Konten dari Pengguna

Nafas Panjang Reformasi Polri dan Penegakan Hukum Indonesia

Alfi Abdillah Ramadhani
Yogyakarta - Indonesia
19 Oktober 2022 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Abdillah Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sambo, Kanjuruhan dan Teddy. Sumber: Alfi AbdillahR
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sambo, Kanjuruhan dan Teddy. Sumber: Alfi AbdillahR
ADVERTISEMENT
Era Reformasi menjadi momentum pemisahan Polri dari ABRI. Tuntutan ini muncul ditengarai oleh biasnya kinerja kepolisian dan TNI. Rakyat menginginkan Polri lebih condong kepada peran dan fungsi sipil, bukan kemiliter-militeran.
ADVERTISEMENT
Selain alasan itu korupsi dan kinerja yang rendah di tubuh Polri juga menjadi sorotan. Kinerja rendah dan koruptifnya polisi ditunjukkan bahwa banyak dari mereka yang mendaftar dengan cara yang 'tidak wajar' alias menyogok dan nepotis.
Meskipun saat masih di bawah payung ABRI, Polri mendapat keuntungan-keuntungan politik seperti partisipasi politik praktis di DPR dan latihan-latihan militer bersama tentara, namun ini menyebabkan kesenjangan cita dan citranya sendiri. Cita yang diharapkan pada Polri adalah menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Namun, justru kesan dan gaya militer polisi ini meruntuhkan apa yang dicitakan oleh rakyat. Itulah sebabnya, pada era Reformasi, rakyat menghendaki dipisahnya Polri dari ABRI, selain karena persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme yang hinggap di tubuh kepolisian.
ADVERTISEMENT
Sejak ditetapkannya Tap. MPR No. VII/2000, Polri dan TNI bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Ini adalah penanda upaya mengakhiri citra dan kinerja polisi yang suram dan dimulainya upaya reformasi Polri.
Namun, tak semudah membalik tempe goreng, agenda reformasi Polri kini tengah mengalami tantangan berat. Kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun drastis karena berbagai persoalan internal di dalam korps penegak hukum tersebut. Survei Indikator (2022) merilis bahwa dari 1229 responden, sebesar 26% masyarakat kurang percaya kepada Polri.
Dibandingkan dengan Kejaksaan Agung dan KPK yang masing-masing 20,5% dan 24,8%, Polri adalah yang terendah. Hal ini diakibatkan dari kasus Sambo yang menggegerkan segenap bangsa Indonesia.
Nampaknya, reformasi di tubuh Polri dan pengaruhnya terhadap penegakan hukum di Indonesia masih memerlukan nafas panjang dan menuntut kerja keras dari banyak pihak untuk bahu-membahu menyehatkan institusi 'sakit' tersebut.
ADVERTISEMENT

