Konten dari Pengguna

Perguruan Tinggi dan Kematian Intelektualisme

Alfi Abdillah Ramadhani
Yogyakarta - Indonesia
4 Mei 2023 19:07 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Abdillah Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Judul artikel ini terinspirasi dari sebuah karya terjemahan bahasa Indonesia dari Prof. Tom Nichols yang berjudul Matinya Kepakaran atau dalam judul aslinya yakni The Death of Expertise, yang terbit pada 2017.
ADVERTISEMENT
Salah satu pembahasan yang menarik bagi saya dan “nyambung” dengan dunia pendidikan kita di Indonesia adalah perubahan orientasi pendidikan tinggi baik dari pihak perguruan tinggi maupun pelajar/mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Misalanya, orientasi yang tadinya mengarah pada nilai dan kualitas tinggi gelar akademik, kini menjadi obralan pinggir jalan yang merendahkan dunia akademik itu sendiri.
Beberapa fakta dunia pendidikan di Indonesia yang setidaknya saat artikel ini ditulis dan juga sebagai pembatas dalam pembahasan ini adalah pertama, sistem pendidikan yang memicu perilaku korupsi dan Kedua, rendahnya mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tentu ini tidak dapat mencakup kompleksitas persoalan dunia pendidikan di Indonesia secara komprehensif. Bahasan mengenai lain-lain, akan diuraikan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
ADVERTISEMENT

Sistem Pendidikan yang Korup: Via Seleksi Masuk dan Praktik Jual Beli Ijazah

Korupnya dunia pendidikan di Indonesia sudah bukan lagi menjadi rahasia internal. Mencuatnya berita-berita mengenai korupsi di dunia pendidikan ini adalah pertanda bahwa perilaku rasuah tersebut telah menyusup secara masif dan meracuni sanubari kaum intelektual kita.
Salah satu hal yang memicu perilaku korupsi ini adalah seleksi jalur masuk perguruan tinggi. Yang disebut-sebut belakangan adalah jalur seleksi mandiri, yang dinilai oleh sebagian pihak sebagai pintu masuk kejahatan luar biasa tersebut.
Hingga bulan April 2023 ini, mencuat dua rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menjadi tersangka kasus korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) pada jalur seleksi mandiri.
Masih pada tahun 2023, persoalan lain yang tak sedap serta mewarnai dinamika dunia pendidikan tinggi Indonesia pada bulan Maret adalah skandal jual-beli ijazah di perguruan tinggi. Diberitakan bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Bone menahan Direktur PDAM Bone Andi Sofyan Galigo terkait kasus jual beli ijazah.
ADVERTISEMENT
Andi ditahan bersama 12 orang lainnya dari pihak kampus yang kerap menjual ijazah di kisaran harga Rp 7 juta hingga Rp 10 juta. Bentuknya adalah semacam ada kerjasama terselubung antara oknum perusahaan daerah tersebut dengan oknum dari lembaga penyelenggara pendidikan tinggi agar mau mengeluarkan ijazah bagi karyawan perusahaan tanpa proses perkuliahan yang semestinya.
Pada Februari 2023, ditemukan kasus serupa di salah satu PTS di Gorontalo. Oknum yang berjumlah dua orang yakni Kaprodi dan tenaga kependidikan dari pihak universitas ini, mengiming-imingi para mahasiswa dengan mendapatkan ijazah tanpa harus mengikuti perkuliahan dengan tarif mulai dari 4 juta rupiah. Seorang korban yang merasa tertipu pun melaporkan bahwa dia telah menggelontorkan dana sejumlah 48 juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Agak mundur ke belakang pada 2018 lalu, mencuat kabar yang beredar bahwa telah dikeluarkan ijazah “bodong” oleh beberapa Perguruan Tinggi Swasta. Menurut Mawa Kresna (2018) dalam artikel berjudul Sindikat Jual Beli Ijazah Bodong di Kemenristekdikti, tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemendikbudristek saat itu, memiliki sejumlah temuan janggal. Temuan itu berupa 728 ijazah yang dikeluarkan tanpa dasar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Kemudian pada tahun 2017, PTS tersebut juga meluluskan 145 mahasiswa tapi merilis 873 lembar ijazah. Selain itu, jumlah skripsi tak sebanding lulusan mahasiswanya. Sejak 2014 sampai Maret 2018, ada 2.033 mahasiswa yang diluluskan PTS tersebut, tapi hanya 38 skripsi yang dibuat di kampus tersebut.
Pada tahun 2015, tim EKA tersebut juga pernah mendapati tarif yang dipatok untuk mendapat ijazah bodong yakni sebesar 5 juta rupiah. Inilah kemudian yang disebut sebagai praktik jual beli ijazah bodong. Di sisi lain, ini adalah makna bahwa kualitas, relevansi serta manajemen pendidikan kita masih rapuh, sehingga rentan terhadap berbagai penyelewengan.
ADVERTISEMENT

