Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Membaca Indonesia dari Raja Tanpa Mahkota
13 Desember 2021 15:21 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Alfi Rahmadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah kekuasaan politik di Indonesia tak akan pernah lepas dari rivalitas dua kutub besar ini: DNA nasionalis sekuler versus DNA nasionalis Islam dari jaman Presiden Soekarno sampai Joko Widodo. Penengahnya juga selalu dari kutub jalur Hibrida.
ADVERTISEMENT
Jalur Hibrida adalah entitas kelompok Islam modernis dan post tradisionalis. Peradaban individu dan organisasinya telah mengalami akulturasi dan adaptasi ide-ide sekular Barat tanpa harus meninggalkan identitas dan ajaran Islam atau disebut “Islam Transfomatif”, tetapi saya cenderung menyebutnya entitas “poros tengah”.
Artikel ini meneguhkan kembali rekonstruksi genealogi pemikiran politik Indonesia dari berbagai riset yang pernah diteliti oleh para akademisi. Dan dari berbagai riset yang ada, terpetanya tiga poros di atas akan selalu mengarah pada sosok tokoh besar satu ini: Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934 M) yang dikenal dengan sebutan “raja (Jawa) tanpa mahkota”.
***
Lahir di Ponorogo 1882 dari keluarga priyayi dan biasa disingkat dengan nama “HOS Cokroaminoto”, ia memelopori pemikiran sekaligus gerakan Indonesia modern sesuai kapasitas dan struktur zaman negeri saat itu pada dekade pertama abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Praktik berkebangsaan Indonesia dari berbagai aliran ideologi sejak tempo dulu dan jejaknya masih menyetrum sampai hari ini sangat diwarnai oleh HOS Cokroaminoto. Lombatan besarnya: ia melakukan persilangan ideologi yang tidak hanya sebatas wacana, tapi juga mampu menerjemahkannya di berbagai gerakan modern pada zaman itu.
Itulah kenapa ia kerap disebut “Bapak-nya” para tokoh besar pergerakan Indonesia modern dan menjadi jawaban kenapa Cokroaminoto paling menonjol di antara rekan-rekan seangkatannya. Dari sayap sekular, rekan seangkatannya antara lain Dokter Sutomo (1888-1938), pendiri Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Bahkan ia lebih menonjol dibanding Dokter Wahidin Sudirohusodo (1852-1917), tokoh pergerakan penginspirasi Dokter Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yang mendirikan organisasi Budi Utomo.
Terhadap tokoh pendiri Indische Partij atau Partai Hindia, partai politik pertama di Hindia Belanda pun Cokroaminoto lebih komprehensif mengartikulasi perjuangan kebangsaan modern. Dua di antara pendiri partai ini seangkatan dengannya: Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943) dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Dari sayap Islam, para tokoh besar pergerakan seangkatan dengannya beragam warna. Dari kalangan tradisionalis antara lain para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari (1875-1947) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), juga pendiri Syubbanul Wathan yang menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor.
Dari kelompok modernis, ada Haji Samanhudi (1868-1956) pendiri Sarekat Dagang Islam; KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pendiri Muhammadiyah dan penasehat Central Sarekat Islam (CSI); Haji Agus Salim (1884-1954) orang kedua pemimpin CSI; Kiai Haji Mas Mansoer (1896-1946) penasehat CSI dan tokoh Muhammadiyah.
Para tokoh besar itu mendaulat Cokroaminoto sebagai pemimpin Kongres/Muktamar Al-Islam secara periodik sejak tahun 1922. Kongres ini merupakan forum konsolidasi pergerakan umat Islam Hindia Belanda di berbagai lini yang digelar secara berkala 2-3 kali dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Mengenal ideologi silang HOS.Cokroaminoto tak ubahnya 'jantung' pemompa aliran darah ideologi dan pergerakan di masa Hindia Belanda, yang jejaknya masih terasa sampai sekarang. Jejak ini dapat kita baca dari dua fase besar masa hidup HOS Cokroaminoto.