Sambo, Kanjuruhan dan Teddy

Hari-hari belakangan ini penuh dengan berita yang runyam. Selama berhari-hari kasus mantan perwira tinggi Polri yakni Inspektur Jenderal (Pol) Ferdy Sambo yang membuat geger bangsa ini. Kasusnya adalah yang bersangkutan membunuh ajudannya bernama Brigadir (Pol) Novriansyah Yoshua Hutabarat.
Dengan berbagai dalih yang dilontarkan pihak Sambo, yang jelas Yoshua sudah meninggal. Pelakunya sudah mengaku, barang buktinya ada dan skemanya terungkap. Intinya adalah pembunuhan berencana.
Belum juga kasus ini tuntas, muncul berita (saat tulisan ini disusun) sejumlah 750 suporter sepakbola menjadi korban kericuhan yang 132 diantaranya meninggal dunia di Kanjuruhan, Malang. Kerusuhan itu dipicu karena soal tidak terima terhadap skor hasil pertandingan sepakbola Arema VS Persebaya. Dengan maksud menghalau agar tidak terjadi keributan yang lebih besar, pihak keamanan menembakkan gas air mata. Alih-alih dapat mengendalikan situasi, justru para suporter itu panik akibat tembakan gas air mata yang memicu desakan keluar stadion dari para supporter. Sehingga yang terjadi justru munculnya ratusan korban jiwa yang sebagian diantaranya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Akibat dari tragedi Kanjuruhan itu, berujung pada kebijakan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang mencopot Kapolda Jawa Timur, Irjen (Pol) Nico Afinta dan kemudian digantikan oleh Irjen (Pol) Teddy Minahasa. Belum juga serah terima jabatan Kapolda Jatim, Pak Teddy ini pun tersandung kasus narkoba, sehingga hal ini juga membuat semakin runyamnya persoalan institusi kepolisian yang tengah diterpa kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota kepolisian itu sendiri.
Kalau kita ditanya, apakah masih perlu polisi itu? Mungkin Sebagian dari kita ada yang menjawab perlu dan tidak perlu. Bagi yang menjawab perlu akan beralasan bahwa kalau tidak ada polisi, siapa yang akan menjaga keamanan dalam negeri. Nanti orang bisa leluasa mencuri, tanpa merasa diintai oleh sesuatu yang akan meringkusnya. Kala orang memakai narkoba, dia juga tak perlu risau dengan resiko ditangkap dan dijerat pasal. Juga bagi orang yang tidak suka dengan lawannya, mungkin lawan politik atau lawan bisnisnya, orang itu bisa membunuh lawannya secara semena-mena karena memang tidak ada yang akan menjeratnya dengan hukuman.
ADVERTISEMENT
Bagi yang menjawab tidak perlu, mungkin jawabannya adalah, misalkan dalam hal angkatan bersenjata, kita punya TNI. Dalam hal pertahanan sipil, kan kita punya Hansip. Dalam hal keamanan sehari-hari, kita tinggal menambah jumlah Satpam.
Ada seorang kawan mengatakan, sepertinya kita membutuhkan Angkatan ke-5 seperti ide PKI dulu. Maksudnya, tidak hanya TNI, Hansip dan Satpam tetapi juga buruh dan petani juga dipersenjatai dan dilatih kemampuan perangnya. Jadi, warga sipil dipersenjatai untuk menjaga dan membela diri mereka sendiri.
Menurut saya, berpikir dan membicarakan hal demikian itu tidak keliru. Selain karena jaminan kebebasan berbicara, ini adalah bentuk kepedulian orang terhadap polisi dan institusinya. Tetapi bisa jadi, orang sedang muak terhadap kelakuan petugas keamanan dan penegak hukum itu.
ADVERTISEMENT
Secara sosiologis, resiko dari penegakan hukum yang amburadul adalah hilangnya wibawa hukum dari masyarakatnya. Artinya, sistem hukum tidak ditaati oleh masyarakat. Karena suatu sistem hukum seharusnya adalah representasi dari situasi dan kondisi sosial kebudayaan masyarakat, sehingga harus mengakomodir rasa keadilan bagi masyarakat. Jika rasa keadilan dinilai tidak dapat ditegakkan oleh aparat penegak hukum, berikutnya akan melahirkan problematika sosial yang semakin rumit.