Rendahnya Mutu Pendidikan Tinggi: Paradoks Pendidikan dan Pembangunan

Mutu pendidikan tinggi adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan standar pendidikan tinggi, yang terdiri dari standar secara nasional dan standar domestik perguruan tinggi penyelenggara pendidikan tinggi. Hal ini memang dapat memicu berbagai perbedaan standar satu perguruan tinggi dengan yang lainnya.
Secara normatif, berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa standar nasional pendidikan tinggi diukur dengan 3 kriteria. Pertama, mengenai standar pendidikan secara nasional. Kedua, mengenai standar penelitian, dan yang ketiga, standar mengenai pengabdian kepada masyarakat.
Standar pendidikan secara nasional mencakup 8 indikator (baca: Permendikbud RI no. 3 tahun 2020), yang salah satunya adalah standar kompetensi lulusan. Salah satu standar ini (selain pengetahuan dan keterampilan) adalah kompetensi minimal dari lulusan perguruan tinggi yakni sikap, sikap yang mewujud dalam perilaku yang benar dan berbudaya.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita mengalami kesulitan dalam mengukur indikator mutu yang pertama ini, karena sulit untuk mengkuantifikasi secara agregat. Apa itu perilaku benar? Apa itu perilaku berbudaya? Kita akan cenderung berbeda dalam menjawab pertanyaan itu.
Tetapi, untuk menarik benang merah pada kesulitan itu, kita memiliki landasan normatif tertinggi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila. Apakah sikap-sikap seperti ulasan sebelumnya itu Pancasilais, dalam arti benar dan berbudaya?
Saepudin (2004) dalam jurnal berjudul Problematika dan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia menyatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia selalu dihadapkan pada 3 persoalan. Pertama, rendahnya pemerataan dalam akses pendidikan. Kedua, rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan. Ketiga, lemahnya manajemen pendidikan.
Berdasarkan catatan BPS RI pada tahun 2022, jumlah mahasiswa Indonesia, baik PTN atau PTS berjumlah 7,90 juta. Sedangkan, jumlah penduduk usia 20-24 yang dapat kita asumsikan sebagai penduduk yang sedang menempuh pendidikan tinggi jenjang diploma maupun sarjana berjumlah 22,49 juta. Artinya, hanya 35% penduduk usia 20-24 yang mengenyam pendidikan tinggi tersebut. Kemungkinan, ini adalah bentuk ketimpangan dalam akses pendidikan yang juga ditengarai oleh ketimpangan ekonomi, disebabkan biaya pendidikan yang mahal. Ini adalah paradoks pertama antara pendidikan dan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Pembangunan dalam berbagai aspek, termasuk aspek perekonomian misalnya, mensyaratkan manusia terdidik sebagai komponen utama, yakni subjek sekaligus objek pembangunan. Tetapi, dalam upaya mendidik manusia, justru memerlukan biaya yang mahal sekaligus dihinggapi mafia-mafia korup yang hidup di dalamnya.
Kemudian, rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan ini juga sangat ditentukan oleh pihak perguruan tinggi itu sendiri. Semakin banyak skandal yang diproduksi oleh perguruan tinggi, maka di saat yang sama itulah, masyarakat awam yang dalam bahasa jawa turut menilai bahwa gae opo kuliah, mending ndang kerjo terus rabi (untuk apa kuliah, mending kerja setelah itu menikah).
Sebenarnya ini persepsi yang harus diluruskan dan menjadi tanggung jawab utama dari perguruan tinggi untuk menampilkan lulusan-lulusan yang memang kompeten dan berintegritas tinggi pula. Kuliah adalah wilayah pendidikan, sehingga manusia menjadi utuh karenanya. Jadi, memang output yang pertama dan utama dari insan terdidik adalah cerminan sikap dan mentalitasnya. Sedangkan kerja adalah wilayah profesional, yang memiliki pendekatan tersendiri yang mungkin saja berbeda saat kita mengenyam bangku pendidikan. Jika tidak segera diluruskan, maka memang barangkali pendidikan tinggi dipandang tidak penting dan tidak perlu bagi masyarakat, bahkan hanya buang-buang uang saja.
ADVERTISEMENT
Kita buat permisalan. Misalnya, dari 143 juta penduduk angkatan kerja Indonesia, sebagian besarnya tidak mengenyam pendidikan tinggi, lantas bagaiamana kita mampu bersaing dengan dunia internasional? Di sini paradoks yang kedua.
Klaim dari pemerintah RI, yang diwakili oleh Kementerian Keuangan RI menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan mendapat jatah alokasi terbesar dalam APBN 2023. Dalam sektor pendidikan, sebesar 612,2 triliun rupiah dialokasikan bagi sektor tersebut. Tetapi, masalah sektor pendidikan ini bukan hanya masalah anggaran, tetapi juga masalah komitmen. Hingga saat ini, dengan anggaran yang semakin besar, belum juga menempatkan pendidikan Indonesia pada jajaran teratas sebagai sistem pendidikan terbaik dunia.
Di Indonesia saja, dari 3.107 PTN dan PTS (BPS, 2022), yang masuk sebagai kategori terbaik, ya perguruan tinggi itu-itu saja. Saya tidak bisa sebutkan yang bagus-bagus itu, karena bagus ini menurut siapa dan indikatornya apa dulu. Tetapi, jauh daripada itu, ribuan yang lain itu kemana? Apa hilang dia, dalam peredaran?
ADVERTISEMENT
Mengenai manajemen pendidikan, menurut saya, gambaran kasar mengenai buruknya manajemen pendidikan sudah terulas pada sub-judul sebelumnya. Saya pikir, saudara pembaca bisa mencari dan melihat data mengenai wajah suram pendidikan tinggi di Indonesia itu. Karena menurut saya, mungkin ada perguruan tinggi yang skandalnya tidak mencuat ke ranah publik, sehingga tidak diketahui oleh khalayak umum.

