yang sama.
Ada banyak kasus lainnya yang bisa anda telusuri di Google. Ini yang terdata. Selebihnya? pasti pernah ada di sekitar anda kan? Meski tidak sampai bakar rumah, minimal ada yang sampai tantrum minta dibelikan motor. Akui saja, ini memang penyakit kita bersama. Baik kaya maupun miskin.
ADVERTISEMENT
Saya sih haqqul yaqin kalau krisis ini sedikit tidaknya pasti bersinggungan dengan permasalahan gengsi tadi. Sulit menyalahkan orang tua kalau sekitarnya tidak mendukung. Bayangkan, anak belum cukup umur sudah bisa buat SIM, bawa motor ke sekolah meski dilarang.
Belum lagi kredit motor sekarang semakin mudah dan terjangkau. Masyarakat banyak yang ngutang buat beli motor. Jasa penyedia pinjaman berbunga pun ikut berkembang. Ini konflik horizontal yang pengaruhnya datang dari masalah kesenjangan kelas di masyarakat yang cukup tajam.
Kalau sudah begini nampaknya kita perlu mengurangi tekanan sosial. Ini bisa dimulai melalui kebiasaan dan pemberian contoh dari yang paling atas. Misalnya, elite, influencer, raja-raja kecil di pemerintahan, dan OKB-OKB yang baru naik kelas. Mereka ini kategori yang seharusnya tidak perlu pembuktian apa-apa lagi kepada dunia.
ADVERTISEMENT
Mereka sebaiknya jadi ksatria dengan memberi contoh kepada masyarakat yang sebagian rumahnya masih suka jeglek kalau setrika dan kulkas dinyalakan secara bersamaan. Kemudian dari sektor pendidikan. Guru ikut mengimbau, beri sanksi tegas bagi yang bawa motor ke sekolah.
Apa ini cukup? tentu saja tidak. Sebab perilaku ini terus berlanjut. Apalagi sekarang ranahnya bukan cuma kendaraan saja, tapi merembet sampai urusan handphone, sepatu, dan gaya pakaian.
Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Ada pengaruh dari konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang melingkupinya. Ambil contoh, film remaja misalnya, Ganteng-ganteng Serigala, Radio Galau FM, Balada si Roy, dan terakhir Dilan.
Dunianya persis seperti apa yang dibayangkan remaja-remaja Sumbawa saat itu. Punya geng motor, jadi idola, pulang boncengan pacar, keluyuran sampai malam dan bahagia selamanya. Tidak ada cerita tentang utang atau cicilan motor orang tua yang belum lunas.
ADVERTISEMENT
Tapi di sini untungnya Dilan tidak mengalami tekanan sosial dan ketimpangan ekonomi seperti itu. Motor baginya alat romantisme, bukan untuk menutupi kekurangan apalagi alat angkut panen. Hidupnya nyaris sempurna dibandingkan realitas yang dihadapi remaja-remaja prasejahtera di Sumbawa.
Anggapan orang tua sepertinya benar bahwa perkara ini sepele dibanding pengalaman hidup mereka. Sebab mereka pernah melewati fase serupa dengan tantangan yang berbeda di zamannya. Gengsi-gengsian ini bagi mereka ibarat riak kecil di air tenang. Mengganggu meski hanya sementara.
Sebab rasa-rasanya perkara gengsi ini hanya masalah waktu saja ketika realita, cicilan, utang, dan uang penyorong (nikah) yang nilainya terus naik seperti saham Tesla itu —yang akan membuat anak-anak merana di masa depan, atau dalam bahasa Sumbawa nya: Mangkupir!
ADVERTISEMENT