Kontradiksi Antara Cita dan Citra

Tuhan mengatakan bahwa Dia membenci perilaku orang-orang yang hanya bisa berkata tentang sesuatu, tetapi dirinya sendiri tidak melakukan apa yang ia katakan (Q.S. As-Saff: 3). Ini menjadi semacam sinyal, bahwa siapa yang beriman pada-Nya, ia harus konsisten antara pengetahuan ideal yang ada dalam dirinya dengan operasionalisasi amal perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Artidjo Alkostar (1997) dalam Pembangunan Hukum dan Keadilan dalam Realita dan Idealita menyatakan bahwa moral yang baik dan mental yang prima adalah determinasi dalam optimalisasi penegakan hukum. Artinya, keteladanan adalah prasyarat yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum. Jika tidak ada keteladanan, berarti terjadi kesenjangan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang sesungguhnya terjadi (das sein), antara yang normatif dengan yang deskriptif.
Cita besar kepolisian berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI adalah menjadi alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Tap. MPR RI No. VII/MPR/2000).
Tetapi dewasa ini, kita melihat kesenjangan itu nyata-nyata terjadi akibat (salah satunya) perilaku penegak hukum yang tidak memelihara hukum itu sendiri. Polisi membunuh polisi, polisi menjual narkoba, hakim bisa disuap dan sebagainya. Hal-hal semacam ini menyebabkan menurunnya atau bahkan hilangnya wibawa hukum dihadapan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Wajar, bila pada 14 Oktober 2022, Presiden RI Joko Widodo memanggil jajaran Polri, mulai dari para pejabat utama Mabes Polri, kapolda, hingga kapolres seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta. Hal ini penulis maknai sebagai kekhawatiran Presiden terhadap citra polri, yang merupakan penegak hukum dan sehari-hari langsung berhadap-hadapan dengan masyarakat. Berikut ini poin yang saya kutip dari laman Sekretariat Kabinet RI,
ADVERTISEMENT
Pertama, pungutan liar (pungli). Pungli adalah pungutan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan pribadi oknum petugas dan atau bertujuan kepentingan tertentu individu, masyarakat terhadap uang negara dan atau anggota masyarakat yang dipungut secara tidak sah. Sebenarnya, pungli ini tidak hanya menjadi borok lembaga kepolisian, akan tetapi juga beberapa lembaga yang berperan pelayanan publik. Berdasarkan keterangan Ombudsman RI pada 2021, telah terjadi suap dengan persentase 41% di pelayanan kepolisian, dukcapil dan lembaga pendidikan. Yang mana hal ini melampaui rata-rata fenomena suap di Asia sebesar 23%.
Dalam pengalaman penulis pribadi, pernah memiliki urusan di kantor Samsat atau kantor Polresta untuk keperluan BPKB, STNK , cek fisik atau membuat SIM memang sangat rentan terjadi pungli.
ADVERTISEMENT
Memang kita harus memahami apa itu korupsi, yang mungkin secara tidak sadar kita telah ikut serta dalam perilaku koruptif tersebut. Karena korupsi, suap, kolusi, nepotisme dan sebagainya itu hakikatnya adalah manipulatif. Manipulatif adalah perilaku curang. Dan kecurangan adalah musuh kemanusiaan, musuh agama dan musuh negara.
Kedua, gaya-gaya oknum polisi dalam menyelesaikan persoalan warga sipil yang sewenang-wenang. Kekerasan juga masih menjadi upaya andalan dalam menyelesaikan kasus-kasus warga sipil. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat pada rentang Juli 2021 hingga Juni 2022 terdapat 677 kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi.
Pada tahun 2022 ini, telah terjadi kasus-kasus salah tangkap yang dilakukan oleh polisi, tetapi sudah dilakukan upaya-upaya penganiayaan secara brutal sebelum pengadilan. Beberapa pengakuan yang dimuat oleh insan-insan media Indonesia memperlihatkan bahwa secara operasional, banyak oknum polisi sangat menyalahi prinsip bahwa ada hak orang yang diduga itu untuk tidak disiksa, tidak boleh diperlakuan secara sewenang-wenang dan harus tetap diperlakukan secara manusiawi sampai terbukti bersalah di pengadilan (Peraturan Kapolri no. 8 tahun 2009).
ADVERTISEMENT
Sebagian orang Indonesia pasti mengetahui baik dari berita, media sosial atau secara langsung mengenai bagaimana represifitas polisi itu dilancarkan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan sepanjang 2020-2021 sebesar 41% kekerasan dilakukan oleh polisi dari 1.162 kasus. Dari 70% jenis kekerasannya, polisi telah mengabaikan hak warga dalam mendapatkan keadilan. Sedangkan dari bentuk kekerasannya adalah penyiksaan, kriminalisasi dan tidak cekatan dalam menegakkan hukum.
Bertebaran di media massa mengenai catatan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi mulai dari menghajar anak buah, memperkosa, membanting mahasiswa, menolak laporan warga, penembakan anggota FPI, mengintimidasi warga dan sebagainya yang intinya adalah penegakan hukum yang suram.
Ketiga, soal gaya hidup polisi yang dinilai suka bermewah-mewahan ini juga sempat disinggung oleh Presiden RI Joko Widodo. Pada sisi lain, ini bersamaan dengan viralnya harta kekayaan Irjen (Pol) Teddy Minahasa yang menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK mencapai 29,9 miliar.
ADVERTISEMENT
Bukan pada persoalan total harta kekayaan, tetapi kepada moral di balik gaya hidup mewah (hedon) dan berujung pada sikap pamer itu (flexing). Saya rasa tidak hanya untuk polisi, tetapi nilai ini bersifat universal, bagi siapa saja. Tetapi dalam konteks kepolisian dan penegakan hukum, inikah keteladanan yang diberikan Polri pada masyarakat?
Jika, kepolisian adalah profesi yang dapat membuat seseorang menjadi kaya dan bergaya hidup mewah, berapakah total kompensasi yang harus diterima? Cukupkah kompensasi yang selama ini diberikan negara untuk membiayainya? Maka dari itu, wajar bila orang curiga. Dan kabarnya, masih ada beberapa lagi polisi yang masuk dalam daftar polisi terkaya versi LHKPN KPK RI.
Seharusnya perlu ditandai bahwa dalam persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi, bangsa kita belum tuntas. Jadi selain berdosa kepada Tuhan, bermewah-mewahan atau berlebihan serta flexing adalah perbuatan dzalim kepada sesama anak bangsa.
ADVERTISEMENT