Kedua fase itu ditandai oleh peristiwa sebelum ia masuk penjara akibat perlawanannya terhadap pemerintah Hindia Belanda pada Agustus 1921 dan setelah keluar dari penjara pada April 1922. Kedua fase ini bisa disebut periode transisi Cokroaminoto Muda dan Tua. Sebelum masuk penjara, ia memelopori pergerakan kebangsaan modern dalam usia 30-an tahun dan setelah keluar dari penjara usianya genap 40 tahun yang menandai masa tua.
Pada kedua fase itulah ia melakukan persilangan ideologi kebangsaan Indonesia: nasionalis sekular, Islam, dan sosialisme kiri yang kelak ditafsirkan saling berbeda secara tajam antar-muridnya dan rekan seangkatannya, termasuk lahirnya embrio “poros tengah” atau jalur hibrida tadi.
ADVERTISEMENT
Cokroaminoto Muda: Sebelum Masuk Penjara
Sebelum masuk penjara, Cokroaminoto Muda lengket dengan paham kiri sekular. Berhaluan sosialisme Karl Marx yang dikembangkan Friedrich Engels, sahabat Marx, sebagai ajaran komunisme itu. Kecenderungan Cokroaminoto ini sehaluan dengan nuansa perlawanan terhadap rezim kolonial yang menumbuhkan sikap anti-kapitalisme.
Pada berbagai pidatonya, antara lain dalam Kongres CSI 1917 di Batavia, idiom-idiom “sama rasa” kerap ia lontarkan (Takeshi Shiraishi, “Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926”, Grafiti Press, Jakarta, 1997).
Dari situ menunjukan, meskipun Cokroaminoto Muda dibayang-bayangi oleh konsepsi pembentukan kelas Marxisme, tetapi uniknya pada saat yang sama ia mensintesiskannya dengan ideologi Islam. Ia tidak menelan bulat-bulat sosialisme sekular karena ia tetap menolak paham materialisme dalam sosialisme dan anti-agama dalam komunisme.
ADVERTISEMENT
Sosialisme Islam dalam pemahaman Cokroaminoto sebagaimana paparan Haji Karim Amrullah atau Buya Hamka, menganut tiga prinsip dasar: kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Bukan kebetulan tiga prinsip itu yang mengilhami Revolusi Prancis?
Cokroaminoto meyakini gagasan sosialisme Islam jauh lebih tua dibanding sosialisme Barat yang kelak berkembang menjadi paham kiri radikal seperti komunisme dan leninisme. Cokroaminoto hanya meminjam ajaran Marx dan Engels sebagai alat perjuangan untuk menumbuhkan nasionalisme kebangsaan di tengah cengkraman kolonialisme dengan segala struktur penjajahannya.
Di Surabaya, di asrama milik Cokromaminoto, tokoh besar ini membuka forum diskusi dan mengampu materi Islam dan Sosialisme. Buya Hamka mengakui materi yang diterangkan Cokroaminoto berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist. Ia menulis surah dan nomor ayatnya, lengkap dengan perawi Hadist tersebut.
ADVERTISEMENT
Penuturan itu tertuang dalam buku biografinya, karya Amelz, “H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya”, terbitan Bulan Bintang, Jakarta, 1952. Karya ini dapat dijadikan salah satu rujukan dalam meluruskan persepsi beberapa tokoh Islam dan akademisi lainnya yang menilai pemahaman keislaman Cokroaminoto dangkal .
Justru kemampuan mensintesakan ideologi itulah yang kurang dimiliki oleh tokoh-tokoh besar Islam di eranya, termasuk rekan seangkatan Cokroaminoto yang berpaham sekular. Ringkasnya: Cokroaminoto dikenal sebagai tokoh Indonesia pertama yang menggagas perpaduan Islam dan Sosialisme sekular; sebuah materi yang paling dinanti oleh para muridnya. Buya Hamka menyebutnya “kursusisten” atau peserta kursus di Gang Paneleh VII nomor 29-31 di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, yang menjadi alamat asrama sekaligus rumah Cokroaminoto.
