Konten dari Pengguna

Sumpah Pemuda dan Minderisme Kaum Muda Indonesia

Alfi Abdillah Ramadhani
Yogyakarta - Indonesia
1 Mei 2023 21:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Abdillah Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pengunjung mengamati diorama Kongres Pemuda kedua saat mengunjungi Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, Jumat (28/10/2022). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjung mengamati diorama Kongres Pemuda kedua saat mengunjungi Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, Jumat (28/10/2022). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Sumpah Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 dicatat sebagai hari ketika pemuda Indonesia menyatakan suatu kesepakatan yang menandai kesadaran nasionalisme bagi mereka. Hal ini menjadi bahan bakar untuk semakin mendekat kepada pintu gerbang kemerdekaan kala itu.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan menjadi suatu kata yang tersurat secara jelas di dalam UUD 1945. Hal ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa secara fundamental, bangsa Indonesia mempercayai bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa bangsa Indonesia tidak menghendaki penjajahan bagi segala bangsa.
Kemerdekaan dimaknai sebagai kedaulatan berpikir dan menentukan nasib sendiri bagi bangsa lain dalam berbagai aspek. Termasuk berupaya sedapat mungkin untuk percaya diri pada produk-produk sendiri, baik produk kebudayaan, teknologi dan ekonomi bahkan juga pendidikan. Namun kita justru latah dan minder dengan produk-produk kita sendiri.

K-Pop, Produk Impor dan Mixing Code

Jika pendahulu kita, pada saat itu berjuang untuk hidup merdeka, kita hari ini berjuang untuk hidup bahagia. Sekilas, hal itu memang tampak tidak keliru. Ada benarnya, kala orang hidup itu mengejar kebahagiaan. Tetapi, ini menunjukkan bahwa sesungguhnya, bangsa kita belum bahagia. Berarti, karena belum bahagia, secara otomatis belum sepenuhnya merdeka.
ADVERTISEMENT
Merdeka adalah suatu kedaulatan dalam berpikir dan menentukan nasib kita sendiri. Selama hampir 80 tahun usia kemerdekaan kita, kita barulah merdeka secara fisik, tetapi belum merdeka secara non-fisik. Bangsa ini masih dihinggapi oleh berbagai penyakit-penyakit mental yang mendasar, seperti kebodohan, hirarkisme-feodal, individualisme (mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama), normatifisme, ‘KKN’-isme, latahisme dan juga minderisme.
Secara perekonomian, dari menguatnya arus konsumerisme masyarakat Indonesia pada produk-produk langsung konsumsi, kesehatan dan kecantikan yang bisa diakses melalui e-commerce, sebesar 90%-nya adalah produk impor. Hanya sekitar 7% produk lokal dalam negeri yang barangnya ada di marketplace e-commerce.
Memang, pasar yang terbuka ini adalah manifestasi dari globalisasi perdagangan, tetapi kita dan khususnya pemerintah juga seharusnya memahami bahwa mayoritas orang Indonesia adalah rentan secara perekonomian. Faktanya, justru persaingan di marketplace itu semakin memperlebar kesenjangan.
Sejumlah penggemar membawa poster saat menyaksikan penyanyi KPOP Red Velvet dalam acara Allobank Festival di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (21/5/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Sekeras-kerasnya siapa pun yang berteriak soal ‘cintai produk dalam negeri’ bahkan juga ‘benci produk asing’, jika tidak diikuti oleh keberpihakan pemerintah dan stakeholder dalam negeri sepenuh hati, pikiran dan tindakan kepada sebagian besar rakyat Indonesia, maka sia-sia sajalah teriakan itu.
ADVERTISEMENT
Secara kebudayaan, sepanjang tahun 2020-2021, dari 20 negara, Indonesia berada pada peringkat ke-1 sebagai negara dengan k-popers terbanyak. Bagaimana dengan batik? Bagaimana dengan wayang? Bagaimana dengan reog ponorogo? Bagaimana dengan harapan sapi Madura? dan bagaimana dengan seluruh kebudayaan khas masyarakat Indonesia di mata kita?
Seringkali kita menjadi bangsa yang pemarah bukan lagi peramah, kala kebudayaan asli Indonesia itu diam-diam diambil dan dirawat oleh bangsa asing. Mengapa demikian itu terjadi? Karena kita ramai-ramai terhipnotis, terperangah dan memang nampaknya suka sekali dimanfaatkan sebagai pasar kebudayaan asing yang secara perspektif, kita terima sebagai budaya yang lebih bagus, lebih tinggi dan lebih modern.
Belum selesai pada perkara k-pop, muncul lagi fenomena mixing code di sebagian kalangan pemuda Indonesia. Mixing code diartikan sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Intinya adalah pencampuradukan bahasa. Hari-hari ini, rasa-rasanya hal ini marak terjadi.
ADVERTISEMENT
Meskipun pada sisi tertentu, ada sebagian pihak yang memandang sisi positif campur aduk ini. Misalnya, anda akan lebih berani menggunakan bahasa asing, kemudian itu adalah tolak ukur keterdidikan seseorang dan juga sebagai penanda kelas sosial.
Pada lain sisi, saya merasa justru ini adalah pintu rapuhnya nasionalisme kebudayaan pada pemuda yang sejak 1928 telah berupaya untuk diperkuat dan dipersatukan dengan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Tentunya, bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD dan EBI.
Saya pribadi tidak menaruh kebencian pada mereka yang melakukan mixing code, sama sekali tidak. Tetapi justru mengajak untuk bersama-sama kembali lebih membumikan bahasa Indonesia di atas bahasa asing. Karena saya melihat ini sebagai persoalan kebudayaan, bukan sentimen pribadi sama sekali.
ADVERTISEMENT

Pemuda Kembali Berperan

Pada uraian di atas, telah disebutkan bahwa pemuda Indonesia telah jauh-jauh hari bahwa bahasa menjadi salah satu elemen penting dalam memerdekakan bangsa ini. Maka dari itu, betapa berartinya bahasa Indonesia bagi kemerdekaan segenap bangsa.
Popularitas bahasa inggris yang menjadi bahasa internasional telah menjadi realitas sosial dan kebudayaan yang masuk ke dalam bangsa kita sama seperti produk-produk impor yang ini semua adalah akibat dari cara kerja globalisasi. Dan itu adalah hal yang wajar. Apabila secara konservatis kita tidak turut mempelajarinya, maka kita justru akan tertinggal secara peradaban.
Tetapi memandang globalisasi hanya dari perspektif kemajuan, akan berakibat yakni tercerabutnya jati diri bangsa. Khususnya dalam hal ini adalah bagi kaum pemuda. Globalisasi adalah fenomena perubahan. Dan perubahan adalah suatu kemutlakan.
ADVERTISEMENT
Pemuda yang secara historis sangat berperan besar terhadap dinamika perjalanan bangsa Indonesia adalah memang benar adanya. Hal ini tampak klise, tetapi memang begitulah adanya. Tetapi rasa-rasanya, hari ini pemuda sedang mengalami ‘kemandulan’.