Spirit Sejarah Polisi dan Kebersamaannya dengan Rakyat

Suramnya wajah kepolisian, mengharuskan kita menilik kembali spirit apa dan bagaimana polisi itu seharusnya membaur dengan masyarakat. Sehingga hal ini diharapkan sebagai bahan refleksi untuk segera berbenah, ketika kepolisian kita sudah sangat jauh dari cita.
Pada 1943, Jepang mendirikan suatu lembaga pendidikan militer yang dimaksudkan untuk menggembleng pemuda Hindia-Belanda. Lembaga itu bernama sekolah polisi. Selain mempelajari pengetahuan dan latihan kepolisian, sekolah ini juga berlatih militer. Setelah lulus, lulusan sekolah ini ditempatkan di suatu wadah bernama korps kepolisian khusus.
Korps itulah yang mana sebelum memiliki tentara, bangsa Indonesia hanya memiliki kesatuan tempur militer (militaire strijdkracht) yang bernama Tokubetsu Keikatsu Tai atau Polisi Istimewa (PI).
Awalnya, PI didirikan oleh Jepang untuk menjaga situasi dan kondisi keamanan wilayah jajahannya. Namun karena mendengar kabar bahwa sudah diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, pada 21 Agustus 1945 oleh seorang bernama Moehammad Jasin, Komandan PI Jawa Timur, ia turut memproklamirkan PI sebagai Polisi Republik Indonesia (PRI).
ADVERTISEMENT
Meskipun saat itu ada Kyodo Boei Giyugun atau PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk pada 3 Oktober 1943. PETA adalah sebuah pasukan yang dilatih secara militer oleh Jepang.
Namun menjelang kemerdekaan yang mana bagi bangsa Indonesia, awalnya PETA diproyeksikan sebagai langkah persiapan menuju kemerdekaan, justru PETA tidak secara institusional aktif melakukan perlawanan karena senjata pasukan PETA telah dilucuti oleh Jepang akibat memberontak.
Pemberontakan ini disebabkan para pemuda PETA perlahan-lahan mulai mendengar kabar kekalahan Jepang sejak Januari 1945. Sehingga pada Februari 1945, PETA memberontak dengan merebut gudang senjata di Blitar. Karena dinilai offside dari kepentingan Jepang, akhirnya Jepang melucuti senjata PETA pada 15 Agustus 1945. PETA juga dibubarkan, karena Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Jepang harus menelan pil pahit ketika bom atom dijatuhkan oleh Sekutu di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Selain itu, tujuan pembentukan PETA bagi Jepang hanya untuk dimanfaatkan sebagai pasukan perbantuan dalam Perang Dunia (PD) II.
ADVERTISEMENT
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, ternyata tidak semata-mata membuat bangsa Indonesia bebas dari belenggu imperialisme. Inilah yang kemudian pada 10 November 1945 menyebabkan puncak meletupnya kemarahan ‘Arek-Arek Suroboyo’ kepada Inggris.
Saat-saat momentum perjuangan fisik inilah, Polisi Istimewa (PI) memberikan peran yang besar pada sektor militer. Bung Tomo dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010) memberikan kesaksiannya bahwa,
Dari sumber yang sama, Jenderal (TNI) M. Wahyu Sudarto memberikan kesaksian bahwa seorang Moehammad Jasin-lah, sang komandan PI yang memimpin pasukan tempur. Kalau bung Tomo berperan dalam ‘mengompor-ngompori’ rakyat, pak Jasin berperan ‘mengompor-ngompori’ pasukan tempur. Saat itu, kesatuannya hanya beberapa ratus orang saja. Bisa dikatakan cukup kecil. Karena kecil, ia bergabung dengan rakyat untuk mengusir Jepang. Ketika rakyat bergerak, di tengah-tengahnya ada truk milik PI lengkap dengan senjata mesin. Melihat gelombang rakyat seperti itu, ditambah sudah kalah dari Sekutu, akhirnya Jepang menyerah kepada Republik Indonesia. Kemudian, pada saat Inggris mendarat di Surabaya pada 28 Oktober 1945, ‘arek-arek Suroboyo’ juga tidak bisa segalak itu kalau tidak ada pak Jasin.
ADVERTISEMENT
Dari sedikit cuplikan ini dapat kita petik suatu pelajaran bahwa spirit keberadaan polisi adalah bersama-sama dengan rakyat untuk melepaskan dari belenggu-belenggu imperialisme.
Pada kenyataan sejarahnya, polisi pun juga turut membersamai rakyat untuk menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga wajar, jika rakyat menginginkan polisi yang dapat mengayomi, melindungi dan melayani rakyat. Bukan justru menjadi sewenang-wenang dan menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan warga sipil.