Untuk seukuran zaman sekarang rumah itu nampak keramat. Bukan karena angker, tapi justru mengingat reputasi kesejarahannya. Di rumah itulah Cokroaminoto mengajar para muridnya, tak lain para pemuda penghuni asramanya. Yang paling menonjol: Bung Karno (1901-1970), Bung Kartosoewirjo (1905-1962) dan Bung Semaun (1899-1971); murni penghuni asrama. Pemuda lainnya juga berdatangan seperti Pak Alimin Pak Prawirodirjo (1889-1964), Pak Musso (1897-1948) dan Pak Tan Malaka (1897-1949).
ADVERTISEMENT
Sejumlah tokoh besar Islam juga menjadikan rumah itu sebagai tempat bertukar pikiran; seperti KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansyur, dan KH. Agus Salim. Jadi bisa di bayang: rumah ini menjadi titik temu antar dua poros yang saling bertolak belakang: nasionalisme sekular dan nasionalisme Islam.
Kelak, tiga murid satu asrama itu saling bertentangan secara tajam dalam menafsirkan ajaran sang suhu dengan mendirikan organisasi politik masing-masing. Padahal, kata Buya Hamka, harga sewa asrama yang dikelola oleh Suharsikin, istri Cokroaminoto, sama-sama sebelas perak!
Soekarno mendirikan PNI pada 1927; Kartosoewirjo mendirikan DI/TII 1942 dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) 1949; dan Semaun mengukuhkan Perserikatan Komunis Hindia (PKH) tahun 1920 melalui Kongres Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal PKI pada 1924 yang kelak para pentolannya dikuasai Alimin, Musso dan Tan Malaka.
ADVERTISEMENT
Duet Alimin-Musso pro pemberontakan dan deklarasi PKI sebagai pemerintahan Republik 1926, tetapi Tan Malaka menolaknya. Pasca kemerdekaan, Kartosuwiro diburu Bung Karno dan dihukum mati dalam kasus pemberontakan Madiun 1948. Jadi, pertarungan Nasionalisme ala Sukarno, Islam khas Kartosuwiryo dan komunis gaya Semaun, Alimin-Musso dan Tan Malaka adalah “pertempuran” antarmurid Cokroaminoto.
Sebelum mendirikan organisasi masing-masing, semua murid itu masuk sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Para tokoh besar Islam sebagaimana di atas juga bergabung sesuai kapasitasnya masing-masing. Maka organisasi inilah “rumah besar” kebangsaan Indonesia di masanya yang menaungi poros Nasionalisme Sekular, Nasionalisme Islam dan Islam Transformatif.
Cokro mendirikan SI pada 1912 dalam usia 30 tahun setelah ia mengubah badan hukum SDI yang didirikan Haji Samanhudi menjadi SI. Artikulasi ideologi sosialisme dan Islam ia perluas tidak hanya ekonomi dan sosial sebagaimana SDI tetapi juga mencakup politik dan agama.
ADVERTISEMENT
Struktur dan sistem organisasi ia perbaharui: semula bertebaran kemana-mana saat masih bernama SDI; kemudian tersentral berkonsep Pengurus Besar (PB) skala nasional. Untuk memenuhi kebutuhan ini nama SI diubah menjadi Central Sarekat Islam (CSI) 1916, kemudian berubah lagi sebanyak empat kali dan secara ekspilisit menamakan diri sebagai partai politik.
Faktor-faktor itulah kenapa SI dan CSI di bawah kepemimpinan Cokromanito menjelma menjadi organisasi pergerakan modern terbesar pertama di Hindia Belanda meskipun Budi Utomo tercatat sebagai pionir terbentuknya organisasi pergerakan modern.
Meskipun ia memelopori sintesis sosialisme dan Islam, Cokroaminoto Muda nampak hanya menjadikan Islam sebagai simbol konsolidasi politik dan alat membesarkan SI dan CSI. Indikasi yang menonjol antara lain saat Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya pada Februari 1918.
ADVERTISEMENT
Memang, laskar itu ia bentuk sebagai respon keras atas penghinaan Martodharsono, redaktur Djawi Hiswara yang memuat artikel karya Djojodikoro yang dinilai sangat melecehkan kanjeng Nabi. Berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”, isi artikel yang membuat Cokroaminoto marah adalah kalimat Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.