Kematian Intelektualisme Secara Laten dan Sistemik

Kini, perguruan tinggi tak lagi istimewa. Lulus dari sana, bukan lagi menjadi penanda bahwa seseorang itu layak disebut sebagai cendekiawan. Bahkan, perkara kompetensi pun banyak yang meragukan. Perguruan tinggi sudah menjadi sensasi umum, yang “dapurnya” sudah banyak diketahui orang.
Tetapi, tren menunjukkan bahwa ada peningkatan dari waktu ke waktu tentang jumlah orang yang terdaftar sebagai mahasiswa perguruan tinggi. Di saat yang sama, potensi tergerusnya makna hakiki dari pendidikan tinggi juga di depan mata. Dan ini, terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejak pikiran, hari ini kita cenderung menjadi orang yang tidak mampu menghormati pembelajaran dan keahlian. Selain disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, justru hal ini disebabkan oleh perguruan tinggi itu sendiri.
Perguruan tinggi bertransformasi menjadi perusahaan yang menitikberatkan seluruh analisa dan keputusannya kepada selera pasar. Tetapi, ini memang dilematis. Pada satu sisi, ini adalah perubahan yang mesti dihadapi. Pada sisi lain, ini adalah ancaman terhadap substansi keberadaan perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Mau tidak mau, suka tidak suka, ini secara sistematis membentur wajah pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi.
Kebutuhan pembangunan akan SDM yang unggul, juga menuntut peningkatan kualitasnya. Peningkatan ini dilakukan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Rasio antara jumlah penduduk yang besar dengan jumlah perguruan tinggi unggul sangat timpang. Kampus-kampus unggul masih terpusat di pulau Jawa. Sedangkan, yang harus menikmati kue pendidikan unggul bukan hanya wilayah Jawa, tetapi seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ini memicu kampus-kampus (swasta khususnya) untuk menyusun strategi menarik calon-calon mahasiswa yang belum diterima di Universitas satu, untuk mendaftar pada Universitas yang lain. Di kampus tersebut, mahasiswa tadi dipatok dengan tarif yang beragam, tetapi umumnya mahal. Kemudian, dirinya dimanjakan oleh berbagai fasilitas mewah, sehingga dia hadir sebagai customer, bukan sebagai learner. Bukan esensi pendidikan yang ditampilkan, malah beradu kemewahan.
Gelar akademik bukan lagi pertanda bagi seseorang bahwa dia telah “berpendidikan”. Gelar akademik saat ini tak lebih dari sekedar tanda serah terima, karena sudah membayar dan menghabiskan beberapa waktu di perguruan tinggi tertentu.
Seharusnya, perguruan tinggi (swasta khususnya) memiliki kualifikasi yang lebih baik lagi dalam menerima calon mahasiswa. Kita merasakan dan menyadari bagaimana kualitas sekolah menengah kita belakangan ini, yang rasa-rasanya hanya bermain-main dengan waktu. Sejak dari sekolah menengah, bahkan sekolah dasar – kita telah memproduksi “sampah-sampah” yang akan belajar di perguruan tinggi, bahkan mengisi keberlangsungan Republik ini. Apakah kita sudah mampu menebak apa yang akan terjadi?
ADVERTISEMENT
Selama gambaran pendidikan kita seperti itu, gelontoran dana dari APBN sebesar 1.000 triliun rupiah pun saya rasa tak ada gunanya. Karena jangan-jangan, ada yang lebih pelik dari soal anggaran, yakni telah terjadi pembunuhan oleh orang-orang kita terhadap pengetahuan dan proses pembelajaran, yang dipicu oleh oknum-oknum garong berwajah intelek.