Kekerasan dan Kesewenang-Wenangan Sejak Pendidikan Kepolisian

Praktik kekerasan yang terjadi di Akademi Kepolisian (Akpol) kabarnya sudah terjadi sejak lama. Kekerasan itu dilakukan oleh senior kepada junior dalam bentuk hukuman yang tidak masuk akal. Dari pemukulan, perintah praktik posisi tubuh yang tak wajar, penyetruman hingga kematian karena penyiksaan. Akibat dari kekerasan itu, ada yang hingga cacat fisik dan harus dipulangkan oleh Akpol dan otomatis tidak jadi polisi. Senior yang melakukan kekerasan pun hanya dihukum turun tingkat.
ADVERTISEMENT
Gubernur Akpol sering merasa kesulitan dalam mengusut kasus ini karena keharusan untuk membuktikan kekerasan itu. Meskipun ada hasil medis yang menerangkannya, tetapi kadang pembuktian menjadi sulit karena korban tak menyebut nama pelaku kalau dirinya disiksa oleh seniornya.
Dalam sebuah rilis, Tempo dalam Serial Investigasi: Tradisi Brutal di Akademi Polisi (2019) melaporkan sebanyak 84,4% junior di Akpol pernah mengalami pemukulan atau kekerasan. Meskipun, sebanyak 78,4% mereka mengetahui bahwa memberikan hukuman berlebihan kepada Taruna baru itu dilarang.
Masih dari sumber yang sama, menurut kesaksian dari Komjen (Purn) Oegroseno mengaku bahwa dirinya dulu juga sempat mengalami pemukulan. Menurutnya, hal ini disebabkan banyak pengasuh yang bekerja secara moodian karena merasa dibuang, tidak diapresiasi, sehingga program pengasuhan diserahkan kepada taruna senior dan berakibat terjadinya kelalaian dalam pengawasan.
ADVERTISEMENT
Jika hal ini terus menerus terjadi, maka ini hanya akan melahirkan monster-monster brutal yang hanya menjadi tukang gebuk pemerintah. Tentu hal ini sangat tidak relevan dengan tugas pokok polisi yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (UU. No. 2 th. 2002).