Tapi dalam catatan sejarahwan Takeshi Shiraishi, kemarahan itu ia gunakan untuk membendung pengaruh muridnya seperti Semaun yang semakin populer di CSI maupun di mata rakyat. Di setiap daerah Cokroaminoto mendirikan TKNM guna memperkuat basis politiknya.
Di luar dugaan, Semaun benar-benar mengembangkan ajaran sosialisme Cokroaminoto menjadi paham komunisme hingga menjadi faksi di tubuh CSI. Persis seperti yang dikembangkan Fredrich Engels terhadap ajaran Karl Marx. Perisiwa itu kelak menandai pecahnya CSI menjadi SI Putih dan SI Merah.
ADVERTISEMENT
Cokroaminoto Tua: Setelah Keluar dari Penjara
Sejak HOS Cokroaminoto keluar dari penjara pada April 1922, situasi CSI semakin tidak kondusif: ada banyak faksi didalamnya. Pada fase ini terjadi pergumulan jiwa Cokroaminoto. Ia menyadari nasionalisme harus berdiri tegas, tidak dibangun dari sesuatu yang abstrak. Harus ada ideologi tegas yang melandasinya sebagaimana langkah Semaum, Alimin, Musso dan para muridnya yang terang-benderang memilih komunisme sebagai haluan perjuangan.
Cokroaminoto memilih dan mempertegas ideologi Islam. Maka, melalui KH Agus Salim sebagai sekretaris dan orang kedua setelah Cokroaminoto di CSI, dibuatlah kebijakan agar faksi di dalamnya memilih CSI atau organisasi faksi yang ada. Tujuan kebijakan ini antara lain untuk mengusir kelompok ateis SI Merah meskipun Cokroaminoto berposisi seolah-olah netral dan menjadi penengah.
ADVERTISEMENT
Di antara jejak kecenderungan ideologi Islam Cokroaminoto adalah saat dirinya didaulat oleh para tokoh besar Islam memimpin Kongres Al-Islam secara berkala. Kongres ini disponsori kaum modernis seperti Haji Agus Salim dan KH. Ahmad Dahlan beserta para pentolan Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Dari keterangan KH. Agus Salim, disimpulkan ada dua faktor kenapa Cokroaminoto dipilih untuk memimpin forum berkara konsolidasi tersebut.
Pertama, faktor institusional. Ini merujuk reputasi CSI: berpengaruh besar dan pengalaman organisasi lebih kuat dibanding organisasi Islam lainnya yang telah berdiri. Antara lain Muhammadiyah (lahir 1912) dan Al Irsyad (1914). Selain itu kedudukan CSI di bawah kepemimpinan Cokroaminoto dipandang unik dalam dunia Islam karena mampu memayungi aliran-aliran ideologi para anggotanya yang menjadi faksi tersendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua, faktor personal. Ini merujuk pada pengalaman kuat Cokroaminoto mengorganisir massa sekaligus memiliki retorika pidato yang membius massa. Selain itu, ia dinilai mampu menengahi perbedaan antara kelompok Islam modern seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad dengan kelompok Islam tradisional yang kelak kelompok ini direpresentasikan oleh NU.
Keterangan KH. Agus Salim ini diulas oleh Prof. Dr. Deliar Noer, ilmuan politik pertama di Indonesia yang meraih gelar doktor ilmu politik di luar negeri, dalam karyanya “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942” terbitan LP3ES, Jakarta 1982.
Kelengketan Cokroaminoto dengan Islam sebagai ideologi (bukan hanya politik Islam) saat memimpin Kongres tersebut nampak pada antusiasmenya menanggapi diskursus sistem Khilafah Islamiyah. Di awal abad ke-20, sistem ini diusung oleh Raja Abdul Aziz bin Saud (Ibnu Saud), raja pertama Arab Saudi setelah sukses menggulingkan rezim Rashidi di Riyadh pada 1902.