Nafas Panjang Reformasi Polri: Kepemimpinan, Intelektual dan Kultural

Nampaknya, Polri memang tidak akan mampu bekerja sendiri tanpa partisipasi dari berbagai pihak. Kita dapat memahami bagaimana rumitnya persoalan di kepolisian itu. Tetapi, poin besarnya adalah polisi masih perlu ada, dan perlu diselamatkan.
Reformasi institusi kepolisian dan pengaruhnya kepada penegakan hukum di Indonesia masih memerlukan nafas panjang dalam upayanya. Mengingat berdasarkan ketetapan MPR RI No. VII/2000 yang menyatakan bahwa Polri bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal yang membuat kita berpikir adalah pertama, haruslah dia yang memiliki kemampuan dan kekuatan leadership yang akan menyelesaikan persoalan bangsa ini. Tidak bisa mereka yang disandera oleh kepentingan oligarki dan partai politik saja untuk memimpin Republik besar ini. Meskipun seorang Kapolri itu adalah orang yang berintegritas, tanpa back up dari Presiden dan rakyat Indonesia, maka Kapolri tidak akan bisa bergerak leluasa.
Kedua, soal intelektual. Pada tataran pendidikan, tuntutan untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat memerlukan sentuhan-sentuhan pendidikan polisi yang lebih humanis dan sedikit demokratis. Polisi bukan tentara. Kepolisian adalah organisasi sipil, meskipun dibekali senjata. Dalam menggunakan senjata itu pun memiliki prinsip-prinsipnya tersendiri.
Keseriusan penguasa dalam menyelesaikan persoalan ini adalah pemeriksaan ulang terhadap kurikulum,pengawasan yang konsisten dan manajerial sumber daya manusiaatas dalam institusi pendidikan polisi. Hal ini didasari pandangan bahwa pendidikan polisi, apapun jenjangnya harus bersih dari perilaku-perilaku brutal, kesewenang-wenangan dan feodalisme.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kultural. Ini juga merupakan pekerjaan panjang. Mengingat sejak 1969, Polri menjadi salah satu matra dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Meski sejak 1999, Polri sudah tidak menjadi angkatan bersenjata lagi, tetapi gaya militernya belum terkikis habis. Jadi, wajar bila polisi masih kemiliter-militeran.
Dulu, polri sering mencicipi latihan militer bersama TNI saat masih ada di dalam ABRI. Karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab bersama jangka panjang dalam mewujudkan polisi sipil yang betul-betul dapat melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Tidak ada lagi cerita, kalau kita kehilangan motor dan melapor polisi, maka kita akan kehilangan mobil sekalian.
Selain itu, gaya hedon dan flexing oknum polisi juga harus menjadi bahan evaluasi dan pencarian solusi bersama. Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa itu adalah hak dari masing-masing individu. Faktanya, itu disinggung langsung oleh Presiden, dan tentu ini adalah bermakna arahan.
ADVERTISEMENT
Profesi polisi yang notebene adalah abdi negara dan berseragam, telah disalahpahami dengan praktik-praktik suap dan nepotisme oleh sebagian kalangan masyarakat. Komersialisasi ini berdampak langsung kepada psikis anggota polisi sehingga memiliki mentalitas penindas, baik secara vertikal (atasan kepada bawahan), maupun secara horizontal (kepada sesama rekan dan masyarakat pada umumnya).
Kabar tentang seleksi masuk polisi yang seringkali terdapat kejanggalan juga bukan lagi menjadi rahasia. Sisi baiknya, animo masyarakat untuk menjadi polisi cukup kuat. Sisi buruknya, animo yang kuat itu tidak dikendalikan dengan nilai-nilai yang luhur, sehingga menghalalkan segala cara untuk sekedar menjadi polisi dalam mencari kekayaan, kehormatan dan kedudukan di mata umum. Akhirnya, suap dan nepotis turut serta menjadi wajah rekrutmen anggota Polri.
ADVERTISEMENT
Selain memiliki mental penindas, hal tersebut juga menyebabkan salah kaprahnya perilaku oknum polisi dan keluarganya dengan gaya-gaya hedon dan flexing. Ini adalah penyakit mental dan sosial. Jika tidak disadari dan diselesaikan, maka akan memicu berbagai problem yang akan menjadi bumerang bagi Polri, baik secara institusi maupun masing-masing anggotanya. Bumerang itu bisa berbentuk kecemburuan, kesenjangan, turunnya marwah Polri dan lebih jauh lagi adalah hilangnya harga diri bangsa Indonesia di mata dunia karena tidak bisa menegakkan dan menjaga wibawa hukumnya sendiri.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan menggurui keluarga besar Polri, memang ini memerlukan waktu panjang dan kerja sama internal yang baik, baik dari segi doktrin, budaya dan manajemen organisasi. Senior-junior, atasan-bawahan harus sama-sama memegang teguh hal ini. Dan juga dukungan dari eksternal, Presiden, lembaga-lembaga terkait dan rakyat Indonesia pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, jika kelak kita ingin menyaksikan atau mewariskan wajah kepolisian yang baik, itu dimulai dari kita memilih pemimpin. Pada masa yang akan datang, kita membutuhkan pemimpin yang tidak disandera oleh oligarki dan partai politik serta transaksi-transaksi elit jangka pendek yang merusak nasib sebagian besar elemen bangsa. Sebaliknya, haruslah ia yang memihak pada kebenaran, perbaikan-perbaikan pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, pemerataan keadilan dan lingkungan yang sehat.
Kepemimpinan nasional yang kokoh dan berpihak pada kebenaran akan memicu sehatnya lembaga-lembaga negara, termasuk kepolisian. Sebaliknya, kepemimpinan yang didasarkan hanya pada transaksi-transaksi politik hanya akan menghasilkan tersanderanya demokrasi dan berlanjut pada suramnya penegakan hukum. Ini adalah proyek besar dan jangka panjang yang tidak bisa dikerjakan orang per orang, kelompok per kelompok tetapi segenap elemen bangsa.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sebagai warga sipil biasa, jangan takut dan berhenti bersuara melalui saluran media yang tersedia. Partisipasi publik adalah prasyarat untuk melakukan perbaikan lembaga kepolisian. Dewasa ini, jika tanpa pengawasan dari segenap rakyat, siapa yang dapat menjamin bahwa kejahatan itu akan ditindak?
---