ADVERTISEMENT
Antusiasme tersebut ditandai dengan kehadiran Cokroaminoto dan KH. Mas Mansur memenuhi undangan Muktamar ‘Alam Islam di Mekkah 1926 sebagai utusan dari Hindia Belanda. Keberangkatan keduanya diputuskan melalui hasil Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (Februari 1925) dan kelima di Bandung (Februari 1926). Januari 1926, ada salah satu ungkapan terkenal darinya yang dimuat Koran Hindia Baroe, "Bila umat Islam tidak memiliki Khalifah maka seolah-olah badan tanpa berkepala."
Kelompok Islam tradisionalis mencurigai kehadiran Cokroaminoto sebagai kecenderungannya terhadap paham Wahabi. Hingga sebelum keberangkatan Cokroaminoto ke Mekkah pun kelompok ini melahirkan organisasi massa Islam, kelak menjadi yang terbesar di Indonesia bernama Nahdlatul Ulama berdiri pada Januari 1926, persis sebulan sebelum Muktamar Al-Islam di Bandung.
Kecurigaan NU berbuah menjadi kekecewaan. Sebab usulan dari NU, yang diusulkan KH. Wahab Hasbullah agar Raja Arab Saudi menghormati kebebasan memilih empat mazhab serta segala tradisi ziarah kubur, mereka nilai gagal diperjuangkan Cokroaminoto dalam Kongres Mekkah.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan sebagian besar tokoh NU semakin melebar manakala sepulangnya ke tanah air, Cokroaminoto pada Kongres Al Islam ke-6 di Surabaya pada September 1926 memutuskan mengganti Central Comite Chilafat dengan Muktamar Alam Islam Hindi Syarqiyah (MAIHS). Ini adalah cabang Muktamar ‘Alam Islam di Mekkah yang juga dipimpin Cokroaminoto.
Uniknya, meski dinilai terpengaruh dengan paham pan Islamisme itu, Cokroaminoto tetap konsisten membingkai bagaimana Islam dipraktik khas Hindia Belanda. Dialah tokoh pertama yang mensponsori terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia sekitar setahun sebelum Sumpah Pemuda 1928. Sayangnya sangat kontroversial. Mengapa?
Penerjemahnya adalah Muhammad Ali, tokoh Ahmadiyah Lahore berimam besar pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Untuk mendapat legitimasi upaya penerjemahan, Cokroaminoto melalui CSI membentuk Majelis Ulama pada 1927.
ADVERTISEMENT
Meskipun diprotes keras oleh Muhammadiyah, hikmahnya: kalau bukan berkat rangsangan Cokroaminoto, barangkali Al Qur’an di Indonesia hari ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan segala standar tashih atau proses verifkasinya yang ketat. Kontroversi itu juga kelak menjadi salah satu perangsang berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, dipimpin pertama kali oleh murid Cokroaminoto: Buya Hamka.
Sepak terjang Cokroaminoto pada Kongres Al Islam Hindia Belanda menunjukan makna penting, bahwa forum formal konsolidasi itu ia ikhtiyarkan sebagai rumah besar umat Islam Indonesia tanpa sekat sekterian. Untuk mengatasi perbedaan, Cokroaminoto telah mencontohkan kepemimpinannya pada Kongres tersebut akan pentingnya musyawarah dalam mencapai mufakat.
Bukan kebetulan gagasan besar yang dipraktikan secara nyata oleh Cokroaminoto menginspirasi Soekarno. Ajaran sosialisme dan Islam ala Cokroaminito juga kelak diramu Bung Karno dalam konsep nasionalis-agama-komunisme (Nasakom) sebagai ikhtiyarnya menyatukan golongan pada zaman itu.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak hal, Bung Karno memang dinilai murid terbaik Cokroaminoto. Bukan hanya tentang ideologi dan gaya pidato membius massa, tapi juga cara mengoranisir organisasi, strategi dan taktik politik, gaya menulis, musyawarah, dan kompromi. Dan inspirasi terpenting yang diserap Bung Karno dari Cokroaminoto: ikhtiyar gurunya menjadikan CSI dan Kongres Al-Islam sebagai rumah besar bangsa dan negara; kelak bernama Indonesia. []
*) Pendiri/Chairman Indonesiasentris Foundation