Referensi:

Alkostar, A (1997) Pembangunan Hukum dan Keadilan dalam Realita dan Idealita. Unisia No. 33/XVIII/I/1997. Tersedia pada: https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/view/5701/5129
Indikator (2022) Persepsi Publik terhadap Kasus Sambo: Antara Penegakan Hukum dan Harapan Warga. Tersedia pada: https://indikator.co.id/rilis-survei-25-agustus-2022/ (Diakses pada 16 Oktober 2022)
Jasin, M (2010) Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustama Utama.
Komisi Pemberantasan Korupsi RI (2021) Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Tersedia pada: https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/check_search_announ#announ (Diakses pada 15 Oktober 2022)
ADVERTISEMENT
KontraS (2022) Persisi: Perbaikan Palsu Institusi Polisi. Tersedia pada: https://kontras.org/2022/06/30/laporan-hari-bhayangkara-kontras-2022-persisi-perbaikan-palsu-institusi-polisi-2/ (Diakses: 14 Oktober 2022).
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (2000) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Tersedia pada: https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe81e8bf92e/ketetapan-mpr-nomor-vii-mpr-2000-tahun-2000
Pusat Data dan Analisis Tempo (2019) Serial Investigasi: Tradisi brutal di Akademi Polisi. Jakarta: Tempo Publishing.
Pusat Data dan Analisis Tempo (2021) Polisi-Tentara di Simpang Sejarah. Jakarta: Tempo Publishing.
Sekretariat Kabinet RI (2022) Lima Arahan Presiden Jokowi kepada Jajaran Polri. Tersedia pada: https://setkab.go.id/lima-arahan-presiden-jokowi-kepada-jajaran-polri/ (Diakses: 14 Oktober 2022).
Tempo (2022) Komnas HAM Sebut Kepolisian Tempati Posisi Teratas Kasus Kekerasan. Tersedia pada: https://nasional.tempo.co/read/1550862/komnas-ham-sebut-kepolisian-tempati-posisi-teratas-kasus-kekerasan (Diakses: 14 Oktober 2022).